Monday, August 16, 2021

Tentang Kemerdekaan Indonesia

 INDONESIA MERDEKA 23 JANUARI 1942, BUKAN 17 AGUSTUS 1945


“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh pemerintahan nasional".

Begitu potongan pidato Nani Wartabone pada tanggal 23 Januari 1942 pukul 09.00 WITA di halaman Kantor Pos Gorontalo.

Nani Wartabone mendahului Soekarno dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam bait pidatonya di tahun 1942, Nani sudah menyebut kata “merdeka, “bebas”, lepas dari penjajahan”. Dia juga menyebut “Merah Putih”, dan "Indonesia Raya".

Dalam kalimat berikut pada pidatonya, Nani menyebut bahwa telah dilaksanakan pengambil alihan pemerintahn Belanda oleh Pemerintah Nasional.

Nani Wartabone

Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Perjuangan Nani, lalu Koesnodanupoyo dan Pendang Kalengkongan bukan tidak mengundang resiko. Ketiganya dijatuhi hukuman penjara pada 11 September oleh Dewan Militer Sementara yang berkantor di Manado. Nani dihukum 15 tahun penjara, Koesno 7 tahun dan Pendang Kalengkongan 9 tahun penjara.

Nani mendekam di penjara pada kurun waktu 30 Desember 1943 hingga 23 Desember 1949, Nani sempat berpindah pindah penjara Manado, Cipinang Jakarta hingga di Morotai.

Tentu upaya Nani ini mendapat restu dari pimpinan Partai Nasional Indonesia. Nani sendiri adalah pendiri PNI di Gorontalo pada tahun 1928, sebelumnya ia adalah pendiri Jong Gorontalo pada 1923.

Besar kemungkinan bahwa keterkaitan Nani dengan PNI serta Soekarno berkat hubungan mereka semasa di Surabaya pada kurun waktu tahun 1920 an. Di kurun waktu itu, salah satu pusat gerakan kebangsaan Indonesia ada di Surabaya, dimana H.O.S Tjokroaminoto sebagai mentor gerakan dan perkaderan pemuda Indonesia, hingga dari Gang Peneleh (rumah Tjokro) lahirlah Soekarno, Alimin, Musso, Semaun, Darsono, Tan Malaka, hingga Kartosoewirjo.

Kala itu, Nani Wartabone sedang studi di Surabaya mengikuti pamannya Rasjid Tangahu Wartabone, yang bekerja di Institut Buys Surabaya. Institut Buys Surabaya adalah juga lokasi sekolah Hoogere Burgerschool (HBS) tempat Nani mengenyam pendidikan menengah. Di HBS Surabaya pada waktu yang sama, Soekarno bersekolah di tempat itu.

Sebagai sesama pelajar Surabaya, Nani dan Soekarno menikmati pendidikan kota itu. Banyak tokoh bangsa pernah mengeyam pendidikan di kota ini. 

Tjokro sendiri mendatangi Gorontalo selama dua kali, pertama pada tahun 1916 dan kedua pada tahun 1923. Pada kunjungan kedua tahun 1923, Tjokro tinggal di Ipilo di kediaman Qadhi Husin Pou. Di tempat itu, rapat pembentukan dan penggalangan semangat nasionalisme mulai dikuatkan di Gorontalo hingga terbentuklah pengurus Syarikat Islam Gorontalo dengan Ketua Bouti Pakaya dengan dua pembantu Bahu Panigoro (kepala kampung Molosipat) dan Zakaria Saleh Lama (kepala Kampung Kayubulan). Kunjungan inilah yang mulai membakar semangat nasionalisme warga Gorontalo untuk melawan penjajahan.

Sebagai yang dipengaruhi Tjokro, Nani berperan penting dalam pengembangan Syarikat Islam, salah satu perannya adalah mendukung pendirian Gerakan Indonesia Berparlemen (Gapi) di Manado. GAPI dibentuk melalui rapat nasional di Jakarta pada 21 Mei 1939 oleh Abikusno Tjokrosujoso, salah satu mantan Ketua Syarikat Islam setelah Tjokro.

