Friday, February 19, 2021

Bajak Laut

Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktifitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).



Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).


Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.


Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.


Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).


Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.


Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).


Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).


Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15). 


Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).


Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo".

Ket. Foto: Perahu menyeret kayu ke Tobelo, Halmahera 1910.

Saturday, February 6, 2021

Empat Kampung di Limboto

 MUNCULNYA EMPAT NAMA DESA DI LIMBOTO DIBALIK 

KEMARAHAN RADJA ILATO


Oleh : M. Lihu*

Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu dhesi yang berarti tempat kelahiran atau tanah tumpah darah. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan NKRI, (lihat PP Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa).


Adapun latar belakang pemberian nama desa itu, tentu melalui musyawarah para tokoh di desa tersebut. Menurut penulis, latar belakang pemberian nama suatu tempat atau desa tidak lepas dari 3 hal ; yaitu diambil dari orang yang pertama menempati desa atau kampoeng itu, peristiwa besar dan bermakna bagi masyarakat di desa/kampoeng tersebut, dan keadaan geografis kawasannya. Sama halnya dengan daerah Limboto (kabupaten Gorontalo) sekarang ini, terdapat 4 (empat) kampoeng/desa yang nama-namanya dilatar-belakangi sebuah peristiwa besar dan bermakna di daerah tersebut. Adapun nama-nama kampoeng itu adalah desa/kel Kayu Merah, Bolihuwangga, Hutuo, dan desa/kel Dehuwalolo.


Anehnya, latar-belakang 4 (empat) nama kampoeng di atas tidak diketahui kebanyakan orang di Limboto, khususnya yang tinggal di kampoeng-kampoeng tersebut. Justru kami di ujung Kwandang (desa Monano) sangat mengetahui asal-usul 4 (empat) nama kampoeng di Limboto itu melalui penuturan kakek dan nenek. Karenanya saya curiga, mungkin peristiwa ini termasuk pada bagian “Halale Otawa Haramu Tombiluwalo” di pertengahan abad 19 ?, mengutip kalimat Lukman N. 


Menurut Lukamn N, Cerita-cerita yang dilarang belanda (HALALE OTAWA, HARAMU TOBILUWOLO), sebuah istilah yang timbul pada tengah abad ke 19. Dimana peristiwa kuno yang sebenarnya terjadi, dilarang Belanda utk dituturkan. Nama pejabat yang sebenarnya tidak disukai sehingga dilaporkan dengan nama berbeda. Para keturunannya sekarang lebih baik berembuk dan menyatukan cerita dari masing-masing kakeknya. Tidak ada lagi Belanda yang melarang. Kalau berbeda versi ya tuliskan saja, sebutkan versinya. Tetap rukun, tidak ada yang merasa paling benar.


Juga terkait ILATO yang dalam catatan colonial Belanda, ia hidup tahun 1500 atau 1600, sementara bagi keluarga bahwa ILATO (ILATO BIN BULONGGODU) adalah ayah dari totu Radja (Radja Bin Ilato) yang lahir di Limutu tahun 1840 M, kini makamnya di atas gunung desa Dembe (Batudaa) atau benteng Otanaha. Totu Radja bernama lengkap ‘Radja Bin Ilato Bin Bulonggodu’. Menurut Almh. Marina bahwa totu Radja bukanlah seorang Raja, namun namanya adalah ‘Radja’ (gelar adat ; Ti Bualo) selaku anak tertua dari Ilato. Karena itu kami heran, kenapa Ilato disebut ‘Ti Jupanggola ?’. Istilah itu benar-benar lucu bagi keluarga dan terlalu mengada-ada saja, atau sekedar penafsiran orang lain ?. 


Lanjut, dikisahkan Almh. Marina Radja Ilato pada saya tahun 2008 silam, bahwa kakeknya yang bernama Radja (Radja Bin Ilato) sewaktu beliau belum nikah, sang kakek bersama beberapa orang saudara perempuannya hidup di Limboto, tepatnya di kampoeng Kayu Merah sekarang ini. Namun, sebulan sekali mereka ke Tapa yaitu di sekitar Ayula sekarang ini karena disanalah keluarga ayahnya. Mereka hidup di zaman pemerintahan pemerintah hindia Belanda sekitar 1840 – 1920, namun peristiwa tersebut terjadi tahun 1870.


Bermula dari laporan seorang temannya, ia melapor ke Radja dalam berbahasa Gorontalo sbb ; ‘Hepolele lo tau lo Sina, ito tau lo Hulontalo bomongngala binte, uwali ngoliyo binte beito bo ualo lo wadala’ (dikatakan oleh orang-orang China, kita orang Gorontalo itu hanya pemakan jagung. Kata mereka, jagung itu hanyalah makanan kuda).


