Sunday, December 5, 2021

Hubungan Sejarah Desa Ombulo dan Yosonegoro

A. Desa Ombulo 

Saat ini Desa Ombulo termasuk dalam wilayah administrasi kecamatan Limboto Barat. Dinamai Ombulo, karena banyak ditumbuhi tanaman Woka, orang Gorontalo menyebutnya "OMBULO." Desa Ombulo telah ada sejak tahun 1805, kepala desa yang pertama bernama Kengo dengan gelar adat Ti Bonga. Saat itu sebagian besar wilayah Desa Ombulo masih berupa hutan belantara, luas lahannya sekitar 150 km2. Kemudian menyusut menjadi 10 km2 , disebabkan wilayahnya dimekarkan menjadi beberapa kampung, yaitu kampung Daenaa (1820), Yosonegoro (1904), Padengo (1930) dan Huidu (1950).


B. Desa Yosonegoro

Desa Yosonegoro sebelumya adalah areal lahan yang masuk wilayah Desa Ombulo. Sejarah terbentuknya Desa Yosonegoro berawal dari warga asal Kampung Jawa Tondano (Jaton) mencari lahan di sekitar Limboto. Amal Modjo yang bertugas sebagai guru di Limboto bersama beberapa kawannya mencari lahan yang cocok untuk pertanian dan permukiman. Semula mereka menemukan lahan di Huidu tetapi tidak memenuhi syarat. Untuk kedua kalinya, akhirnya mereka menemukan wilayah cocok untuk dijadikan kampung yaitu dibagian selatan Desa Ombulo. Sebanyak 40 orang dari kampung Jaton, merupakan penduduk pertama yang tinggal di kampung yang baru bernama Desa Yosonegoro.

Tugu di desa Yosonegoro


Saturday, November 13, 2021

Cerita dari Desa Bulila

    Desa Bulila termasuk wilayah administrasi Kecamatan Talaga. Dalam catatan Hindia Belanda tahun 1893, Distrik Talaga memiliki 9 Kampung Besar yaitu Bulila, Hutadaa, Hulawa, Luwoo, Ulapato, Tuladenggi, Pentadio, Dumati dan Lemingo.

Peta tahun 1897

    Saat itu Desa Bulila wilayahnya sampai di pesisir danau Limboto, peta tahun 1895 dari buku laporan GWC Baron Van Hoevel tercantum Pasar Bulila, kampung Hutadaa dan Buhu, juga tercantum pasar Dehualolo yang saat itu sebagai pasar terapung dipinggiran danau Limboto.

Cerita rakyat tentang Pasar Bulila, bahwa suatu ketika raja Hunginaa Lotalaga datang di suatu tempat (Hutadaa) yang sudah ditunggu oleh masyarakat untuk menyambutnya. Raja Hunginaa bertanya pada orang tentang rumput yang tumbuh subur disitu, mereka menjawab rumput ini namanya buli bulili. Raja itu kemudian bersabda bersihkan rumput ini kemudian dirikan tangga yang memakai kajang (tanggubu) sekedar melindungi panas matahari dan beri nama pasar ini, PASAR BULILA.

Saat ini Pasar Bulila sudah dibongkar dan telah berubah jadi pasar modern Pasar Agro Ekowisata, beralamat Desa Hutadaa kecamatan Talaga Jaya. Dan disekitar pasar lama Bulila yang lokasi pernah digunakan untuk tambatan perahu telah diubah menjadi tempat wisata EMBUNG HUTADAA.


Ada hal yang menarik, sekitar 200 meter dari lokasi bekas Pasar Bulila terdapat masjid namanya Masjid" Al Bahri Nur" Bulila dibangun tahun 2000 dan lokasinya menandakan berada di desa Bulila sebelum ada pemekaran desa. Ada juga Masjid yang terletak di lokasi terminal lama Talaga, Masjid Ar Rahman berdiri sejak tahun 1885. Di kompleks masjid ini terdapat beberapa makam tua diantaranya Makam Ta Tosurambe, makam dari Marsaoleh Moesa Kaluku kepala Distrik Talaga tahun 1880an

Makam Moesa Kaloekoe


Sunday, October 10, 2021

Beladiri Tradisional Langga

       Langga adalah beladiri khas Gorontalo yang menggunakan tangan kosong, jika menggunakan senjata tajam disebut Longgo. Senjata tajam yang digunakan adalah pedang " Sumala".

Menurut tradisi lisan dari masyarakat Gorontalo, beladiri Langga pertama kali diciptakan dan diperkenalkan oleh Aulia Ju Panggola. Pada perkembangannya, seorang Jogugu harus menguasai Langga dan mempunyai kemampuan menyusun gerakan beladiri Langga, kemudian menurunkan ilmu ini kepada keluarganya. Melalui keluarga Jogugu selanjutnya ilmu bela diri Langga bisa diajarkan dikalangan rakyat. Secara garis besar Langga terdiri dari dua aliran yaitu, Langga buA dan Langga LaI. Wilayah yang menguasai aliran Langga BuA adalah Tapa dan Limboto, sedangkan aliran Langga LaI dikuasai Suwawa dan Batudaa.


Untuk mempelajari beladiri Langga harus melalui ritual adat, yaitu mempersembahkan sesajen (pitodu) dan mandi air. Penyediaan Pitodu berupa jampul ayam, darah ayam, pisang, telur, nasi kuning, damar dan dupa. Tetapi pada saat ini untuk belajar Langga tidak harus melalui proses ritual.



Saturday, October 2, 2021

Polopalo dan Seniman Rusdin Palada

Polopalo adalah alat kesenian tradisional Gorontalo yang terbuat dari bambu. Ukuran lingkar bambu sekitar 9 cm -17 cm dan panjangnya sekitar 31 cm . Bunyi yang terdengar keluar berasal dari alat Polopalo tersebut ketika dipukul. Dahulu kala Polopalo ini dimainkan oleh para petani di sawah pada saat waktu istirahat sekedar menghibur diri. Ada juga tarian yang diiringi Polopalo, tari Tidi Lo Polopalo. Pada tahun 2017 Kementerian Pendidikan Nasional RI menetapkanTarian Tidi lo Polopalo terdaftar sebagai warisan budaya Indonesia asal Gorontalo. Seiring perkembangan jaman, Polopalo dikembangkan menjadi alat musik yang moderen. Seorang seniman asal Gorontalo bernama Rusdin Palada menciptakan notasi pada alat musik Polopalo di tahun 1979, sehingga bisa dimainkan untuk mengiringi lagu. Bahkan Rusdin Palapa membukukan tentang alat musik Polopalo yang berjudul “Petunjuk Teknis Pengembaangan Polopalo Menjadi Alat Musik Tradisional Gorontalo” , Penerbit Balai Pustaka, 1982.



Rusdin Palada, SH (1947-2011)

Lahir di Gorontalo pada tahun 1947, menempuh pendidikan SD - SMP di Suwawa dan melanjutkan pendidikan SMA di Yogyakarta, meraih Sarjana Hukum tahun 2008. Tahun 1967 Rusdin Palada menjadi pegawai di Mabes Polri bagian LABKRIM (sekarang PUSLABFOR Mabes Polri) dan pensiun pada tahun 2003. Memiliki bakat dalam bidang kesenian, Rusdin Palada banyak menciptakan lagu daerah Gorontalo sebanyak 30 judul lagu, diantaranya menciptakan lagu berjudul Bindhe Biluhuta . Rusdin Palada wafat di Jakarta 13 Pebruari 2011.



*Catatan Daftar Lagu daerah Gorontalo diciptakan Rusdin Palada:

BINDHE BILUHUTA, DABU DABU, MOBITE, MOHENGU-HENGU, LAMAHU, LANGOLA, MOHULUNGA, NANI WARTABONE, POLOPALO, DEBO YI’O, TI MAMA WOLI PAPA, TAHULI, HIRAMEYA, HELUMA HUYULA, ILODUHUWA,YIMBULO, IBADATI, TINELO II, POTOLIANGO, MA ‘APAUALO,TALUHE DA’A, WOLOLO, SAMBELO, BULALO LIMUTU, DUNGALINDHOMAYI, LOMBONGO, MOHALA, MAYILABA, TETE OLALUWA, KACA WAU LUTU


Sumber:

Wikipedia

http://gorontalo-lestari.blogspot.com/2013/04/story-of-rusdin-palada-father-of.html?m=1

Saturday, September 4, 2021

Kawasan Borogo di Kelurahan Tenda

Borgo adalah kawasan permukiman bagi peranakan belanda-pribumi dan keluarga Tentara KNIL. Orang Borgo disebut juga inlandsche Burgers. Di Manado ada kampung Borgo Kristen dan Borgo Islam. Perkampungan orang Borgo yang pertama di Manado ada di Kampung Sindulang, mereka adalah peranakan Portugis-Ternate dan warga asli manado. Wilayah perkampungan Borgo Islam diantaranya kampung Kodo dan Kampung Islam. 

Di Gorontalo pemukiman orang Borgo dikenal dengan sebutan BOROGO, lokasinya di Kelurahan Tenda. Pada era Hindia Belanda yang tinggal di kawasan ini adalah pegawai dan tentara KNIL asal Manado/Minahasa dan Ambon. Kawasan Borogo mulai dari Kompleks Gedung Bele Li Mbui-SDN 46 ke arah selatan sampai di kompleks RRI lama. Sekitar tahun 1980an, umumnya warga Gorontalo masih akrab dan mengenal kawasan Borogo, ada nama masjid yang dahulunya bernama Masjid BOROGO dan sekarang namanya diganti masjid Ar Rahim.

