Tuesday, December 31, 2019

Konfederasi Kerajaan Suwawa, Bone, Bintauna



Saat awal  terbentuknya Kerajaan Suwawa-Bone-Bintauna, wilayah Bintauna terdiri dua bagian, bagian utara merupakan wilayah pantai dan bagian selatan adalah daerah pedalaman, dinamai dengan sebutan Bintauna Suwawa. Bagian utara Bintauna,masyarakatnya masih belum beragama sedangkan Bintauna bagian selatan umumnya sudah menganut agama islam. Masyarakat Bintauna bagian utara mengakui adanya kerajaan Suwawa,Bone dan Bintauna. Namun seiring waktu berjalan, masyarakat Bintauna di bagian utara sudah banyak yang menganut agama Kristen, mereka inginkan pemimpin Kristen dan  memisahkan diri dari Bintauna Selatan/Bintauna Suwawa. Bintauna Utara kemudian membuat kontrak politik dengan penguasa VOC pada tanggal 5 Agustus 1769. Jogugu Salmon Datunsolang yang beragama Kristen  menjadi penguasa (jabatan Reagent)  di Bintauna Utara. Pada tahun yang sama 4 November 1769 VOC membuat perjanjian dengan Raja Gorontalo Iskandar Monoarfa mengenai kedudukan Bintauna Suwawa.



 
         Ketika Bintauna belum terpisah terdapat nama raja berkuasa yaitu : Ratu Tendeno berkuasa sekitar awal 1700-an, kemudian berturut turut diperintah oleh Raja Bauda,  Talue Daa dan Talue Kiki. Sekitar tahun 1755-1759 ada Ratu Manila berkuasa atas Bintauna Gorontalo yang berkedudukan di Bone. Raja Gorontalo Iskandar Monoarfa merangkap jadi Raja Suwawa-Bone-Bintauna. Berikut data raja yg berkuasa dikerajaan Suwawa-Bone-Bintauna pasca perjanjian dengan VOC  tahun 1769.

1. Raja Iskandar Monoarfa ( merangkap Raja Gorontalo 1757-1777)
2. Raja Zain Bohinga
3. RajaWolango
4. Raja Pulumodoing
5. Raja Humungo (sampai 1839)
6. Raja Wartabone (1839-1856)
7. Raja Ruchban (1856-1859)
8. Raja Abdul Latif Tangahu (1859, jadi Raja Bone 1864-1870)

Kerajaan Suwawa-Bone-Bintauna berakhir di era berkuasanya raja  Abdul Latief Tangahu, berdasarkan  keputusan pemerintah Hindia Belanda  Blesit 4 September 1864 No 17 dengan mengubahnya  menjadi Distrik Bone, dipimpin seorang dengan gelar Marsaoleh . Kedudukan Suwawa dan Bintauna Suwawa menjadi oderdistrik (distrik bawah), pemimpinnya bergelar Walaopulu.


Thursday, December 12, 2019

Moutong Negeri Emas Masa Lalu



Tahun 1798 Muhammad Mirsadien Iskandar Biya menjadi Raja Gorontalo menggantikan ayahnya Wolango II.  Moutong (Moeton) diklaim oleh Kerajaan Gorontalo sebagai wilayahnya, apalagi setelah ada perjanjian kontrak VOC dengan Raja Iskandar Biya di Ternate, yang mana pihak VOC menekankan pada Raja Biya agar pengelolaan hasil emas di MOUTONG dimaksimalkan. Menindak lanjuti kontrak dengan VOC,  Kerajaan Gorontalo menempatkan Jogugu Pomalango sebagai penguasa di Moutong.
Sementara itu Kerajaan Palu merasa punya hak atas wilayah MOUTONG, mengingat orang-orang palu banyak yang bekerja menambang emas di MOUTONG. Raja Palu mengirimkan pasukannya ke Moutong sebanyak 300 orang dibawah pimpinan Lasayo. Pengiriman pasukan dari Kerajaan Palu diketahui juga oleh penguasa Gorontalo di Moutong dan melaporkannya pada VOC. Kebetulan saat itu armada laut VOC ada di perairan Teluk Tomini, atas perintah Komandan Benteng Nassau  J.J BAX, berangkatlah armada laut VOC menuju perairan Moutong. Tugas Armada VOC ke Moutong untuk mencegah terjadinya peperangan antara kerajaan Palu dan Gorontalo.
Kehadiran Armada Laut VOC membuahkan hasil,  serangan pihak Palu ke Moutong tidak terjadi. Persoalan masalah Moutong selesai setelah adanya kesepakatan dalam perundingan segitiga antara pihak Kerajaan Palu, Gorontalo dan VOC yang ditandatangani di  Ternate.