Perkataan orang China itu bagi Radja bukan hanya sebatas penghinaan makanan orang Gorontalo saja, namun penghinaan terhadap orang/suku Gorontalo yang menyerupakan seperti kuda. Setelah mendengar laporan tersebut, saat itu juga kemarahan Radja memuncak dan mengambil pedang Sumala menuju sebuah tempat dimana orang-orang China diwilayah Limboto berada. 


Dikisahkan, pembunuhan orang-orang China itu dimulai dari kampoengnya. Pembantaian itu betul-betul sangat mengerikan bahkan ‘to ayu-ayu yileela’ (batang-batang pohon kayu pun menjadi merah), merah dengan percikan darahnya orang-orang China yang di bantai, dan kini kawasan tersebut bernama ‘Ayu Mela’ (Kayu Merah). 


Bertolak dari Kayu Merah, beliau menuju arah barat, di sana-pun ia membantai orang-orang China. Dikisahkan dalam bahasa Gorontalo, peristiwa tersebut menyebabkan ‘To huwa-huwangga lo bobooli’ (pedang-pedang pun patah-patah), sehingga kawasan tersebut menjadi ‘Bolihuwangga’ (pedang patah).


Dari Bolihuwangga, beliau terus ke salah-satu kampoeng lagi. Disana ia sudah di hadang oleh beberapa orang Gorontalo, termasuk aparat kepolisian colonial Belanda yang melindungi orang-orang China. Dikisahkan, di kampung itu beliau mendapat perlawanan yang cukup sengit dari orang-orang Gorontalo yang mahir dalam bela diri Langga yang disewa orang China. Meskipun demikian, akhirnya kemenangan tetap dipihak Radja, sehingga mayat orang-orang itu, mailele Hutuo ditempat itu, dan kini  menjadi Hutuo. 


Dari Hutuo, beliau menuju ufuk barat dan berakhir dipinggiran Bulalo lo Limutu (danau Limboto). Kebetulan ditempat itu terletak sebatang kayu tua, namun kayu tersebut hanya bagian dalamnya saja yang dalam bahasa Gorontalo wantohu lo ayu. Dengan disaksikan banyak orang, pada hari itu juga beliau menjatuhkan serta menancapkan (dilehuwa liyo wolo’u yiloloiyo), kini menjadi ‘Dehuwalolo’, sebatang kayu tua itu dipinggiran danau Limboto, sambil berkata dalam bahasa Gorontalo sbb ‘Mulai to saati butiya dila mowali tau lo Sina memomeya to huta lo Limutu, wau mapontolau teya’ (mulai saat ini tidak bisa lagi orang China menempati wilayah Limboto, dan aku batasi disini). 


Peristiwa tersebut terjadi hanya dalam sehari saja yaitu tahun 1870. Setelah peristiwa itu beberapa hari kemudian beliau langsung menuju kampoeng Monano sambil monenteng pedang Sumalanya. Sumala tersebut adalah milik ayahnya (Ilato) yang diwariskan pada beliau. Sumala itu merupakan saksi bisu Limboto berdarah yang hingga kini masih tersimpan rapi di salah-satu rumah cicitnya di desa Monano Kecamatan Monano Kabupaten Gorontalo Utara. Mengingat anak-anaknya pada isteri pertamanya ketiga-tiganya adalah wanita sehingga Sumala tersebut diwariskan pada anak laki-laki pertamanya diisteri ke-duanya. Anak itu bernama Alm ‘Boeka Bin Radja Ilato’ alias ‘Ti bapu Moni’ selaku suami dari Toluto Lihoe, yaitu wanita kelahiran Tapa (tepatnya di Ayula) tahun 1882 M. Putra-puteri mereka yaitu ; Ilato B. Radja ‘patinggi iri’, Marina B. Radja Ilato, Pakuru B. Radja Ilato, Sumardin B. Radja Ilato,  Jannah B. Radja Ilato, Yulin B. Radja Ilato.


Inilah salah-satu peristiwa besar yang benar-benar terjadi di wilayah Limboto yang tidak tercatat dalam sejarah Gorontalo. Betapa bermaknanya peristiwa itu, sehingga jejaknya pun tetap terabadikan pada 4 (empat) nama kampoeng di Limboto yaitu ; kampoeng Ayu Mela, Bolihuwangga, Hutuo dan Dehuwalolo.


Mohon maaf jika ada kata, kalimat, bahasa dan susunan tulisannya yang tidak beraturan, karena tujuan penulis tidak lain hanyalah berbagi cerita yang benar-benar terjadi di masa lampau, kerena kisah ini memang tidak termuat dalam catatan colonial. Wassalamu alaikum wrwb. 


Sumber : Almh. Marina B. Radja Ilato.