Lalu dilaksanakanlah Kongres GAPI pada 10 Desember 1941, ketua panitianya adalah Koesno Danupoyo, yang kemudian menjadi kawan karib Nani pada peristiwa 23 Januari 1942.

Sebagai penutup, jalinan perkawanan dan persaudaran adalah mata rantai penguatan semangat kebangsaan pada kala itu. Hubungan Soekarno, Nani, Kusno Danupoyo hingga pengaruh Tjokroaminoto di Gorontalo menjadi pembentuk sejarah dari hari patriotik 23 Januari 1942 di Gorontalo, yang proklamasinya tiga tahun sebelum Indonesia diproklamasikan merdeka.

Atas dasar perjuangan hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 23 Januari 1942 tersebut, pada peringatan Hari Pahlawan 2003 di Istana Negara, Presiden Indonesia pada saat itu yang dijabat oleh Megawati Soekarnoputri, putri Soekarno, menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone yang juga teman karib ayahnya, pada tanggal 7 November 2003. Nani Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003. 

Perkawanan antara Soekarno dan Nani Wartabone, mulai dari Surabaya, bersama di PNI, hingga perjuangan kesetiaan Nani Wartabone pada Republik, adalah teladan bagi kita sekalian. Sekali Republik, tetap Republik!


Penulis: Funco Tanipu

Teme Joni & 23 Januari

"Sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa. Karena itu, penjajahan(dalam bentuk apapun) di atas dunia harus dihapuskan"(Naskah Preambul dari BPUPKI).

Sebelum proklamasi dibacakan Soekarno di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tiga tahun sebelumnya di Gorontalo di bawah Komite 12 yang dipimpin Nani Wartabone(1907-1986) melakukan pergerakan melawan era akhir kolonialisme dari Asisten Residen Manado di Gorontalo Corn dan kontrolir B.B. Dancouna serta dibarengi pelucutan kekuasaan kolonialisme Belanda oleh pendudukan Jepang Dai Nippon setelah menyerang Pearl Holbour pada 1941.

Inspirasi pergerakan bagi embrio proklamasi dari Nani Wartabone dkk, bukan hadiah pendudukan Jepang dan kondisi pergerakan yang sudah dimulai oleh Soekarno setelah magang di Jl. Peuneleh Surabaya pada HOS Cokroaminoto dengan Serikat Islamnya sejak 1916.

Nani Wartabone, putra Jougugu Gorontalo, Zakaria Wartabone dan ibu Saera Mo'oduto, sejak kecil sudah dididik ayahnya di era kontrolir B. de Jong.

Setelah disekolahkan di HBS, siswa dengan nama sapaan John(kelak, dieja Jonu) sudah mulai menunjukkan bakatnya sebagai orang pergerakan ketika ia membebaskan tahanan kontrolir de Jong yang dijagai sang Jougugu Zakaria.

Kiprah lain Jonu alias Nani sebelum berangkat sekolah HBS Surabaya pada 1924, dua tahun sebelum ia magang di HBD Tomohon pada keluarga Pendang Kalengkongan yang menjadi sekutu perjuangannya pada 23 Januari 1942 kemudian.

Pidato Nani Wartabone 23 Januari 1942

Pada 1924, bersama kakaknya Ayuba, Jonu disekolahkan HBS di Surabaya dan Ayuba akhirnya memilih ke Batavia. 

Di HBS Surabaya Jonu mulai mengikuti diskusi-diskusi kaum pergerakan yang dibesut oleh HOS. Cokroaminoto yang diantaranya digerakkan oleh Soekarno lewat pembentukan PNI pada 1927 dan setahun kemudian, pada 28 Oktober 1928 ia aktif di Jong Celebes sebelum balik ke Gorontalo setelah dibekali Soekarno dalam pembentukan PNI yang ia lanjutkan di Gorontalo.

Sebelum kepulangannya dari Surabaya, setelah mampir sejenak di Bandung pada pondok Soekarno dan PNI. Konon, setelah PNI berdiri, Soekarno ditahan pemerintah Belanda dan menghasil pidato pembelaannya(pleidoi) dalam "Indonesia Menggugat".

