Saturday, May 29, 2021

Tradisi Tumbilotohe

Konon, tradisi ini sudah berlangsung sejak abad XV. Pada masa itu lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. 

Alat penerangan ini di sebut wango – wango. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut padamala.Seiring dengan perkembangan zaman, maka bahan lampu buat penerangan di ganti minyak tanah hingga sekarang ini. Bahkan untuk lebih menyemarakkan tradisi ini sering ditambahkan dengan ribuan lampu listrik.Tumbilotohe, pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo popatii….. Kalimat pantun ini sering lantunkan oleh anak – anak pada saat tradisi pemasangan lampu dimulai. 

Budaya turun temurun ini menjadi ajang hiburan masyarakat setempat. Malam tumbilotohe benar – benar ramai, bisa di bilang festival paling ramai di gorontalo. 

Apalagi kalo diselenggarakan lomba antar kampung atau kecamatan, Kalau ada foto udara, Anda dapat menyaksikan wilayah gorontalo terang bercahaya.Saat tradisi tumbilotohe di gelar, wilayah gorontalo jadi terang benderang, nyaris tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe yang digantung pada kerangka – kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama Alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi kota gorontalo. 

Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambing kesejahteraan dan tebu sebagai lambing keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. 

Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan di buat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. 

Tradisi tumbilitohe juga menarik ketika warga gorontalo mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival bedug (sumber:wikipedia)



Thursday, May 27, 2021

Alikusu (Arkus)

Dalam bahasa Gorontalo Alikusu artinya " Pintu Gerbang". Adanya Alikusu sebagai tanda akan berlangsungnya suatu upacara adat.

berbagai jenis Alikusu diantaranya :

Alikusu Tonuwa : Alikusu untuk penyambutan tamu atau pejabat penting.

Alikusu Lo Tohe : Alikusu yang dibuat untuk malam TUMBILOTOHE.

Alikusu Pobiya : Alikusu untuk acara pernikahan atau sunatan/pembeatan.

Alikusu Lo Lipu : Alikusu yang dibuat untuk kepentingan menyambut hari hari besar Islam.

Alikusu Lo Huwa : Alikusu yang dibuat pada suasana duka dengan pemakaman secara adat.

Alikusu Du'a : Alikusu yang khusus ditempatkan di depan Rumah Dinas kepala daerah, Camat dan kepala desa.



Wednesday, May 5, 2021

Catatan Sejarah Bolaang Uki

 Sejarah Bolaang Uki yang di catat oleh Wilken dan Swarzh 1867 

Negeri Oeki. 

Teluk Oeki atau Labuhan Uki memiliki dataran Rendah berawa berakhir ditempat ini negeri Oeki dibangun. Di pantai kami disambut oleh kepala suku negri, selanjutnya diantar ke rumah Raja, dimana Djogoegoe menunggu kami bersama para pangeran dan kepala lainnya.  

Saat kedatangan kami negeri ini dilanda wabah penyakit sehingga Raja meminta kami mengatakan melalui Djogugu bahwa kami memiliki kebebasan untuk mengatur tempat tinggal, kami memilih tinggal di rumah Jogugu,rumah ini juga merupakan milik rumah kerajaan, Rumah ini didekorasi secara lengkap dengan berbagai jenis kain. Rumah kayu bertangga. 

Di rumah ini ada Seorang kakek kepala pelaut sutra abad ketujuh belas yang yang sudah tua mengenakan "helm tembaga belang-belang tua dan tombak berkarat di tangan. Dengan dandanan seperti ini, pria itu mirip seperti tentara Voc yang pemberani Jan Company. 

Kami Berjalan mengelilingi rumah rumah warga , yang terdiri dari jalan kecil yang dilapisi dengan rumput sebagian tempat tinggal ada yang belum teratur namun pada umumnya sudah baik. 