Permukiman Borogo (lingkar biru)


Wednesday, September 1, 2021

Etnis Tionghoa di Gorontalo

Tercatat tahun 1856 warga Tionghoa di Gorontalo berjumlah 16 jiwa, seiring waktu berjalan orang Tionghoa meningkat jumlahnya dan mereka menempati disekitar alur sungai Bolango. Jumlah penduduk Tionghoa generasi pertama data tahun 1900 berjumlah 949 jiwa, untuk generasi kedua telah mencapai 2400 jiwa (tahun 1940).



Awal keberadaan warga Tionghoa ditandai dengan dibangunnya Klenteng Tian Hou Kiong (sekarang klenteng Tulus Harapan Kita) pada tahun 1883, atas prakarsa Liem Peng Boen. Sekitar tahun 1884 Liem Peng Boen menjadi kepala kampung Cina sampai tahun 1898. Kepala Kampung Cina pertama adalah Po Tean Tjoe (1877-1882). Dibawah ini daftar kepala kampung China di Gorontalo.

Po Tean Tjoe 1877

Njo Hoei Loen 1882

Sie Boen Djie 1883

Sie Boen Tjae 1887

Lie Pem Boen 1894

Sie Boen Tjae 1898-1904

(1904- 1911 jabatan lowong)

Sie Boe Hiang 1911

Liem Kiem Thae 1921

Ong Teng Hoen 1924-1942

Tokoh Tionghoa asal Gorontalo yang berkiprah dikancah nasional diataranya alm. Ir Ciputra (Tjie Tjin Hoan) seorang pengusaha sukses yang masa kecilnya pernah tinggal di Paguat bersama orangtuanya. Kemudian ada nama Ong Eng Die kelahiran Gorontalo 1910, pernah menjabat menteri keuangan RI antara tahun 1953-1955. Ada lagi tokoh ilmuwan kelahiran Gorontalo Profesor Go Ban Hong, Guru Besar di IPB, beliau adalah pakar Ilmu Tanah.

Ong Eng Die

Ada juga tokoh lokal yang dikenal tahun 1950an, namanya Liem Kheng Goan adalah pemimpin perkumpulan masyarakat Tionghoa di Gorontalo. Ketika terjadi peristiwa PERMESTA, Liem Kheng Goan memasok logistik kepada pasukan rimba pimpinan Nani Wartabone. Atas jasa jasanya beliau diberi penghargaan sebagai anggota veteran RI. Ada juga nama Ko Tiong Tian sebagai anggota pasukan rimba.

Po Keng Ho dikenal sebagai pengusaha tahun 1920-1930an di Gorontalo. Sebagai pengusaha kopra yang sukses di wilayah Indonesia timur. Awal sekitar tahun 1927 Po Keng Ho merintis tempat pemandian air panas di Talaga yang sekarang tempat rekreasi pemandian air panas Pentadio.

Monday, August 16, 2021

Tentang Kemerdekaan Indonesia

 INDONESIA MERDEKA 23 JANUARI 1942, BUKAN 17 AGUSTUS 1945


“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh pemerintahan nasional".

Begitu potongan pidato Nani Wartabone pada tanggal 23 Januari 1942 pukul 09.00 WITA di halaman Kantor Pos Gorontalo.

Nani Wartabone mendahului Soekarno dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam bait pidatonya di tahun 1942, Nani sudah menyebut kata “merdeka, “bebas”, lepas dari penjajahan”. Dia juga menyebut “Merah Putih”, dan "Indonesia Raya".

Dalam kalimat berikut pada pidatonya, Nani menyebut bahwa telah dilaksanakan pengambil alihan pemerintahn Belanda oleh Pemerintah Nasional.

Nani Wartabone

Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Perjuangan Nani, lalu Koesnodanupoyo dan Pendang Kalengkongan bukan tidak mengundang resiko. Ketiganya dijatuhi hukuman penjara pada 11 September oleh Dewan Militer Sementara yang berkantor di Manado. Nani dihukum 15 tahun penjara, Koesno 7 tahun dan Pendang Kalengkongan 9 tahun penjara.

Nani mendekam di penjara pada kurun waktu 30 Desember 1943 hingga 23 Desember 1949, Nani sempat berpindah pindah penjara Manado, Cipinang Jakarta hingga di Morotai.

Tentu upaya Nani ini mendapat restu dari pimpinan Partai Nasional Indonesia. Nani sendiri adalah pendiri PNI di Gorontalo pada tahun 1928, sebelumnya ia adalah pendiri Jong Gorontalo pada 1923.

Besar kemungkinan bahwa keterkaitan Nani dengan PNI serta Soekarno berkat hubungan mereka semasa di Surabaya pada kurun waktu tahun 1920 an. Di kurun waktu itu, salah satu pusat gerakan kebangsaan Indonesia ada di Surabaya, dimana H.O.S Tjokroaminoto sebagai mentor gerakan dan perkaderan pemuda Indonesia, hingga dari Gang Peneleh (rumah Tjokro) lahirlah Soekarno, Alimin, Musso, Semaun, Darsono, Tan Malaka, hingga Kartosoewirjo.

Kala itu, Nani Wartabone sedang studi di Surabaya mengikuti pamannya Rasjid Tangahu Wartabone, yang bekerja di Institut Buys Surabaya. Institut Buys Surabaya adalah juga lokasi sekolah Hoogere Burgerschool (HBS) tempat Nani mengenyam pendidikan menengah. Di HBS Surabaya pada waktu yang sama, Soekarno bersekolah di tempat itu.

Sebagai sesama pelajar Surabaya, Nani dan Soekarno menikmati pendidikan kota itu. Banyak tokoh bangsa pernah mengeyam pendidikan di kota ini. 

Tjokro sendiri mendatangi Gorontalo selama dua kali, pertama pada tahun 1916 dan kedua pada tahun 1923. Pada kunjungan kedua tahun 1923, Tjokro tinggal di Ipilo di kediaman Qadhi Husin Pou. Di tempat itu, rapat pembentukan dan penggalangan semangat nasionalisme mulai dikuatkan di Gorontalo hingga terbentuklah pengurus Syarikat Islam Gorontalo dengan Ketua Bouti Pakaya dengan dua pembantu Bahu Panigoro (kepala kampung Molosipat) dan Zakaria Saleh Lama (kepala Kampung Kayubulan). Kunjungan inilah yang mulai membakar semangat nasionalisme warga Gorontalo untuk melawan penjajahan.

Sebagai yang dipengaruhi Tjokro, Nani berperan penting dalam pengembangan Syarikat Islam, salah satu perannya adalah mendukung pendirian Gerakan Indonesia Berparlemen (Gapi) di Manado. GAPI dibentuk melalui rapat nasional di Jakarta pada 21 Mei 1939 oleh Abikusno Tjokrosujoso, salah satu mantan Ketua Syarikat Islam setelah Tjokro.

Lalu dilaksanakanlah Kongres GAPI pada 10 Desember 1941, ketua panitianya adalah Koesno Danupoyo, yang kemudian menjadi kawan karib Nani pada peristiwa 23 Januari 1942.

Sebagai penutup, jalinan perkawanan dan persaudaran adalah mata rantai penguatan semangat kebangsaan pada kala itu. Hubungan Soekarno, Nani, Kusno Danupoyo hingga pengaruh Tjokroaminoto di Gorontalo menjadi pembentuk sejarah dari hari patriotik 23 Januari 1942 di Gorontalo, yang proklamasinya tiga tahun sebelum Indonesia diproklamasikan merdeka.

Atas dasar perjuangan hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 23 Januari 1942 tersebut, pada peringatan Hari Pahlawan 2003 di Istana Negara, Presiden Indonesia pada saat itu yang dijabat oleh Megawati Soekarnoputri, putri Soekarno, menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone yang juga teman karib ayahnya, pada tanggal 7 November 2003. Nani Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003. 

Perkawanan antara Soekarno dan Nani Wartabone, mulai dari Surabaya, bersama di PNI, hingga perjuangan kesetiaan Nani Wartabone pada Republik, adalah teladan bagi kita sekalian. Sekali Republik, tetap Republik!


Penulis: Funco Tanipu

Teme Joni & 23 Januari

"Sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa. Karena itu, penjajahan(dalam bentuk apapun) di atas dunia harus dihapuskan"(Naskah Preambul dari BPUPKI).

Sebelum proklamasi dibacakan Soekarno di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tiga tahun sebelumnya di Gorontalo di bawah Komite 12 yang dipimpin Nani Wartabone(1907-1986) melakukan pergerakan melawan era akhir kolonialisme dari Asisten Residen Manado di Gorontalo Corn dan kontrolir B.B. Dancouna serta dibarengi pelucutan kekuasaan kolonialisme Belanda oleh pendudukan Jepang Dai Nippon setelah menyerang Pearl Holbour pada 1941.

Inspirasi pergerakan bagi embrio proklamasi dari Nani Wartabone dkk, bukan hadiah pendudukan Jepang dan kondisi pergerakan yang sudah dimulai oleh Soekarno setelah magang di Jl. Peuneleh Surabaya pada HOS Cokroaminoto dengan Serikat Islamnya sejak 1916.