Sejak kembali dari pendidikannya di Surabaya, api nasionalisme mulai ia aktifkan dan juga dipicu datangnya tokoh perjuangan di Gorontalo, di antaranya HOS. Cokroaminoto dan disusul Mr. Ishak pada 1930 yang juga diikuti guru gubernemen asal Talaud, E.P. Gagola.

Walhasil gerakan nasionalisme yang dibesut oleh SI, PNI, Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes, Taman Siswa dan banyak lagi telah membuahkan hasilnya lebih awal justru oleh interaksi dan pergaulan yang luas dari Nani Jonu Wartabone.

Boleh dikata, kaum pergerakan dan nasionalisme itu melebar kemana-mana serta direspon secara cepat oleh Nani Wartabone dkk. sebelum dwi proklamator Soekarno-Hatta dideklarasikan. 

Entah apa, 14 atau 17 tahun setelah peristiwa proklamasi itu, Nani menolak usul Soekarno agar Gorontalo menjadi ibukota Provinsi Sulutenggo pada 1959 ketika Sam Ratulangi sebagai pengusul cita-cita kemerdekaan dalam Risalah Sidang BPUPKI ditunjuk menjabat Gubernur Sulawesi.

Terlepas dari dinamika sejarah kebangsaan itu, teka-teki penolakan Nani atas ibukota Provinsi Sulutenggo biarlah menjadi sejarah dari luputnya egoisme kewilayahan yang diemban oleh tokoh sekaliber Nani Jonu Wartabone. Sekurang-kurangnya, di Komite 12 itu terdiri atas pelbagai suku dan asal daerah: RM. Koesno Danoepoyo, Buluwati, Bajeber, Alhasni, Monoarfa,Hadju, Tumu, Soegondo, Danuwatio, Ointu(paman kami,red.) serta dariv Veld Politie Pendang Kalengkongan, Tumewu, Paat,Poluan,?Saerang, Kondowangko, Monareh dan Tombeg.

Tulisan : Reiner Ointu

Sunday, August 15, 2021

Biografi singkat Jalaluddin Tantu

 RIWAYAT PERJUANGAN PAHLAWAN DJALALUDDIN TANTU


1. MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN

Pemuda Djalaludin bergabung dengan BKR Oedara pada saat bersama pemuda-pemuda Gorontalo lainnya merebut lapangan terbang Gorontalo yang masih dikuasai oleh Tentara Kekaisaran Jepang pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. 

Selanjutnya Djalaludin tetap bergabung dengan TKRDjawatan Penerbangan (selanjutnya berubah menjadi TRI-Oedara) selama masa revolusi dan bergerilya di kampung halamannya. Setelah pengakuan kedaulatan, Djalaludin dikirim tugas belajar ke Sekolah Penerbang Kalijati di Subang. Setelah lulus, bersama 5 orang rekan seangkatannya, Djalaludin dikirim ke sekolah instruktur penerbang di Pangkalan Udara (Lanud) Tjililitan (sekarang Bandara dan Lanuma Halim Perdanakusuma) di Jakarta.

Setelah resmi menjadi prajurit TNI Angkatan Udara pada tahun 1954, Djalaludin dgn pangkat Opsir Udara Tingkat 2 (setara Letnan Dua Udara saat ini) ditempatkan di Skadron 2/Angkut yg mengoperasikan pesawat angkut Dakota DC-3 berpangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma.



2. MASA TRIKORA (PEMBEBASAN IRIAN BARAT)

Pada saat kampanye Trikora merebut Irian Barat yang masih dikuasai Belanda, Djalaludin bertugas menerbangkan pesawat Dakota T-440 dari Skadron Udara 2/Angkut untuk menerjunkan pasukan di Papua dalam rangka Operasi Gajah Putih. Kapten Udara (Pnb) Djalaludin bertindak sebagai pilot didampingi copilot Letnan Udara Tiga (Pnb) Sukandar. Pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Laha (sekarang Lanud Pattimura) di Ambon pada tanggal 17 Mei 1962 sekitar pukul 02.00 waktu setempat dengan bantuan sorot lampu mobil untuk memandu di landasan. 2 pesawat Dakota DC-3 bernomor ekor T-440 dan T-480 dengan mulus mengangkasa menembus kegelapan menuju Kaimana untuk menerjunkan 27 orang prajurit Yon 454-BR/PARA,1 peleton PGT-AU, serta 30 koli barang dukungan logistik.