Gambar Peta Teluk Tomini tahun 1860

 



Mengenal Klan Monoarfa di masa lalu (bag.3)


Raja Lihawa Monoarfa (berkuasa tahun 1829-1930)
               Raja Gorontalo ini hanya memerintah selama 40 hari, karena penunjukannya sebagai raja ditentang oleh beberapa bangsawan yang berpengaruh. Raja Gorontalo sebelumnya, Mohamad Iskandar Pui Monorfa saat menjelang ajalnya di akhir tahun 1829 memaksakan untuk mengangkat Pangeran Lihawa menjadi Raja Gorontalo.
Disamping itu pula, Raja Lihawa Monorfa sangat berlawanan dengan kemauan Pemerintah Hindia Belanda. Setelah berkuasa hanya 40 hari, beliau digantikan oleh Raja Abdul Babiongka.

Berikut data raja bermarga Monoarfa yang pernah berkuasa di Kerajaan Gorontalo:

1.Iskandar Monoarfa (1757-1777)
2.Mbuinga Kiki Monoarfa (1795-1818)
3.Muhammad Iskandar Pui Monoarfa (1818-1829)
4.Lihawa Monoarfa (1829-1830)
5.Hasan Pui |Monoarfa (1836-1851)
6.Abdulah Mbuinga Pui Monoarfa (1831-1859)
7.Zainal Abidin Alhabsy Monoarfa (1859-1878)


Wednesday, December 11, 2019

Mengenal Klan Monoarfa di masa lalu (bag.2)


Rais Monoarfa (1880-1944)

Jogugu Rais Monoarfa adalah putra dari pasangan Djamullulaili Monoarfa dan putri Untebi bin Tupa Dunggio. Kakek dari Rais Monoarfa adalah Raja Abdullah Mbuinga Monoarfa yang bergelar Ta to masjidi. Gambar dibawah ini memperlihatkan silsilah Jogugu Rais Monoarfa.

Rais Monoarfa tercatat pernah menjadi pejabat di Paguat tahun 1913-1915 sebagai Walaopulu (pejabat administrasi) dan pada tahun 1921 menjabat sebagai Marsaoleh Talaga . Pada tahun 1926 Rais Monoarfa menduduki jabatan sebagai Jogugu Gorontalo (setingkat kepala daerah)
Saat menjabat Jogugu Gorontalo Rais Monoarfa banyak berperan penyediaan jumlah sekolah rakyat. Karena usahanya tersebut, beliau mendapat penghargaan  medali dari pemerintah hindia belanda tahun 1927.
Ketika pasukan Jepang menduduki Gorontalo tahun 1942, Rais Monoarfa bersama pejabat pribumi lainnya dibawa ke penjara Manado sebagai tahanan. Tahun 1944 Rais Monoarfa meninggal dunia saat berada di penjara karena sakit yang dideritanya. Jogugu Rais Monoarfa diberi gelar adat ” Ta Lo O Tinggapo “


Wednesday, November 27, 2019

Mengenal Klan Monoarfa di masa lalu


         Raja Gorontalo Mohamad Iskandar Pui Monoarfa berkuasa tahun 1818-1829.
Bergelar adat Ta Lo’o Tolimo; kawin dengan Syarifah Binti Taha bin Ahmad Alhabsy. Dimasa perintahannya,Kolonial Belanda mengadakan kontrak perjanjian Tanam Paksa 9 januari 1928, berupa kewajiban setiap penduduk menanam kopi.
Ketika berlangsung Perang Jawa (1925-1930) atau dikenal Perang Dipanegoro, Kerajaan Gorontalo memenuhi permintaan Kolonial Hindia Belanda untuk mengirim tentara kerajaan sebanyak 400 orang ke tanah Jawa dibawah pimpinan putra sulung Raja Monoarfa yaitu Kapiten Laut Hasan Monoarfa. Dikemudian hari Hasan Monoarfa menjadi Raja Gorontalo.

Friday, November 22, 2019

Kampung Bugis

       Jauh sebelum kedatangan kompeni Belanda, Perairan Gorontalo ramai oleh perdagangan laut antar pulau yang di dominasi oleh orang bugis. Namun jalur lalulintas pelayaran disekitar teluk Gorontalo sering terganggu oleh bajak laut asal Mindanau dan Tobelo.Sekitar awal tahun 1800-an Raja Gorontalo Monoarfa meminta bantuan pada Raja Bone di Sulawesi Selatan untuk membasmi bajak laut yang ada diperairan Gorontalo. Permintaa Raja Monoarfa dikabulkan oleh Raja Bone, maka dikirimlah armada laut sebanyak 300 kapal Kerajaan Bone menuju teluk Gorontalo. Tak sampai setahun perairan Gorontalo kembali aman.
Atas rasa terimakasih kepada Raja Bone, maka wilayah yang ada di muara sungai Bone diberikan pada komunitas orang Bugis untuk menjadi tempat pemukiman, wilayah itu sekarang dikenal dengan nama Kampung Bugis dan Talumolo. Dari catatan pemerintah kolonial Belanda tahun 1824 penduduk etnis Bugis di Gororontalo mencapai 691 jiwa, kemudian di tahun 1865 mencapai 1.823 jiwa.