Saturday, February 6, 2021

Empat Kampung di Limboto

 MUNCULNYA EMPAT NAMA DESA DI LIMBOTO DIBALIK 

KEMARAHAN RADJA ILATO


Oleh : M. Lihu*

Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu dhesi yang berarti tempat kelahiran atau tanah tumpah darah. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan NKRI, (lihat PP Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa).


Adapun latar belakang pemberian nama desa itu, tentu melalui musyawarah para tokoh di desa tersebut. Menurut penulis, latar belakang pemberian nama suatu tempat atau desa tidak lepas dari 3 hal ; yaitu diambil dari orang yang pertama menempati desa atau kampoeng itu, peristiwa besar dan bermakna bagi masyarakat di desa/kampoeng tersebut, dan keadaan geografis kawasannya. Sama halnya dengan daerah Limboto (kabupaten Gorontalo) sekarang ini, terdapat 4 (empat) kampoeng/desa yang nama-namanya dilatar-belakangi sebuah peristiwa besar dan bermakna di daerah tersebut. Adapun nama-nama kampoeng itu adalah desa/kel Kayu Merah, Bolihuwangga, Hutuo, dan desa/kel Dehuwalolo.


Anehnya, latar-belakang 4 (empat) nama kampoeng di atas tidak diketahui kebanyakan orang di Limboto, khususnya yang tinggal di kampoeng-kampoeng tersebut. Justru kami di ujung Kwandang (desa Monano) sangat mengetahui asal-usul 4 (empat) nama kampoeng di Limboto itu melalui penuturan kakek dan nenek. Karenanya saya curiga, mungkin peristiwa ini termasuk pada bagian “Halale Otawa Haramu Tombiluwalo” di pertengahan abad 19 ?, mengutip kalimat Lukman N. 


Menurut Lukamn N, Cerita-cerita yang dilarang belanda (HALALE OTAWA, HARAMU TOBILUWOLO), sebuah istilah yang timbul pada tengah abad ke 19. Dimana peristiwa kuno yang sebenarnya terjadi, dilarang Belanda utk dituturkan. Nama pejabat yang sebenarnya tidak disukai sehingga dilaporkan dengan nama berbeda. Para keturunannya sekarang lebih baik berembuk dan menyatukan cerita dari masing-masing kakeknya. Tidak ada lagi Belanda yang melarang. Kalau berbeda versi ya tuliskan saja, sebutkan versinya. Tetap rukun, tidak ada yang merasa paling benar.


Juga terkait ILATO yang dalam catatan colonial Belanda, ia hidup tahun 1500 atau 1600, sementara bagi keluarga bahwa ILATO (ILATO BIN BULONGGODU) adalah ayah dari totu Radja (Radja Bin Ilato) yang lahir di Limutu tahun 1840 M, kini makamnya di atas gunung desa Dembe (Batudaa) atau benteng Otanaha. Totu Radja bernama lengkap ‘Radja Bin Ilato Bin Bulonggodu’. Menurut Almh. Marina bahwa totu Radja bukanlah seorang Raja, namun namanya adalah ‘Radja’ (gelar adat ; Ti Bualo) selaku anak tertua dari Ilato. Karena itu kami heran, kenapa Ilato disebut ‘Ti Jupanggola ?’. Istilah itu benar-benar lucu bagi keluarga dan terlalu mengada-ada saja, atau sekedar penafsiran orang lain ?. 


Lanjut, dikisahkan Almh. Marina Radja Ilato pada saya tahun 2008 silam, bahwa kakeknya yang bernama Radja (Radja Bin Ilato) sewaktu beliau belum nikah, sang kakek bersama beberapa orang saudara perempuannya hidup di Limboto, tepatnya di kampoeng Kayu Merah sekarang ini. Namun, sebulan sekali mereka ke Tapa yaitu di sekitar Ayula sekarang ini karena disanalah keluarga ayahnya. Mereka hidup di zaman pemerintahan pemerintah hindia Belanda sekitar 1840 – 1920, namun peristiwa tersebut terjadi tahun 1870.