Usai menerjunkan pasukan, saat pesawat hendak kembali ke Pangkalan Udara Laha, tiba-tiba muncul pesawat Neptune M-273 Belanda. Satu keadaan yang sangat sulit dihadapi Kapten Djalaludin, lantara pesawat yang dikemudikannya memiliki kecepatan yang jauh lebih rendah dari kecepatan pesawat Neptune Belanda. Di samping itu, Dakota tidak bersenjata sama sekali. Tidak langsung menyerah begitu saja, Kapten Djalaludin beserta seluruh awaknya berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari situasi yang sulit ini. Dia segera menurunkan ketinggian pesawat sampai serendah mungkin yang bisa dicapainya. Demikian rendah sehingga percikan air laut sebagai akibat dari putaran baling-balingnya terlihat jelas dan bahkan sempat menghantam badan pesawat. Tidak sekadar terbang rendah, Kapten Djalaludin juga menerbangkanT-440 secara zigzag dalam upaya semaksimal mungkin menghindari tembakan.

Namun, sekali lagi karena memang sudah menjadi sasaran empuk bagi Neptune, tidak lama tembakan pesawat musuh pun tepat mengenai sayap dan tangki bahan bakar. Api menyala dan dengan cepat menjalar ke seluruh sayap dan badan pesawat. Dengan satu guncangan hebat, akhirnya pesawat pun tidak dapat dikendalikan lagi dan terpaksa mendarat darurat di atas laut (ditching) di perairan sebelah timur Batu Belah. Pada saat terakhir pesawat nahas ini masih sempat mengirim berita ke Dakota T-480 yang dikemudikan Kapten Udara (Pnb) Hamsana.

Dalam kepanikan yang mencekam saat-saat terakhir pesawat masuk laut, seluruh kru berhasil menyelamatkan diri keluar pesawat menggunakan perahu karet. Dari dua perahu karet yang ada, hanya satu yang masih dapat dipergunakan karena tertembus peluru Neptune. Dengan menggunakan perahu karet yang tersedia, awak pesawat berusaha menyelamatkan diri tetapi usaha mereka mengalami kegagalan yang akhirnya ditawan Belanda menggunakan kapal HNLMS Friesland.

Kapten Djalaludin beserta awak pesawat diangkut dengan kapal Belanda HNLMS Friesland menuju Fak-Fak dan dijebloskan dalam penjara. Pada hari keempat, mereka dibawa ke Kaimana menggunakan kapal kecil “Snelius” dalam keadaan diborgol tangannya. Untuk selanjutnya mereka dipindahkan ke penjara di Waena, Hollandia (sekarang Jayapura) menggunakan pesawat Dakota. Dalam penjara mereka dijaga sangat ketat, siang oleh Militaire Politie (MP), sedangkan malam hari oleh Marinir Belanda. Dari Hollandia mereka dipindahkan lagi ke penjara Angkatan Laut Belanda di Sorido, Biak, dan selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara di Pulau Wundi, sebuah pulau kecil dekat Biak.

Setelah melalui perundingan-perundingan yang memutuskan adanya genjatan senjata antara pihak RI dengan Belanda, akhirnya Djalaludin beserta awak Dakota T-440 yang dipenjara di Pulau Wundi dibebaskan. Mereka kemudian diserahkan kepada pihak Indonesia dan diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat Hercules C-130 milik UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Djalaludin dan awaknya dianugerahi Bintang Sakti oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963.

3. MASA DWIKORA (KONFLIK BORNEO UTARA)

Selepas kampanye Trikora, Djalaludin dimutasi ke Skuadron 31 yabg mengoperasikan pesawat Hercules C-130B. Dan pada tahun 1964, saat kampanye Dwikora, Mayor Udara (Pnb) Djalaludin ditugaskan ke perbatasan Kalimantan Barat - Sarawak untuk mendukung Operasi Antasari, menerbangkan Hercules C-130B berkode ekor T-1307 untuk menerjunkan pasukan PGT yg dipimpin oleh Letnan Kolonel Udara Soegiri Soekani pada 2 September 1964.