Nani Wartabone, putra Jougugu Gorontalo, Zakaria Wartabone dan ibu Saera Mo'oduto, sejak kecil sudah dididik ayahnya di era kontrolir B. de Jong.

Setelah disekolahkan di HBS, siswa dengan nama sapaan John(kelak, dieja Jonu) sudah mulai menunjukkan bakatnya sebagai orang pergerakan ketika ia membebaskan tahanan kontrolir de Jong yang dijagai sang Jougugu Zakaria.

Kiprah lain Jonu alias Nani sebelum berangkat sekolah HBS Surabaya pada 1924, dua tahun sebelum ia magang di HBD Tomohon pada keluarga Pendang Kalengkongan yang menjadi sekutu perjuangannya pada 23 Januari 1942 kemudian.

Pidato Nani Wartabone 23 Januari 1942

Pada 1924, bersama kakaknya Ayuba, Jonu disekolahkan HBS di Surabaya dan Ayuba akhirnya memilih ke Batavia. 

Di HBS Surabaya Jonu mulai mengikuti diskusi-diskusi kaum pergerakan yang dibesut oleh HOS. Cokroaminoto yang diantaranya digerakkan oleh Soekarno lewat pembentukan PNI pada 1927 dan setahun kemudian, pada 28 Oktober 1928 ia aktif di Jong Celebes sebelum balik ke Gorontalo setelah dibekali Soekarno dalam pembentukan PNI yang ia lanjutkan di Gorontalo.

Sebelum kepulangannya dari Surabaya, setelah mampir sejenak di Bandung pada pondok Soekarno dan PNI. Konon, setelah PNI berdiri, Soekarno ditahan pemerintah Belanda dan menghasil pidato pembelaannya(pleidoi) dalam "Indonesia Menggugat".

Sejak kembali dari pendidikannya di Surabaya, api nasionalisme mulai ia aktifkan dan juga dipicu datangnya tokoh perjuangan di Gorontalo, di antaranya HOS. Cokroaminoto dan disusul Mr. Ishak pada 1930 yang juga diikuti guru gubernemen asal Talaud, E.P. Gagola.

Walhasil gerakan nasionalisme yang dibesut oleh SI, PNI, Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes, Taman Siswa dan banyak lagi telah membuahkan hasilnya lebih awal justru oleh interaksi dan pergaulan yang luas dari Nani Jonu Wartabone.

Boleh dikata, kaum pergerakan dan nasionalisme itu melebar kemana-mana serta direspon secara cepat oleh Nani Wartabone dkk. sebelum dwi proklamator Soekarno-Hatta dideklarasikan. 

Entah apa, 14 atau 17 tahun setelah peristiwa proklamasi itu, Nani menolak usul Soekarno agar Gorontalo menjadi ibukota Provinsi Sulutenggo pada 1959 ketika Sam Ratulangi sebagai pengusul cita-cita kemerdekaan dalam Risalah Sidang BPUPKI ditunjuk menjabat Gubernur Sulawesi.

Terlepas dari dinamika sejarah kebangsaan itu, teka-teki penolakan Nani atas ibukota Provinsi Sulutenggo biarlah menjadi sejarah dari luputnya egoisme kewilayahan yang diemban oleh tokoh sekaliber Nani Jonu Wartabone. Sekurang-kurangnya, di Komite 12 itu terdiri atas pelbagai suku dan asal daerah: RM. Koesno Danoepoyo, Buluwati, Bajeber, Alhasni, Monoarfa,Hadju, Tumu, Soegondo, Danuwatio, Ointu(paman kami,red.) serta dariv Veld Politie Pendang Kalengkongan, Tumewu, Paat,Poluan,?Saerang, Kondowangko, Monareh dan Tombeg.

Tulisan : Reiner Ointu

Sunday, August 15, 2021

Biografi singkat Jalaluddin Tantu

 RIWAYAT PERJUANGAN PAHLAWAN DJALALUDDIN TANTU


1. MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN

Pemuda Djalaludin bergabung dengan BKR Oedara pada saat bersama pemuda-pemuda Gorontalo lainnya merebut lapangan terbang Gorontalo yang masih dikuasai oleh Tentara Kekaisaran Jepang pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. 

Selanjutnya Djalaludin tetap bergabung dengan TKRDjawatan Penerbangan (selanjutnya berubah menjadi TRI-Oedara) selama masa revolusi dan bergerilya di kampung halamannya. Setelah pengakuan kedaulatan, Djalaludin dikirim tugas belajar ke Sekolah Penerbang Kalijati di Subang. Setelah lulus, bersama 5 orang rekan seangkatannya, Djalaludin dikirim ke sekolah instruktur penerbang di Pangkalan Udara (Lanud) Tjililitan (sekarang Bandara dan Lanuma Halim Perdanakusuma) di Jakarta.

Setelah resmi menjadi prajurit TNI Angkatan Udara pada tahun 1954, Djalaludin dgn pangkat Opsir Udara Tingkat 2 (setara Letnan Dua Udara saat ini) ditempatkan di Skadron 2/Angkut yg mengoperasikan pesawat angkut Dakota DC-3 berpangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma.



2. MASA TRIKORA (PEMBEBASAN IRIAN BARAT)

Pada saat kampanye Trikora merebut Irian Barat yang masih dikuasai Belanda, Djalaludin bertugas menerbangkan pesawat Dakota T-440 dari Skadron Udara 2/Angkut untuk menerjunkan pasukan di Papua dalam rangka Operasi Gajah Putih. Kapten Udara (Pnb) Djalaludin bertindak sebagai pilot didampingi copilot Letnan Udara Tiga (Pnb) Sukandar. Pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Laha (sekarang Lanud Pattimura) di Ambon pada tanggal 17 Mei 1962 sekitar pukul 02.00 waktu setempat dengan bantuan sorot lampu mobil untuk memandu di landasan. 2 pesawat Dakota DC-3 bernomor ekor T-440 dan T-480 dengan mulus mengangkasa menembus kegelapan menuju Kaimana untuk menerjunkan 27 orang prajurit Yon 454-BR/PARA,1 peleton PGT-AU, serta 30 koli barang dukungan logistik.

Usai menerjunkan pasukan, saat pesawat hendak kembali ke Pangkalan Udara Laha, tiba-tiba muncul pesawat Neptune M-273 Belanda. Satu keadaan yang sangat sulit dihadapi Kapten Djalaludin, lantara pesawat yang dikemudikannya memiliki kecepatan yang jauh lebih rendah dari kecepatan pesawat Neptune Belanda. Di samping itu, Dakota tidak bersenjata sama sekali. Tidak langsung menyerah begitu saja, Kapten Djalaludin beserta seluruh awaknya berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari situasi yang sulit ini. Dia segera menurunkan ketinggian pesawat sampai serendah mungkin yang bisa dicapainya. Demikian rendah sehingga percikan air laut sebagai akibat dari putaran baling-balingnya terlihat jelas dan bahkan sempat menghantam badan pesawat. Tidak sekadar terbang rendah, Kapten Djalaludin juga menerbangkanT-440 secara zigzag dalam upaya semaksimal mungkin menghindari tembakan.

Namun, sekali lagi karena memang sudah menjadi sasaran empuk bagi Neptune, tidak lama tembakan pesawat musuh pun tepat mengenai sayap dan tangki bahan bakar. Api menyala dan dengan cepat menjalar ke seluruh sayap dan badan pesawat. Dengan satu guncangan hebat, akhirnya pesawat pun tidak dapat dikendalikan lagi dan terpaksa mendarat darurat di atas laut (ditching) di perairan sebelah timur Batu Belah. Pada saat terakhir pesawat nahas ini masih sempat mengirim berita ke Dakota T-480 yang dikemudikan Kapten Udara (Pnb) Hamsana.

Dalam kepanikan yang mencekam saat-saat terakhir pesawat masuk laut, seluruh kru berhasil menyelamatkan diri keluar pesawat menggunakan perahu karet. Dari dua perahu karet yang ada, hanya satu yang masih dapat dipergunakan karena tertembus peluru Neptune. Dengan menggunakan perahu karet yang tersedia, awak pesawat berusaha menyelamatkan diri tetapi usaha mereka mengalami kegagalan yang akhirnya ditawan Belanda menggunakan kapal HNLMS Friesland.

Kapten Djalaludin beserta awak pesawat diangkut dengan kapal Belanda HNLMS Friesland menuju Fak-Fak dan dijebloskan dalam penjara. Pada hari keempat, mereka dibawa ke Kaimana menggunakan kapal kecil “Snelius” dalam keadaan diborgol tangannya. Untuk selanjutnya mereka dipindahkan ke penjara di Waena, Hollandia (sekarang Jayapura) menggunakan pesawat Dakota. Dalam penjara mereka dijaga sangat ketat, siang oleh Militaire Politie (MP), sedangkan malam hari oleh Marinir Belanda. Dari Hollandia mereka dipindahkan lagi ke penjara Angkatan Laut Belanda di Sorido, Biak, dan selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara di Pulau Wundi, sebuah pulau kecil dekat Biak.

Setelah melalui perundingan-perundingan yang memutuskan adanya genjatan senjata antara pihak RI dengan Belanda, akhirnya Djalaludin beserta awak Dakota T-440 yang dipenjara di Pulau Wundi dibebaskan. Mereka kemudian diserahkan kepada pihak Indonesia dan diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat Hercules C-130 milik UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Djalaludin dan awaknya dianugerahi Bintang Sakti oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963.

