Saturday, October 15, 2022

Molo'opu dan Mololopu

   Tulisan DR. Funco Tanipu

  Kata Molo'opu hanya sekali ditulis dalam kitab Meeraji karya Syekh Ali bin Abubakar al-Hasani yang dikenal dengan nama Bapu Ju Panggola atau Raja Ilato. 

Kata tersebut tertulis dalam bab Wafati pada Meeraji, yang menggambarkan proses meninggalnya Nabi Muhammad SAAW. 

Molo'opu artinya memangku. Pada Meeraji, kata molo'opu digunakan oleh Malaikat Israil yang didampingi Malaikat Mikail, Malaikat Jibril dan Malaikat Israfil saat mendapat tugas dari Allah SWT untuk "menjemput" nyawa Nabi. 

Tapi, bagi penulis kitab, kata "mengambil", "menjemput", apalagi "mencabut nyawa" tidaklah pas untuk kedudukan Nabi. Maka dipilihlah kata "molo'opu" atau memangku yang lebih "adab" dalam konteks kedudukan Nabi.

Dalam dialog, para malaikat menyampaikan : "amiyati yilahu mayi lo Eeya molo'opu ode ito Eeya Muhammadi". Yang artinya "kami disuruh oleh Allah SWT untuk "memangku" nyawamu wahai Nabi".

Kenapa kata itu dipilih, bukan yang lain? Karena dalam Meeraji, salah satu gelar untuk Nabi adalah Ta Iloponu lo Eeya, artinya yang dirindukanNya. 

Kata tersebut oleh leluhur Gorontalo lalu ditransformasikan dalam acara adat yang kini kita kenal dengan "Molo'opu'". Acara molo'opu dalam artian lain adalah upacara penjemputan pimpinan daerah dari kediaman pribadi ke rumah jabatan atau dinas.

Kenapa kata itu ditransformasi? Sebab, dalam proses molo'opu pimpinan daerah baik itu Gubernur, Wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya, diharapkan dapat mengembangkan, memperkuat dan menjalankan pesan-pesan atau pola kepemimpinan Nabi dalam konteks pemerintahan kekinian. Bisa juga adalah mengantarkan seseorang dari mengurusi urusan pribadi dan keluarga saja, menjadi mengurusi umat yang berlandaskan pada ajaran Nabi.

Harapan lain, agar ketika selesai menjabat, si pejabat (kepala daerah) bisa "otolohe lo ponu" atau mendapat percikan "air mata" dari Nabi, atau dirindukan Nabi. Karena telah berhasil mencetak karya (ilomata) untuk membangun daerah demi kemaslahatan umat.

Namun, jika pesan Molo'opu tidak dibawa ke dalam pemerintahan dalam artian pelayanan publik yang sesuai tata kelola pemerintahan yang berlandaskan nilai-nilai dan pesan ke-Nabi-an, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya.

Bahasa pengingkaran akan nilai dan pesan ke-Nabi-an adalah kehancuran. Dalam bahasa Gorontalo, kehancuran adalah "mololopu". 

Mololopu begitu mirip dengan kata Molo'opu. Yang maknanya berkebalikan. Jika tidak melakukan kebaikan untuk kebenaran, maka yang terjadi adalah kehancuran.

Meeraji sebagai kitab warisan leluhur Gorontalo dari masa ke masa adalah kumpulan tanda, pesan, hikmah dan juga peringatan kepada kita sekalian, manusia Gorontalo hari ini. 

Meeraji juga sebagai anti tesis "teori umum" linguistik Gorontalo bahwa Gorontalo adalah daerah sastra lisan, bukan sastra dalam bentuk tulisan. 

Sebagai kitab dan karya yang berusia ratusan tahun, tentu Meeraji penting untuk "disempurnakan" kembali dalam rangka melestarikan mewariskan pengetahuan yang berisi pesan ke-Nabi-an.

Saturday, October 1, 2022

Catatan Kerajaan Atinggola

        Dalam tradisi lisan dikisahkan suku bangsa Atinggola awalnya adalah suku Pidodotiya yang bermukim di lembah Pinogu, karena terjadi perang saudara antara mooduto dan Pulumoduyo mereka mengungsi dan tiba di lembah Atinggola. Versi lain menyebutkan suku Atinggola asal usulnya dari kepulauan Halmahera Utara, yang menyebarangi lautan hingga sampai di Pulau Lembeh. Kemudian sebagian dari mereka berkelana mengarungi perairan laut sulawesi bagian utara dan pada akhirnya mereka tiba di muara sungai Andagile dan mendirikan permukiman di sana.

Peta tahun 1898


Berdirinya Kerajaan Atinggola atau disebut juga Andagile diprakarsai oleh 3 linula yaitu linula Otajin, linula Tihengo dan Moa'a. Dikisahkan yang pertama menjadi raja adalah Raja Detubinaa putra dari raja Bintauna.


Catatan kolonial Belanda bahwa tahun 1721 Kerajaan Atinggola yang diwakili Pangeran Adrian Patilima menandatangani kontrak perjanjian dengan VOC. Dikemudian hari Adrian Patilima menjadi Raja Atinggola tahun 1747. Beliau digantikan oleh Bolongkodu tahun 1768.


Ketika Inggris menguasai jazirah Sulawesi Utara awal tahun 1800an, Raja Gubul menyerahkan kekuasan sementara kepada Pangeran Kakatua dan untuk pertama kalinya ajaran agama islam hadir dalam lingkungan kerajaan. Kakatua secara resmi sebagai raja Atinggola pada tahun 1820, setelah itu Kakatua digantikan oleh Raja Bolongkodu Humagi tahun 1830.

Daftar Raja raja Atinggola


Pada masa kekuasaan Raja Ba Ito terjadi perselisihan antara Kerajaan Atinggola dan Kerajaan Kaidipan mengenai wilayah IMANA yang mana IMANA bagian wilayah Kaidipan dan Atinggola menginginkan IMANA bagian wilayahnya. Kerajaan Bolango dan Limboto turut menengahi perselisihan ini, namun tidak terjadi kesepakatan dan akhirnya pihak pemerintah kolonial hindia belanda pada tahun 1858 memutuskan bahwa IMANA adalah bagian wilayah Kerajaan Kaidipan dan sungai andagile sebagai tanda batas wilayah bagi kedua kerajaan.

Tahun 1889 Kolonial Belanda memberlakukan pemerintah langsung dan menghapus sistim kerajaan di wilayah Gorontalo (Persekutuan Limo Lo Pahalaa), eks kerajaan Atinggola dimasukkan dalam wilayah onderafdeeling Limbotto.


Sumber:

Sejarah Kerajaan Gorontalo, oleh Harto Juwono

Momuato, oleh Ali Mobiliu

Taal,Land En Volkenkunde 1870