Pesawat Hercules T-1307 tersebut diawaki delapan orang, yaitu copilot Kapten Udara (Pnb) Alboin Hutabarat, navigator Mayor Udara Juamardi, Kapten Udara Suroso, Letnan Udara Satu Sukarno, Letnan Muda Udara I Sabil, Letnan Muda Udara I Sutopo, serta Letnan Muda Udara II M. Rukmana. Selesai operasi, dari 3 pesawat Hercules yg dikirim ke garis depan, hanya 2 pesawat yg berhasil kembali ke pangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Pesawat T-1307 dinyatakan hilang kontak dan diperkirakan tercebur ke laut di sekitar perairan Selat Karimata akibat terbang rendah dalam upaya menghindari tangkapan radar lawan. Menurut salah satu sumber yang belum bisa dikonfirmasi, pesawat tersebut jatuh ditembak oleh pesawat Gloster Javelin RAF (AU Inggris) yg mendukung pasukan Federasi Malaysia di front Borneo Utara. Informasi ini masih disangkal oleh pihak RAF sampai saat ini, karena secara resmi RAF dan Angkatan Bersenjata Inggris tidak terlibat dalam konflik ini, meskipun ada laporan intelijen bahwa pesawat Gloster Javelin tsb mendarat di pangkalan AU Kuching dengan 1 rudal Firestreak-nya tidak ada lagi di tempatnya di sayap.

Seluruh penumpangnya dinyatakan gugur, termasuk Djalaludin Tantu, Kapten Pnb Alboin Hutabarat dan Letkol Udara Sugiri Sukani. Djalaludin dinaikkan pangkatnya 1 tingkat menjadi Letnan Kolonel Udara (Pnb) dan diabadikan namanya sebagai nama pangkalau udara (lanud) di Gorontalo, yg sekarang juga melayani penerbangan komersial seiring diresmikannya Provinsi Gorontalo.


Sepanjang kariernya yg relatif singkat di AURI, Djalaludin pernah bertugas sebagai Perwira Penerbang di Lanud Halim Perdanakusuma (1954), Perwira Penerbang Skadron Djawatan Angkutan Udara Militer (DAUM) (1955), bertugas ke Hongkong Air Craft Engineering (1958), Perwira Penerbang Skadron Udara 2 (1960), Perwira Instruktur tidak tetap 005 Transition (1962) serta Perwira WOPS 001 Halim/Skadron Udara 31 (1964).

Tulisan dari : Prof. DW Eisenring.

Saturday, August 14, 2021

Prasasti di Desa Labanu

Prasasti ini merupakan monumen bahu membahunya Jogugu Kota Gorontalo, Jogugu Suwawa dan Jogugu Limboto serta Marsoleh-Marsoleh bersama rakyat membuat jalan tembus sampai ke wilayah Kwandang,

Dalam kisah membuat jalan ini dikenang sebagai Huyula Hulondhalo dimana antar penguasa dengan penguasa, antar rakyat dengan rakyat, antar penguasa dengan rakyat bergotong royong. Pembangunan perintisan jalan Isimu-kwandang diresmikan tahun 1926

Nama nama yang ada di prasasti yaitu:

1. Rais Monoarfa Jogugu Gorontalo 

2. Haidar Pomuayadu Olii, Jogugu Limboto

3. Zakaria Wartabone, Jogugu Bone-Suwawa 

 

Dan para Marsaoleh:

1. Ibrahim van Gobel

2. Machmud Hippy 

3. Jusuf H.P Olii

4. K Datau

5. Ayuba Wartabone

6. Nuwa Ali

7. Bumulo Olii


Catatan:

Ada nama Haji Arsyad Rahmola sebagai Khadi Limboto yang turut terlibat dalam pelaksanaan perintisan jalan akses ke Kwandang, mengatur jadwal tenaga kerja dan berkoordinasi dengan Jogugu Haidar P Olii. Kebetulan keduanya masih saudara sepupu.