3. MASA DWIKORA (KONFLIK BORNEO UTARA)

Selepas kampanye Trikora, Djalaludin dimutasi ke Skuadron 31 yabg mengoperasikan pesawat Hercules C-130B. Dan pada tahun 1964, saat kampanye Dwikora, Mayor Udara (Pnb) Djalaludin ditugaskan ke perbatasan Kalimantan Barat - Sarawak untuk mendukung Operasi Antasari, menerbangkan Hercules C-130B berkode ekor T-1307 untuk menerjunkan pasukan PGT yg dipimpin oleh Letnan Kolonel Udara Soegiri Soekani pada 2 September 1964.

Pesawat Hercules T-1307 tersebut diawaki delapan orang, yaitu copilot Kapten Udara (Pnb) Alboin Hutabarat, navigator Mayor Udara Juamardi, Kapten Udara Suroso, Letnan Udara Satu Sukarno, Letnan Muda Udara I Sabil, Letnan Muda Udara I Sutopo, serta Letnan Muda Udara II M. Rukmana. Selesai operasi, dari 3 pesawat Hercules yg dikirim ke garis depan, hanya 2 pesawat yg berhasil kembali ke pangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Pesawat T-1307 dinyatakan hilang kontak dan diperkirakan tercebur ke laut di sekitar perairan Selat Karimata akibat terbang rendah dalam upaya menghindari tangkapan radar lawan. Menurut salah satu sumber yang belum bisa dikonfirmasi, pesawat tersebut jatuh ditembak oleh pesawat Gloster Javelin RAF (AU Inggris) yg mendukung pasukan Federasi Malaysia di front Borneo Utara. Informasi ini masih disangkal oleh pihak RAF sampai saat ini, karena secara resmi RAF dan Angkatan Bersenjata Inggris tidak terlibat dalam konflik ini, meskipun ada laporan intelijen bahwa pesawat Gloster Javelin tsb mendarat di pangkalan AU Kuching dengan 1 rudal Firestreak-nya tidak ada lagi di tempatnya di sayap.

Seluruh penumpangnya dinyatakan gugur, termasuk Djalaludin Tantu, Kapten Pnb Alboin Hutabarat dan Letkol Udara Sugiri Sukani. Djalaludin dinaikkan pangkatnya 1 tingkat menjadi Letnan Kolonel Udara (Pnb) dan diabadikan namanya sebagai nama pangkalau udara (lanud) di Gorontalo, yg sekarang juga melayani penerbangan komersial seiring diresmikannya Provinsi Gorontalo.


Sepanjang kariernya yg relatif singkat di AURI, Djalaludin pernah bertugas sebagai Perwira Penerbang di Lanud Halim Perdanakusuma (1954), Perwira Penerbang Skadron Djawatan Angkutan Udara Militer (DAUM) (1955), bertugas ke Hongkong Air Craft Engineering (1958), Perwira Penerbang Skadron Udara 2 (1960), Perwira Instruktur tidak tetap 005 Transition (1962) serta Perwira WOPS 001 Halim/Skadron Udara 31 (1964).

Tulisan dari : Prof. DW Eisenring.

Saturday, August 14, 2021

Prasasti di Desa Labanu

Prasasti ini merupakan monumen bahu membahunya Jogugu Kota Gorontalo, Jogugu Suwawa dan Jogugu Limboto serta Marsoleh-Marsoleh bersama rakyat membuat jalan tembus sampai ke wilayah Kwandang,

Dalam kisah membuat jalan ini dikenang sebagai Huyula Hulondhalo dimana antar penguasa dengan penguasa, antar rakyat dengan rakyat, antar penguasa dengan rakyat bergotong royong. Pembangunan perintisan jalan Isimu-kwandang diresmikan tahun 1926

Nama nama yang ada di prasasti yaitu:

1. Rais Monoarfa Jogugu Gorontalo 

2. Haidar Pomuayadu Olii, Jogugu Limboto

3. Zakaria Wartabone, Jogugu Bone-Suwawa 

 

Dan para Marsaoleh:

1. Ibrahim van Gobel

2. Machmud Hippy 

3. Jusuf H.P Olii

4. K Datau

5. Ayuba Wartabone

6. Nuwa Ali

7. Bumulo Olii


Catatan:

Ada nama Haji Arsyad Rahmola sebagai Khadi Limboto yang turut terlibat dalam pelaksanaan perintisan jalan akses ke Kwandang, mengatur jadwal tenaga kerja dan berkoordinasi dengan Jogugu Haidar P Olii. Kebetulan keduanya masih saudara sepupu.

Sunday, July 11, 2021

Sultan Amayi

Islam masuk di Gorontalo atas nama cinta, itu terjadi ketika Raja Amay (raja Gorontalo) 1460-1535 meminang seorang putri bernama Boki Owutango Anak Raja Palasa. Raja Amay, adalah seorang pemimpin muda dan masih lajang berparas tampan pada masa itu pada tahun 1495.

Sebelum memeluk agama Islam, ia dan pengikutnya saat itu menganut agama Alifuru.

Sementara Putri Boki Owutango adalah seorang putri bangsawan, berparas amat cantik dan masih remaja, berkharisma agung, berbudi halus dan luhur, tersohor dan menjadi legenda di seantaro Sulawesi, Ternate, hingga Sulu sebagai putri agung yang memiliki ghirah Islam yang besar dan pemahaman yang luas dalam ilmu-ilmu Islam.


Ketika Raja Amai ingin meminang Putri Boki Owutango, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam Gomonjolo - Mautong di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Raja Amay. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh sang Raja yaitu :

Pertama, Raja Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan ,

Kedua, adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran.

Alhasil Kedua syarat itu diterima oleh Raja Amai.

Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo.

Sebelum menikahi sang putri Boki Owutango, Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah. Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.

Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu Sultan.

Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.

Masjid Sultan Amayi

Pada tahun 1550, sepeninggalan Sultan Amai, jabatan kerajaan digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya. Beliau pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.


Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepempinannya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.

Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.

Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.

Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.

Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat kerajaan telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.

Sultan Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu.

Provinsi Gorontalo merupakan daerah yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam serta suku yang majemuk. Sehingga agama yang berkembang di Provinsi ini menjadi beragam pula, diantaranya Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan Budha. Tapi yang banyak di anut penduduk gorontalo adalah agama Islam.

Orang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (96.36 %) yang sesuai falsafah daerah ini: “Adati hula to syaraa; syaraa hulahula to Qurani” atau “Adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah”. 

Gorontalo pun di kenal dengan sebutan “Kota Serambi Madinah” dengan infrastruktur serta bentuk-bentuk bangunannya yang bernuansa islami.

Sebelum kedatangan agama Islam, penduduk Gorontalo memeluk agama Alifuru, semacam kepercayaan animisme dan dinamisme. Serta mempunyai tiga bahasa daerah, yaitu Bahasa Gorontalo, Suwawa, dan Atinggola. Saat ini, bahasa yang lebih banyak dipakai sehari-hari adalah bahasa Indonesia dialek Manado, logat Gorontalo. 

Terkait tentang animisme dan dinamisme dalam kepercayaan lama masyarakat Gorontolo, pendapat tersebut tidak disepakati oleh Wantogia, yang menurutnya sejak semula orang Gorontalo percaya pada Tuhan yang maha Esa. Ungkapan dalam bahasa Suwawa-Gorontalo “Taquwata to mita niya Eya tuwawu loqu tuwawu liyo” (Tuhan yang maha Esa dan ke-maha-esa-an Tuhan, Tuhan Tunggal sebenar-benarnya tunggal). [Lihat Olha S. Niode: 2014 dalam S.Kau: 2015: 13].

Menurut Kau dan Suleman, sebutan Tuhan dalam bahasa Gorontalo disebut “Eya”. Kata “Eya” berdekatan dengan kata Esa dalam bahasa Indonesia (yang sebelumnya berasal dari bahasa Sansekerta). Menurut mereka, boleh jadi juga kata “Eya” berasal dari kata Arab “iyyahu” (hanya kepada-Nya).

Lebih lanjut dalam konteks ini Wantogia menegaskan bahwa orang Gorontalo lama tidak pernah menyembah batu, gunung, pohon, air, dan sebagainya. Mereka hanya percaya pada roh-roh halus yang bersemayam dalam benda-benda itu. 

Prinsip-prinsip kepercayaan lama yang tidak jauh dari prinsip aqidah Islam itulah sesungguhnya yang menyebabkan masyarakat Gorontalo begitu mudahnya menerima Islam tanpa proses yang berbelit-belit.

Islam memang tidak disebarkan dengan pedang.

Terkhusus Gorontalo, CINTA yang tulus di hati seorang Raja dan sang putri bangsawan muslim soleh yang dicintainya adalah pemegang peran utama hingga menjadikan Islam telah menjadi agama mayoritas masyarakat asli Gorontalo.

Islam adalah simbol cinta sejati, jantung dan hati seluruh masyarakat pribumi asli Gorontalo. Sebagaimana permintaan sang putri Boki Owutango,

"Wahai Raja Gorontalo, nikahilah dan cintailah daku karena Allah."

(Dikutip dari berbagai sumber)

Thursday, July 1, 2021

Peperangan Raja Gorontalo

Kerajaan Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.


Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo  Matolodupun sudah digantikan oleh anaknya. Pongokiwu sebagai Olongia to Tilayo, sedangkan isteri Matolodula bernama Wulatileni menggantikannya menjadi ratu di kerajaan to Huliyalio lo Hulantalo. Sementara itu untuk kedua kalinnya Limboto berusaha mendapatkan bantuan dari Ternate dalam rangka memerangi kerajaan Gorontalo. Usaha ini berhasil dilakukan melalui Detubiya, anak raja Humonggilo dan Ju’mu’min putri Ternate. Gorontalo akhirnya dapat dikalahkan dan anak perempuan Matolodula dengan Wulatileni bernama Poheleo atau Mboheleo dibawa ke Ternate sebagai tawanan. Putri ini pun akhirnya kawin dengan raja Ju Mangopa dan karna ia mempunyai nama Ternate yaitu Ju Balu. Ketika ibunya Wulatileni mangkat ia pun diizinkan kembali ke Gorontalo menggantikan ibunya sebagai Ratu Hilir (Olongia to Huliyalio). Ketika itu pun ia ditinggal mati suaminya Ju Mangopa.


Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.


Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.


Suatu hari kedua orang putri itu meminta izin untuk mandi di sumur dekat rumah raja itu, sewaktu akan mandi tiba-tiba air sumur naik hingga melimpah-limpah melalui pinggir sumur. Dengan serta merta mereka menyiram air kepada ke badannya dengan sebuah keranjang, dikarenakan orang tidak memberikan merka timba. Ternyata mereka mandi seolah-olah dengan menggunakan timba, air tidak keluar dari keranjang itu. Keajaiban tersebut membuat raja Gowa kagum, kemudian meminta mereka menurunkan hujan, dan betullan ternyata hujan pun turun setelah mereka memohon sambil mengadahkan tangan ke langit. Setelah kejadian itu putri-putri itu selanjutnya diperlakukan dengan hormat. Meskipun demikian setelah lepas dari musibah satu musibah lain pun datang, wabah-wabah lain masih tetap saja menimpa negeri itu. Akhirnya sang raja memutuskan memulangkan saja putri-putri itu ke Limboto. Maka berangkatlah mereka dengan satu kekuatan angkatan laut yang besar dengan tujuan merampas kembali semua barang-barang dan anak buah yang ditawan oleh orang-orang Gorontalo, dan kemudian bermaksud menaklukan Gorontalo dibawah kekuasaan Limboto. Ketika angkatan laut itu sampai di Tolinggula bertemulah mereka dengan utusan-utusan penjemput dari Limboto yang telah memperoleh berita gembira tentang kembalinya Ntobango dari Tili’aya. Di antara para penjemput itu terdapat Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomalo. Disebuah pulau kecil bernama Lihutokalo depan Bolontiyo berhentilah mereka. Disini Popa dan Pomalo berusaha menjalankan misinya, membujuk para pemimpin Gowa tidak bersedia karena merasa belum melaksanakan tugas yang di perintahkan raja mereka.


Sementara itu desas-desus mengenai kedatangan angkatan laut Gowa yang yang besar sudah terdengar di Gorontalo. Hohuhu Bumolu, setelah mendengar desas-desus tersebut menyuruh untuk mengumpulkan dua gantang emas mengirim Khatiibida’a Eyato membawa emas itu mempunyai menemui angkatan laut Gowa dan menbujuk mereka supaya jangan melakukan penyerbuan terhadap kerajaan Gorontalo. Eyato benar-benar berhasi menemui Wulea lo Lipu Pomalo dan Hohuhu Popa, selanjutnya dulohupa pun dilakukan. Dengan tindakan yang bijaksana diperolehlah jaminan dan kesepakatan akan bantuan mereka untuk menciptakan perdamaian di dua negeri yang bersengketa. Mereka menemukan kata sepakat sesudah pemimpin Gorontalo atas jaminan Eyato berjanji akan mengembalikan semua harta rampasan kekerajaan Limboto. Kemudian mereka menjalankan strategi untuk menghalau pasukan angkatan laut Gowa ke Gorontalo. Sambil membagi-bagikan emas kepada karaeng-karaeng Gowa tersebut, Eyato Dengan disaksikan oleh pembesar Limboto menerangkan bahwa Gorontalo akan menaklukan diri pada Limboto. Setelah memperoleh penjelasan tersebut maka akhirnya pasukan angkatan laut Gowa tersebut setuju untuk kembali ke Gowa. Sememtara itu kedua orang puteri Limboto dengan selamat akhirnya kembali ke Limboto didampingi oleh para baate masing-masing. Demikian pula Pomontolo, saudara lelaki mereka berhasil di bebaskan oleh baate Mopatu Taniyo.


Usaha mendamaikan kedua negeri yang bertikai mengalami kemajuan. Hal ini berkat peranan dan strategi yang dijalankan oleh pembesar kedua negeri terutama oleh Khatibida’a Eyato dan Hohuhu Bumulo dari pihak Gorontalo, dan Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomato dari pihak Limboto. Konon perdamaian itu telah jauh-jauh hari sebelumnya mereka rencanakan. Diceritakan suatu ketika Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Polamalo diperintahkan oleh ratu mereka mencari bala bantuan kerajaan Gowa. Akan tetapi dalam perjalanan dicegat oleh Khatibida’a Eyato. Eyato meminta kepada para pembesar Limboto itu untuk tidak tergesa-gesa dan sedapat mungkin memperlambat perjalanan, rupanya dengan maksud mengusahakan perdamaian antara Gorontalo dan Limboto sebelum angkatan laut tiba.akhirnya mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Ketika kembali ke Gorontalo dengan maksud akan menjalankan rencannya membujuk ratu kerajaan tersebut, kehadirannya di tempat itu ditolak. Sebagai Khatibida’a dia tidak berhak berbicara dalam siding pembesar Negara. Akan tetapi dengan kelihainannya akhirnya Eyato berhasil menarik perhatian bahkan meyakinkan kedua pimpinan Gorontalo, Sehingga diizinkan masuk ke Bantayo (ruang sidang)untuk memberikan penjelasan Bumulo, anak dari Hohuhu Hungilo (Buyobudu) saat itu bertindak sebagai perantara. Eyato memeparkan rencananya dalam sidang itu yang pada dasarnya ingin mendamaikan kedua kerajaan Gorontalo dan Limboto. Rencana ini akhirnya mendapatkan persetujuan kedua ratu Gorontalo, Moliye dan Poheleo. Diputusakan juga pada saat itu bahwa Boyubodu demi mendukung kepentingan Bomulo, sekaligus menyerahkan jabatan kepada anaknya itu sebagai Hohuhu Hungilo. Sementara itu Eyato juga menggantikan pamannya Patilama sebagai


Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.


Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :


Tomupa loli Dotula                 Orang turun dari perahu disungai (Lupoyo)


Mai mohibintua                       Datang bertanya-tanya


Malongongolipua                    Sudah bersama-sama satu negeri


Ode hinteyalihua                    Menuju saudara seibu

Tuesday, June 1, 2021

Tumbilotohe tempo dulu

Sebelum ada bahan bakar minyak untuk lampu penerangan, masyarakat Gorontalo dimasa lampau menggunakan bahan bakar dari getah damar. Orang menyebutnya Tohetutu. Sekitar tahun 70an Tohetutu untuk Tumbilotohe masih digunakan oleh masyarakat Gorontalo terutama yang tinggal di pelosok desa.

Bahan dasar untuk membuat tohetutu adalah getah dari pohon damar dan daun Woka muda yang sudah kering. Seperti melinting tembakau , getah damar dimasukan pada gulungan daun Woka. Kemudian daunnya diikat agar gulungannya tetap rapat dan getahnya tidak mudah keluar.



Saat dinyalakan Tohetutu ini memiliki aroma yang harum. Sekarang ini penggunaan Tohetutu untuk Tumbilotohe sudah sangat jarang dipakai, oleh karena mendapatkan getah damar harus mencarinya di hutan.

Karena getah damar mulai sulit didapatkan, masyarakat Gorontalo saat pelaksanaa Tumbilotohe mulai menggunakan lampu "Padamala" dengan bahan dasarnya minyak kelapa dan sumbu kapas, wadahnya cangkang kerang kadang juga dipakai buah pepaya atau kelapa yang dibagi dua. Sekitar era tahun 1980an mulai menggunakan " Tohe Butulu" (lampu botol) bahan bakarnya minyak tanah




Saturday, May 29, 2021

Tradisi Tumbilotohe

Konon, tradisi ini sudah berlangsung sejak abad XV. Pada masa itu lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. 

Alat penerangan ini di sebut wango – wango. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut padamala.Seiring dengan perkembangan zaman, maka bahan lampu buat penerangan di ganti minyak tanah hingga sekarang ini. Bahkan untuk lebih menyemarakkan tradisi ini sering ditambahkan dengan ribuan lampu listrik.Tumbilotohe, pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo popatii….. Kalimat pantun ini sering lantunkan oleh anak – anak pada saat tradisi pemasangan lampu dimulai. 

Budaya turun temurun ini menjadi ajang hiburan masyarakat setempat. Malam tumbilotohe benar – benar ramai, bisa di bilang festival paling ramai di gorontalo. 

