Tulisan DR. Funco Tanipu
Kata Molo'opu hanya sekali ditulis dalam kitab Meeraji karya Syekh Ali bin Abubakar al-Hasani yang dikenal dengan nama Bapu Ju Panggola atau Raja Ilato.
Kata tersebut tertulis dalam bab Wafati pada Meeraji, yang menggambarkan proses meninggalnya Nabi Muhammad SAAW.
Molo'opu artinya memangku. Pada Meeraji, kata molo'opu digunakan oleh Malaikat Israil yang didampingi Malaikat Mikail, Malaikat Jibril dan Malaikat Israfil saat mendapat tugas dari Allah SWT untuk "menjemput" nyawa Nabi.
Tapi, bagi penulis kitab, kata "mengambil", "menjemput", apalagi "mencabut nyawa" tidaklah pas untuk kedudukan Nabi. Maka dipilihlah kata "molo'opu" atau memangku yang lebih "adab" dalam konteks kedudukan Nabi.
Dalam dialog, para malaikat menyampaikan : "amiyati yilahu mayi lo Eeya molo'opu ode ito Eeya Muhammadi". Yang artinya "kami disuruh oleh Allah SWT untuk "memangku" nyawamu wahai Nabi".
Kenapa kata itu dipilih, bukan yang lain? Karena dalam Meeraji, salah satu gelar untuk Nabi adalah Ta Iloponu lo Eeya, artinya yang dirindukanNya.
Kata tersebut oleh leluhur Gorontalo lalu ditransformasikan dalam acara adat yang kini kita kenal dengan "Molo'opu'". Acara molo'opu dalam artian lain adalah upacara penjemputan pimpinan daerah dari kediaman pribadi ke rumah jabatan atau dinas.
Kenapa kata itu ditransformasi? Sebab, dalam proses molo'opu pimpinan daerah baik itu Gubernur, Wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya, diharapkan dapat mengembangkan, memperkuat dan menjalankan pesan-pesan atau pola kepemimpinan Nabi dalam konteks pemerintahan kekinian. Bisa juga adalah mengantarkan seseorang dari mengurusi urusan pribadi dan keluarga saja, menjadi mengurusi umat yang berlandaskan pada ajaran Nabi.
Harapan lain, agar ketika selesai menjabat, si pejabat (kepala daerah) bisa "otolohe lo ponu" atau mendapat percikan "air mata" dari Nabi, atau dirindukan Nabi. Karena telah berhasil mencetak karya (ilomata) untuk membangun daerah demi kemaslahatan umat.
Namun, jika pesan Molo'opu tidak dibawa ke dalam pemerintahan dalam artian pelayanan publik yang sesuai tata kelola pemerintahan yang berlandaskan nilai-nilai dan pesan ke-Nabi-an, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya.
Bahasa pengingkaran akan nilai dan pesan ke-Nabi-an adalah kehancuran. Dalam bahasa Gorontalo, kehancuran adalah "mololopu".
Mololopu begitu mirip dengan kata Molo'opu. Yang maknanya berkebalikan. Jika tidak melakukan kebaikan untuk kebenaran, maka yang terjadi adalah kehancuran.
Meeraji sebagai kitab warisan leluhur Gorontalo dari masa ke masa adalah kumpulan tanda, pesan, hikmah dan juga peringatan kepada kita sekalian, manusia Gorontalo hari ini.
Meeraji juga sebagai anti tesis "teori umum" linguistik Gorontalo bahwa Gorontalo adalah daerah sastra lisan, bukan sastra dalam bentuk tulisan.
Sebagai kitab dan karya yang berusia ratusan tahun, tentu Meeraji penting untuk "disempurnakan" kembali dalam rangka melestarikan mewariskan pengetahuan yang berisi pesan ke-Nabi-an.
No comments:
Post a Comment