Populasi kekaisaran ini sekarang 250 hingga 300 jiwa memiliki sekitar 50 hingga 60 rumah tangga, beberapa di antaranya menetap di Molibagu, kota pesisir yang terletak di antara Gorontalo dan Kottabunan. Seluruh penduduk telah lama memeluk Islam, Kekristenan tetap asing bagi penduduk, Penduduk membayar setiap tahun kepada Pemerintah sebagai hasil ƒ 250 gulden yang mana Rajah dan para menterinya menerima sepersepuluh dari jumlah yg dibayarkan. 

Masih banyak penduduk yang miskin di antara populasi ini, industri atau perdagangan hampir tidak ada. Pabrik tenun menurun karena kain linen murah yang didatangkan dari Eropa. Seperti di Bolaang juga ada pertanian sawah kecil yang dibudidayakan. Pembuatan garam hanya untuk konsumsi rumah tangga.budidaya tanaman Kakao sudah dilakukan di masa Amarhum Residen Jansen namun kakao terhambat oleh penyakit buah busuk.Sagu adalah makanan sehari-hari penduduk.


SEJARAH LELUHUR BOLANGO

Leluhur nenek moyang Bolango sebelumnya tinggal selama beberapa abad di kaki gunung Klabat, di dekat sungai kecil yang mengalir dari timur ke utara gunung itu disebut Aer-Bolango. Dari sungai di kaki gunung Klabat kemudian berpindah ke pulau lembeh selama beberapa tahun di pulau lembeh kemudian harus pindah lagi karena di sebabkan bencana yang mengerikan,Bencana ini terjadi akibat Suatu peristiwa ketika Dua anak Raja, saudara laki-laki dan perempuan yang telah terpisah lama namun bertemu kembali saling jatuh cinta mereka terjebak dalam pergaulan terlarang, harusnya secara adat mereka berdua harus di hukum berat,tetapi karena mereka bagian dari keluarga penguasa sehingga di anggap lolos dari aturan adat ini.namun sebagian besar warga takut membiarkan pelanggaran adat ini.Akibat pelanggaran adat ini turunlah Bala dan bencana. 

Bala yang mengerikan turun ketika semua hewan dan serangga memberontak Udang dalam jumlah sangat banyaknya baik di lautan mapun di sungai naik ke daratan, menghancurkan semua tanaman dan pepohonan, menyerang ternak dan manusia, dan merusak udara dengan bau busuk.menyebabkan kelaparan dan wabah pwnyakit, penduduk terpaksa meninggalkan pulau itu. Beberapa dari mereka pergi untuk menetap di pulau Siauw, sebagian lagi di Kema, yang lain menyusuri pantai timur menuju Belang, sebagian yang lain melewati Kottabunan menuju Totokia tanah yang berada di antara Gorontalo dan Molibagu.

Dari tempat inilah setelah bertahun tahun tinggal terjadi pernikahan antara Pangeran Limbotto dengan putri Totokia,Leluhur Bolango kemudian pindah ke Gorontalo, di mana mereka mendirikan sebuah negri, yang disebut Bolango, di sekitar Limbotto, dan hidup di bawah pemerintahan Raja mereka sendiri. 

Namun akibat Ketidaksepakatan dan konflik yang terus terjadi dengan Raja Limbotto karena kepemilikan tanah membuat mereka memutuskan, dengan persetujuan pemerintah Belanda, untuk pindah ke Bangka di bawah pimpinan Raja Matokka mereka menuju sebuah wilayah daratan di pantai barat disekitar muara sungai Lombagin (Saat ini di sekitar Pabrik PT Conch ), di daerah Raja Bolaang-Mongondou yang kemudian terjadi Hubungan yang sangat baik dengan Suku Bolaang Mongondo.Perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1802 atau 1803. 