Apalagi kalo diselenggarakan lomba antar kampung atau kecamatan, Kalau ada foto udara, Anda dapat menyaksikan wilayah gorontalo terang bercahaya.Saat tradisi tumbilotohe di gelar, wilayah gorontalo jadi terang benderang, nyaris tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe yang digantung pada kerangka – kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama Alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi kota gorontalo. 

Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambing kesejahteraan dan tebu sebagai lambing keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. 

Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan di buat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. 

Tradisi tumbilitohe juga menarik ketika warga gorontalo mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival bedug (sumber:wikipedia)



Thursday, May 27, 2021

Alikusu (Arkus)

Dalam bahasa Gorontalo Alikusu artinya " Pintu Gerbang". Adanya Alikusu sebagai tanda akan berlangsungnya suatu upacara adat.

berbagai jenis Alikusu diantaranya :

Alikusu Tonuwa : Alikusu untuk penyambutan tamu atau pejabat penting.

Alikusu Lo Tohe : Alikusu yang dibuat untuk malam TUMBILOTOHE.

Alikusu Pobiya : Alikusu untuk acara pernikahan atau sunatan/pembeatan.

Alikusu Lo Lipu : Alikusu yang dibuat untuk kepentingan menyambut hari hari besar Islam.

Alikusu Lo Huwa : Alikusu yang dibuat pada suasana duka dengan pemakaman secara adat.

Alikusu Du'a : Alikusu yang khusus ditempatkan di depan Rumah Dinas kepala daerah, Camat dan kepala desa.



Wednesday, May 5, 2021

Catatan Sejarah Bolaang Uki

 Sejarah Bolaang Uki yang di catat oleh Wilken dan Swarzh 1867 

Negeri Oeki. 

Teluk Oeki atau Labuhan Uki memiliki dataran Rendah berawa berakhir ditempat ini negeri Oeki dibangun. Di pantai kami disambut oleh kepala suku negri, selanjutnya diantar ke rumah Raja, dimana Djogoegoe menunggu kami bersama para pangeran dan kepala lainnya.  

Saat kedatangan kami negeri ini dilanda wabah penyakit sehingga Raja meminta kami mengatakan melalui Djogugu bahwa kami memiliki kebebasan untuk mengatur tempat tinggal, kami memilih tinggal di rumah Jogugu,rumah ini juga merupakan milik rumah kerajaan, Rumah ini didekorasi secara lengkap dengan berbagai jenis kain. Rumah kayu bertangga. 

Di rumah ini ada Seorang kakek kepala pelaut sutra abad ketujuh belas yang yang sudah tua mengenakan "helm tembaga belang-belang tua dan tombak berkarat di tangan. Dengan dandanan seperti ini, pria itu mirip seperti tentara Voc yang pemberani Jan Company. 

Kami Berjalan mengelilingi rumah rumah warga , yang terdiri dari jalan kecil yang dilapisi dengan rumput sebagian tempat tinggal ada yang belum teratur namun pada umumnya sudah baik. 

Populasi kekaisaran ini sekarang 250 hingga 300 jiwa memiliki sekitar 50 hingga 60 rumah tangga, beberapa di antaranya menetap di Molibagu, kota pesisir yang terletak di antara Gorontalo dan Kottabunan. Seluruh penduduk telah lama memeluk Islam, Kekristenan tetap asing bagi penduduk, Penduduk membayar setiap tahun kepada Pemerintah sebagai hasil Æ’ 250 gulden yang mana Rajah dan para menterinya menerima sepersepuluh dari jumlah yg dibayarkan. 

Masih banyak penduduk yang miskin di antara populasi ini, industri atau perdagangan hampir tidak ada. Pabrik tenun menurun karena kain linen murah yang didatangkan dari Eropa. Seperti di Bolaang juga ada pertanian sawah kecil yang dibudidayakan. Pembuatan garam hanya untuk konsumsi rumah tangga.budidaya tanaman Kakao sudah dilakukan di masa Amarhum Residen Jansen namun kakao terhambat oleh penyakit buah busuk.Sagu adalah makanan sehari-hari penduduk.


SEJARAH LELUHUR BOLANGO

Leluhur nenek moyang Bolango sebelumnya tinggal selama beberapa abad di kaki gunung Klabat, di dekat sungai kecil yang mengalir dari timur ke utara gunung itu disebut Aer-Bolango. Dari sungai di kaki gunung Klabat kemudian berpindah ke pulau lembeh selama beberapa tahun di pulau lembeh kemudian harus pindah lagi karena di sebabkan bencana yang mengerikan,Bencana ini terjadi akibat Suatu peristiwa ketika Dua anak Raja, saudara laki-laki dan perempuan yang telah terpisah lama namun bertemu kembali saling jatuh cinta mereka terjebak dalam pergaulan terlarang, harusnya secara adat mereka berdua harus di hukum berat,tetapi karena mereka bagian dari keluarga penguasa sehingga di anggap lolos dari aturan adat ini.namun sebagian besar warga takut membiarkan pelanggaran adat ini.Akibat pelanggaran adat ini turunlah Bala dan bencana. 

Bala yang mengerikan turun ketika semua hewan dan serangga memberontak Udang dalam jumlah sangat banyaknya baik di lautan mapun di sungai naik ke daratan, menghancurkan semua tanaman dan pepohonan, menyerang ternak dan manusia, dan merusak udara dengan bau busuk.menyebabkan kelaparan dan wabah pwnyakit, penduduk terpaksa meninggalkan pulau itu. Beberapa dari mereka pergi untuk menetap di pulau Siauw, sebagian lagi di Kema, yang lain menyusuri pantai timur menuju Belang, sebagian yang lain melewati Kottabunan menuju Totokia tanah yang berada di antara Gorontalo dan Molibagu.

Dari tempat inilah setelah bertahun tahun tinggal terjadi pernikahan antara Pangeran Limbotto dengan putri Totokia,Leluhur Bolango kemudian pindah ke Gorontalo, di mana mereka mendirikan sebuah negri, yang disebut Bolango, di sekitar Limbotto, dan hidup di bawah pemerintahan Raja mereka sendiri. 

Namun akibat Ketidaksepakatan dan konflik yang terus terjadi dengan Raja Limbotto karena kepemilikan tanah membuat mereka memutuskan, dengan persetujuan pemerintah Belanda, untuk pindah ke Bangka di bawah pimpinan Raja Matokka mereka menuju sebuah wilayah daratan di pantai barat disekitar muara sungai Lombagin (Saat ini di sekitar Pabrik PT Conch ), di daerah Raja Bolaang-Mongondou yang kemudian terjadi Hubungan yang sangat baik dengan Suku Bolaang Mongondo.Perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1802 atau 1803. 

Namun lokasi ini tidak strategis oleh pengaruh gangguan Angin Selatan di Bangka, dan banyaknya binatang buaya di sungai Lombagin yang sering menyerang penduduk, Bolango kemudian pindah lagi pada tahun 1849 atau 1850 ke teluk Oeki (saat ini sekitar Labuhan Uki Lolak), yang juga terletak di daerah Bolaang Mongondou. Bolango yang Sebelumnya tinggal di Bolaang Bangka karena berpindah di sekitar teluk uki maka kini mereka disebut Bolango Oeki/Bolaang Uki. 

Raja Bolaang Oeki saat ini adalah, ALIJOE-DINI-ISKANDER-GOEBAL-BADIAMAN, telah memerintah sejak 1837. Saat kami temui Raja telah berumur sekitar 60 tahunBaru pada usia enam puluh tahun,Sesaat sebelum keberangkatan kami, Raja mendatangi kami di beranda depan untuk meminta agar memberikan surat pemberitahuan Kepada Residen,atas pengunduran dirinya menjadi Raja. 

Bolango-Oeki juga membuat kesepakatan dan Kontrak dengan Hindia Belanda,Bentuk pemerintahannya adalah sistem monarki. Kepala pemerintahan adalah Raja, yang dibantu oleh Dewan dan mentri menterinya,tanpa hasil keputusan para mantri dan dewan kerajaan Raja tidak dapat memutuskan hal hal yang menjadi kepentingan Raja. 


Struktur pemerintahan :

RAJA

JOGUGU

KAPITEN-LAUT

MARSAOLI

WALAPOELOE

HOEKOEM

KIMALAHA

MAJOR 


Mereka sebagian adalah kaum bangsawan, Kepala kepala desa dan kepala agama di pilih oleh warga dan diangkat oleh Raja,Pemilihan Raja tidak selalu diturunkan dari ayah ke anak tetapi juga di pilih dari saudara Raja laki laki yang di sepakati oleh Dewan kerajaan. Raja Bolaang uki juga melakukan kontrak san perjanjian dengan Hindia Belanda. 

Pemukiman di Molibagu berada di bawah kendali seorang Panggulu dan beberapa kepala bawahan. Semua kepala suku ini menerima hasil dan mengumpulkan hasil pajak kebun,dan pajak rumah. 

Konflik Pulau Tiga 

Bolaang Oeki memperoleh reputasi pelanggaran ketika pada tahun 1864,sebuah kapal Jepang yang berlabuh di pulau Tiga berpindah ke Labuhan Uki untuk berlindung akibat Badai,di serang dan di jarah oleh beberapa orang yang di pimpin Pangeran Gorontalo,Penyerangan itu di lakukan di malam hari,Kapal di bakar dan barang jarahan di angkut ke Teluk Uki seluruh awak Kapal Tewas. 

Residen Manado melakukan penyelidikan atas kejadian ini, pemeriksaan atas Jogugu Bolang Uki menyampaikan tidak tahu menahu,namun pangeran yang memimpin berhasil di tangkap di Van Bool (Bolangitang) kemudian di hukum dan di penjarakan di residen manado. 

Dalam penyidikan di laporkan bahwa kelompok ini curiga dengan kapal yang berbendera aneh dan berbicara tidak seperti Company (VOc),Arab atau Cina.sehingga mereka menganggapnya sebagai orang asing dan musuh. 

Sumber : Tijdschrift voor zendingswetenschap, mededeelingen hal. 32-39 



Dari Data inilah Publik Bolaang Mongondow Raya dapat mengidentifikasi kembali sejarah Bolango salah satunya adalah perubahan Peta Wilayah Bolaang Uki yang sebelumnya masih memanjang dari Molibagu ke Labuhan uki dengan nama Bolaang Bangka di abad ke 19 kemudian terjadi lagi pengaturan tata kelola wilayah para Raja Raja Bolaang Mongondo Raya di mana wilayah Bolaang Uki kemudian berubah semuanya di sisi selatan memanjang dari molibagu ke Gorontalo berbatasan di Posigadan.Hubungan Leluhur Bolango dan Mongondo ada pada pernikahan Golonggom - Bolaango atau disingkat Gobal. 


Wednesday, April 7, 2021

Kuliner Tradisional (2)

Makanan olahan jagung

Laporan JF. Riedel tahun 1870 masyarakat Gorontalo umumnya mengkonsumsi Jagung dan beras sebagai bahan makanan pokok.

Dahulu masyarakat Gorontalo sering mencampur jagung dan beras untuk dijadikan bahan makanan pokok yang dikenal dengan nama Ba’a Lo Binthe (beras jagung). Olahan makanan dari jagung yang terkenal adalah Binthe Biluhuta. Tahun 2016 Kementrian Pendidikan dan kebudayaan RI menetapkan Binthe Biluhuta sebagai warisan budaya tak benda.

Selain Binthe Biluhuta ada juga jenis olahan jagung sebagai makanan khas gorontalo anatara lain bubur Sada, Binthe Biloti dan Jagung rebus putungo.

# Bubur Sada.

Bahan dasar untuk membuat Bubur Sada disebut Dila Lo Binthe yaitu biji jagung yang telah digiling halus. Lalu dimasak menjadi bubur Sada, biasanya dihidangkan dengan dabu-dabu sagela atau ikan fufu.

Bubur Sada


# Binthe Biloti 

Jenis makan ini sudah jarang dikomsumsi. Bahan ini terdiri dari jagung kering yang disangrai sampai renyah dengan bumbunya terdiri dari bawang merah, daun bawang, hele (udang kecil) dan cabe.

# Binthe Lo Putungo

Jagung rebus yang dipadukan dengan sayuran dari bahan jantung pisang atau disebut Binthe Lo Putungo.

Kuliner Tradisional (1)

 Tili'aya dan Ilabulo Sebagai Warisan Budaya Tak Benda


Pada Tahun 2019 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Tili’aya dan Ilabulo masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda. Tili’aya dan Ilabulo adalah makanan tradisional Gorontalo, menurut tokoh Budaya Haji Abdul Wahab Lihu bahwa tidak akan sempurna suatu peradatan di Gorontalo jika tidak disuguhi dua hal sebagai makanan untuk dihidangkan yaitu ilabulo dan tili’aya.


Bagi masyarakat Gorontalo tempo dulu, Tili’aya yang terbuat dari campuran gula merah, telur dan santan disajikan pada saat sahur hari pertama dan berbuka puasa di bulan Ramadhan. Selain itu makanan Tili'aya pada acara adat sebagai lauk atau pelengkap nasi dan makanan berat lainnya. Kalau sekarang jika ada kegiatan doa arwah atau tahlilan biasanya disuguhkan Tili’aya dan Nasi kuning.


Ilabulo adalah jenis makanan dibuat melalui proses pemasakan adonanannya yang terdiri dari tepung sagu, jeroan hati dan ampela, lemak daging ayam dan campuran rempah-rempah. Adonan ini dibungkus dengan daun pisang sehingga menghasilkan ilabulo dengan aroma khas dan rasa yang gurih. Pada Zaman dahulu makanan ilabulo hanya disajikan untuk raja dan kalangan bangsawan Gorontalo, tetapi saat ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Gorontalo yang disajikan dalam bentuk kukus atau dibakar

Wednesday, March 10, 2021

Kerajaan Gowa Tallo di Gorontalo

 Pada tahun 1634 kerajaan Limboto takluk atas serangan kerajaan Gorontalo yang di dukung oleh kerajaan Gowa-Tallo. Pada masa itu kerajaan Gorontalo dan Limboto sedang mengalami perang saudara selama hampir 200 tahun.

Oleh sebab itu kesimpulan yang dapat diterima mengenai taklukan kerajaan Gowa-Tallo di kawasan Teluk Tomini adalah kerajaan Limboto. Kerajaan Gorontalo adalah bukan termasuk taklukan dengan mempelajari uraiannya sebagai berikut, bahwa:

1. Sebelum Limboto takluk atas serangan tentara sekutu kerajaan Gowa-Tallo dan kerajaan Gorontalo, terlebih dulu Gorontalo takluk oleh serangan tentara kerajaan Limboto yang mendapat bantuan dari pihak kerajaan Ternate.

2. Pasca kekalahan yang dialami kerajaan Gorontalo, maka Raja Gorontalo mengutus seorang bangsawan wanita bernama Poheleo untuk meminta bantuan kepada Raja Gowa-Tallo Imangerangi daeng Manrabia guna melakukan serangan balasan pada tahun 1634.



Friday, February 19, 2021

Bajak Laut

Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktifitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).



Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).


Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.


Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.


Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).


Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.


Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).


Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).


Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15). 


Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).


Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo".

Ket. Foto: Perahu menyeret kayu ke Tobelo, Halmahera 1910.

Saturday, February 6, 2021

Empat Kampung di Limboto

 MUNCULNYA EMPAT NAMA DESA DI LIMBOTO DIBALIK 

KEMARAHAN RADJA ILATO


Oleh : M. Lihu*

Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu dhesi yang berarti tempat kelahiran atau tanah tumpah darah. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan NKRI, (lihat PP Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa).


Adapun latar belakang pemberian nama desa itu, tentu melalui musyawarah para tokoh di desa tersebut. Menurut penulis, latar belakang pemberian nama suatu tempat atau desa tidak lepas dari 3 hal ; yaitu diambil dari orang yang pertama menempati desa atau kampoeng itu, peristiwa besar dan bermakna bagi masyarakat di desa/kampoeng tersebut, dan keadaan geografis kawasannya. Sama halnya dengan daerah Limboto (kabupaten Gorontalo) sekarang ini, terdapat 4 (empat) kampoeng/desa yang nama-namanya dilatar-belakangi sebuah peristiwa besar dan bermakna di daerah tersebut. Adapun nama-nama kampoeng itu adalah desa/kel Kayu Merah, Bolihuwangga, Hutuo, dan desa/kel Dehuwalolo.


Anehnya, latar-belakang 4 (empat) nama kampoeng di atas tidak diketahui kebanyakan orang di Limboto, khususnya yang tinggal di kampoeng-kampoeng tersebut. Justru kami di ujung Kwandang (desa Monano) sangat mengetahui asal-usul 4 (empat) nama kampoeng di Limboto itu melalui penuturan kakek dan nenek. Karenanya saya curiga, mungkin peristiwa ini termasuk pada bagian “Halale Otawa Haramu Tombiluwalo” di pertengahan abad 19 ?, mengutip kalimat Lukman N. 


Menurut Lukamn N, Cerita-cerita yang dilarang belanda (HALALE OTAWA, HARAMU TOBILUWOLO), sebuah istilah yang timbul pada tengah abad ke 19. Dimana peristiwa kuno yang sebenarnya terjadi, dilarang Belanda utk dituturkan. Nama pejabat yang sebenarnya tidak disukai sehingga dilaporkan dengan nama berbeda. Para keturunannya sekarang lebih baik berembuk dan menyatukan cerita dari masing-masing kakeknya. Tidak ada lagi Belanda yang melarang. Kalau berbeda versi ya tuliskan saja, sebutkan versinya. Tetap rukun, tidak ada yang merasa paling benar.


Juga terkait ILATO yang dalam catatan colonial Belanda, ia hidup tahun 1500 atau 1600, sementara bagi keluarga bahwa ILATO (ILATO BIN BULONGGODU) adalah ayah dari totu Radja (Radja Bin Ilato) yang lahir di Limutu tahun 1840 M, kini makamnya di atas gunung desa Dembe (Batudaa) atau benteng Otanaha. Totu Radja bernama lengkap ‘Radja Bin Ilato Bin Bulonggodu’. Menurut Almh. Marina bahwa totu Radja bukanlah seorang Raja, namun namanya adalah ‘Radja’ (gelar adat ; Ti Bualo) selaku anak tertua dari Ilato. Karena itu kami heran, kenapa Ilato disebut ‘Ti Jupanggola ?’. Istilah itu benar-benar lucu bagi keluarga dan terlalu mengada-ada saja, atau sekedar penafsiran orang lain ?. 