Namun lokasi ini tidak strategis oleh pengaruh gangguan Angin Selatan di Bangka, dan banyaknya binatang buaya di sungai Lombagin yang sering menyerang penduduk, Bolango kemudian pindah lagi pada tahun 1849 atau 1850 ke teluk Oeki (saat ini sekitar Labuhan Uki Lolak), yang juga terletak di daerah Bolaang Mongondou. Bolango yang Sebelumnya tinggal di Bolaang Bangka karena berpindah di sekitar teluk uki maka kini mereka disebut Bolango Oeki/Bolaang Uki. 

Raja Bolaang Oeki saat ini adalah, ALIJOE-DINI-ISKANDER-GOEBAL-BADIAMAN, telah memerintah sejak 1837. Saat kami temui Raja telah berumur sekitar 60 tahunBaru pada usia enam puluh tahun,Sesaat sebelum keberangkatan kami, Raja mendatangi kami di beranda depan untuk meminta agar memberikan surat pemberitahuan Kepada Residen,atas pengunduran dirinya menjadi Raja. 

Bolango-Oeki juga membuat kesepakatan dan Kontrak dengan Hindia Belanda,Bentuk pemerintahannya adalah sistem monarki. Kepala pemerintahan adalah Raja, yang dibantu oleh Dewan dan mentri menterinya,tanpa hasil keputusan para mantri dan dewan kerajaan Raja tidak dapat memutuskan hal hal yang menjadi kepentingan Raja. 


Struktur pemerintahan :

RAJA

JOGUGU

KAPITEN-LAUT

MARSAOLI

WALAPOELOE

HOEKOEM

KIMALAHA

MAJOR 


Mereka sebagian adalah kaum bangsawan, Kepala kepala desa dan kepala agama di pilih oleh warga dan diangkat oleh Raja,Pemilihan Raja tidak selalu diturunkan dari ayah ke anak tetapi juga di pilih dari saudara Raja laki laki yang di sepakati oleh Dewan kerajaan. Raja Bolaang uki juga melakukan kontrak san perjanjian dengan Hindia Belanda. 

Pemukiman di Molibagu berada di bawah kendali seorang Panggulu dan beberapa kepala bawahan. Semua kepala suku ini menerima hasil dan mengumpulkan hasil pajak kebun,dan pajak rumah. 

Konflik Pulau Tiga 

Bolaang Oeki memperoleh reputasi pelanggaran ketika pada tahun 1864,sebuah kapal Jepang yang berlabuh di pulau Tiga berpindah ke Labuhan Uki untuk berlindung akibat Badai,di serang dan di jarah oleh beberapa orang yang di pimpin Pangeran Gorontalo,Penyerangan itu di lakukan di malam hari,Kapal di bakar dan barang jarahan di angkut ke Teluk Uki seluruh awak Kapal Tewas. 

Residen Manado melakukan penyelidikan atas kejadian ini, pemeriksaan atas Jogugu Bolang Uki menyampaikan tidak tahu menahu,namun pangeran yang memimpin berhasil di tangkap di Van Bool (Bolangitang) kemudian di hukum dan di penjarakan di residen manado. 

Dalam penyidikan di laporkan bahwa kelompok ini curiga dengan kapal yang berbendera aneh dan berbicara tidak seperti Company (VOc),Arab atau Cina.sehingga mereka menganggapnya sebagai orang asing dan musuh. 

Sumber : Tijdschrift voor zendingswetenschap, mededeelingen hal. 32-39 



Dari Data inilah Publik Bolaang Mongondow Raya dapat mengidentifikasi kembali sejarah Bolango salah satunya adalah perubahan Peta Wilayah Bolaang Uki yang sebelumnya masih memanjang dari Molibagu ke Labuhan uki dengan nama Bolaang Bangka di abad ke 19 kemudian terjadi lagi pengaturan tata kelola wilayah para Raja Raja Bolaang Mongondo Raya di mana wilayah Bolaang Uki kemudian berubah semuanya di sisi selatan memanjang dari molibagu ke Gorontalo berbatasan di Posigadan.Hubungan Leluhur Bolango dan Mongondo ada pada pernikahan Golonggom - Bolaango atau disingkat Gobal.