Lanjut, dikisahkan Almh. Marina Radja Ilato pada saya tahun 2008 silam, bahwa kakeknya yang bernama Radja (Radja Bin Ilato) sewaktu beliau belum nikah, sang kakek bersama beberapa orang saudara perempuannya hidup di Limboto, tepatnya di kampoeng Kayu Merah sekarang ini. Namun, sebulan sekali mereka ke Tapa yaitu di sekitar Ayula sekarang ini karena disanalah keluarga ayahnya. Mereka hidup di zaman pemerintahan pemerintah hindia Belanda sekitar 1840 – 1920, namun peristiwa tersebut terjadi tahun 1870.


Bermula dari laporan seorang temannya, ia melapor ke Radja dalam berbahasa Gorontalo sbb ; ‘Hepolele lo tau lo Sina, ito tau lo Hulontalo bomongngala binte, uwali ngoliyo binte beito bo ualo lo wadala’ (dikatakan oleh orang-orang China, kita orang Gorontalo itu hanya pemakan jagung. Kata mereka, jagung itu hanyalah makanan kuda).


Perkataan orang China itu bagi Radja bukan hanya sebatas penghinaan makanan orang Gorontalo saja, namun penghinaan terhadap orang/suku Gorontalo yang menyerupakan seperti kuda. Setelah mendengar laporan tersebut, saat itu juga kemarahan Radja memuncak dan mengambil pedang Sumala menuju sebuah tempat dimana orang-orang China diwilayah Limboto berada. 


Dikisahkan, pembunuhan orang-orang China itu dimulai dari kampoengnya. Pembantaian itu betul-betul sangat mengerikan bahkan ‘to ayu-ayu yileela’ (batang-batang pohon kayu pun menjadi merah), merah dengan percikan darahnya orang-orang China yang di bantai, dan kini kawasan tersebut bernama ‘Ayu Mela’ (Kayu Merah). 


Bertolak dari Kayu Merah, beliau menuju arah barat, di sana-pun ia membantai orang-orang China. Dikisahkan dalam bahasa Gorontalo, peristiwa tersebut menyebabkan ‘To huwa-huwangga lo bobooli’ (pedang-pedang pun patah-patah), sehingga kawasan tersebut menjadi ‘Bolihuwangga’ (pedang patah).


Dari Bolihuwangga, beliau terus ke salah-satu kampoeng lagi. Disana ia sudah di hadang oleh beberapa orang Gorontalo, termasuk aparat kepolisian colonial Belanda yang melindungi orang-orang China. Dikisahkan, di kampung itu beliau mendapat perlawanan yang cukup sengit dari orang-orang Gorontalo yang mahir dalam bela diri Langga yang disewa orang China. Meskipun demikian, akhirnya kemenangan tetap dipihak Radja, sehingga mayat orang-orang itu, mailele Hutuo ditempat itu, dan kini  menjadi Hutuo. 


Dari Hutuo, beliau menuju ufuk barat dan berakhir dipinggiran Bulalo lo Limutu (danau Limboto). Kebetulan ditempat itu terletak sebatang kayu tua, namun kayu tersebut hanya bagian dalamnya saja yang dalam bahasa Gorontalo wantohu lo ayu. Dengan disaksikan banyak orang, pada hari itu juga beliau menjatuhkan serta menancapkan (dilehuwa liyo wolo’u yiloloiyo), kini menjadi ‘Dehuwalolo’, sebatang kayu tua itu dipinggiran danau Limboto, sambil berkata dalam bahasa Gorontalo sbb ‘Mulai to saati butiya dila mowali tau lo Sina memomeya to huta lo Limutu, wau mapontolau teya’ (mulai saat ini tidak bisa lagi orang China menempati wilayah Limboto, dan aku batasi disini). 


Peristiwa tersebut terjadi hanya dalam sehari saja yaitu tahun 1870. Setelah peristiwa itu beberapa hari kemudian beliau langsung menuju kampoeng Monano sambil monenteng pedang Sumalanya. Sumala tersebut adalah milik ayahnya (Ilato) yang diwariskan pada beliau. Sumala itu merupakan saksi bisu Limboto berdarah yang hingga kini masih tersimpan rapi di salah-satu rumah cicitnya di desa Monano Kecamatan Monano Kabupaten Gorontalo Utara. Mengingat anak-anaknya pada isteri pertamanya ketiga-tiganya adalah wanita sehingga Sumala tersebut diwariskan pada anak laki-laki pertamanya diisteri ke-duanya. Anak itu bernama Alm ‘Boeka Bin Radja Ilato’ alias ‘Ti bapu Moni’ selaku suami dari Toluto Lihoe, yaitu wanita kelahiran Tapa (tepatnya di Ayula) tahun 1882 M. Putra-puteri mereka yaitu ; Ilato B. Radja ‘patinggi iri’, Marina B. Radja Ilato, Pakuru B. Radja Ilato, Sumardin B. Radja Ilato,  Jannah B. Radja Ilato, Yulin B. Radja Ilato.


Inilah salah-satu peristiwa besar yang benar-benar terjadi di wilayah Limboto yang tidak tercatat dalam sejarah Gorontalo. Betapa bermaknanya peristiwa itu, sehingga jejaknya pun tetap terabadikan pada 4 (empat) nama kampoeng di Limboto yaitu ; kampoeng Ayu Mela, Bolihuwangga, Hutuo dan Dehuwalolo.


Mohon maaf jika ada kata, kalimat, bahasa dan susunan tulisannya yang tidak beraturan, karena tujuan penulis tidak lain hanyalah berbagi cerita yang benar-benar terjadi di masa lampau, kerena kisah ini memang tidak termuat dalam catatan colonial. Wassalamu alaikum wrwb. 


Sumber : Almh. Marina B. Radja Ilato.

Wednesday, January 6, 2021

Catatan Pemimpin Bolango Masa Lalu

Catatan Gubernur Jendral Matheus de Haan tertanggal 5 Desember 1726, bahwa Raja Bolango Sangilatu mengundurkan diri karena usia sangat tua.Dia digantikan anaknya bernama Kitjil Gobolo.

Catatan VOC nama resmi Raja Sangilatu adalah Abraham Sangilatu. Bagi orang Bolaang Uki menyebutnya Sangiandatu.


Kitjil Gobolo dinobatkan menjadi raja Bolango tanggal 30 April 1731 di benteng Oranye Ternate, penobatannya didampingi Jogugu Panomanigi, kapiten laut intu intu, marsaoleh Bileito, Hakim Balaiya dan Sangadi Banta.


Pada catatan buku silsilah keluarga Gobel, Raja Bolango Hubulo I berkuasa pada tahun 1752-1772, memiliki nama resmi Ibrahim Duawulu. Raja Hubulo dikenal sebagai Aulia Salihin, nama Hubulo bagi aksen lidah orang Belanda menyebutnya Gobel. Sehingga anak keturunannya lebih banyak memakai marga Gobel. Terkecuali Raja Bolango Habibullah, nama resminya Mohammad Kaitjil Iskandar Baren Duawulu. Raja Habibullah adalah generasi ke-3 keturunan Raja Hubulo I/ Gobel alias Ibrahim Duawulu. Orang Bolango keturunan Raja Hubulo yang pertama kali memakai marga "Van Gobel" adalah Raja Bolang uki yaitu Muhammad Aliyuddin Iskandar Ali Van Gobol (GOBEL)


Sekitar tahun 1830-1860 orang Bolango memiliki dua kerajaan yaitu Kerajaan Bolango - Bangka dan kerajaan Bolango di Tapa. Di kemudian hari kerajaan Bolango Bangka pindah ke Teluk Uki dengan nama Kerajaan Bolaang Uki, pada masa kekuasan Raja Hasan Van Gobel kerajaan ini pindah lagi di wilayah Molibagu.

Tahun 1856 Raja Bolango Bangka adalah Raja Abadi keturunan ke-4 Raja Hubulo I (Raja Gobel). Kerajaan Bolango di Tapa diantaranya Raja Habibullah (1855), Usman (1856), Humonggilu (1857). Raja Bolango yang terakhir di Tapa adalah Tilahunga berkuasa 1857-1862.


Raja Bolaang Uki berturut turut diperintahkan oleh Willem Van Gobel, Hasan Van Gobel dan Ari Banser Van Gobel. Ketiga raja ini masih keturunan raja Hubulo I alias Raja Gobel. Kerajaan Bolaang Uki berakhir tahun 1950, bergabung dengan Republik Indonesia.


Walaupun kerajaan Bolango berakhir tahun 1862, keturunan Raja Gobel masih terlihat eksis di abad 19. Sebut saja ada Oeno Van Gobel pernah menjadi Marsaoleh Tibawa selama 16 tahun (1891-1907). Beaba Van Gobel marsaoleh di Paguat tahun 1892, kemudian tahun 1893 menjadi Marsaoleh di Boalemo. Muhammad Van Gobel marsaoleh Atinggola (1890-1894).

Marsaoleh Tibawa Oeno Van Gobel


Setelah Kemerdekaan RI ada nama Jogugu Suwawa Ibrahim Van Gobel dan Jogugu Nontji Gobel.

Pengusaha Nasional Thayeb M. Gobel pemimpin perusahaan elektronik PT National Gobel, sekarang bernama PT Panasonic


Sumber:

Buku Kerajaan Bolango

Buku Silsilah Keluarga Gobel

adrianuskojongian.blogspot.com