Bermula dari laporan seorang temannya, ia melapor ke Radja dalam berbahasa Gorontalo sbb ; ‘Hepolele lo tau lo Sina, ito tau lo Hulontalo bomongngala binte, uwali ngoliyo binte beito bo ualo lo wadala’ (dikatakan oleh orang-orang China, kita orang Gorontalo itu hanya pemakan jagung. Kata mereka, jagung itu hanyalah makanan kuda).


Perkataan orang China itu bagi Radja bukan hanya sebatas penghinaan makanan orang Gorontalo saja, namun penghinaan terhadap orang/suku Gorontalo yang menyerupakan seperti kuda. Setelah mendengar laporan tersebut, saat itu juga kemarahan Radja memuncak dan mengambil pedang Sumala menuju sebuah tempat dimana orang-orang China diwilayah Limboto berada. 


Dikisahkan, pembunuhan orang-orang China itu dimulai dari kampoengnya. Pembantaian itu betul-betul sangat mengerikan bahkan ‘to ayu-ayu yileela’ (batang-batang pohon kayu pun menjadi merah), merah dengan percikan darahnya orang-orang China yang di bantai, dan kini kawasan tersebut bernama ‘Ayu Mela’ (Kayu Merah). 


Bertolak dari Kayu Merah, beliau menuju arah barat, di sana-pun ia membantai orang-orang China. Dikisahkan dalam bahasa Gorontalo, peristiwa tersebut menyebabkan ‘To huwa-huwangga lo bobooli’ (pedang-pedang pun patah-patah), sehingga kawasan tersebut menjadi ‘Bolihuwangga’ (pedang patah).


Dari Bolihuwangga, beliau terus ke salah-satu kampoeng lagi. Disana ia sudah di hadang oleh beberapa orang Gorontalo, termasuk aparat kepolisian colonial Belanda yang melindungi orang-orang China. Dikisahkan, di kampung itu beliau mendapat perlawanan yang cukup sengit dari orang-orang Gorontalo yang mahir dalam bela diri Langga yang disewa orang China. Meskipun demikian, akhirnya kemenangan tetap dipihak Radja, sehingga mayat orang-orang itu, mailele Hutuo ditempat itu, dan kini  menjadi Hutuo. 


Dari Hutuo, beliau menuju ufuk barat dan berakhir dipinggiran Bulalo lo Limutu (danau Limboto). Kebetulan ditempat itu terletak sebatang kayu tua, namun kayu tersebut hanya bagian dalamnya saja yang dalam bahasa Gorontalo wantohu lo ayu. Dengan disaksikan banyak orang, pada hari itu juga beliau menjatuhkan serta menancapkan (dilehuwa liyo wolo’u yiloloiyo), kini menjadi ‘Dehuwalolo’, sebatang kayu tua itu dipinggiran danau Limboto, sambil berkata dalam bahasa Gorontalo sbb ‘Mulai to saati butiya dila mowali tau lo Sina memomeya to huta lo Limutu, wau mapontolau teya’ (mulai saat ini tidak bisa lagi orang China menempati wilayah Limboto, dan aku batasi disini). 


Peristiwa tersebut terjadi hanya dalam sehari saja yaitu tahun 1870. Setelah peristiwa itu beberapa hari kemudian beliau langsung menuju kampoeng Monano sambil monenteng pedang Sumalanya. Sumala tersebut adalah milik ayahnya (Ilato) yang diwariskan pada beliau. Sumala itu merupakan saksi bisu Limboto berdarah yang hingga kini masih tersimpan rapi di salah-satu rumah cicitnya di desa Monano Kecamatan Monano Kabupaten Gorontalo Utara. Mengingat anak-anaknya pada isteri pertamanya ketiga-tiganya adalah wanita sehingga Sumala tersebut diwariskan pada anak laki-laki pertamanya diisteri ke-duanya. Anak itu bernama Alm ‘Boeka Bin Radja Ilato’ alias ‘Ti bapu Moni’ selaku suami dari Toluto Lihoe, yaitu wanita kelahiran Tapa (tepatnya di Ayula) tahun 1882 M. Putra-puteri mereka yaitu ; Ilato B. Radja ‘patinggi iri’, Marina B. Radja Ilato, Pakuru B. Radja Ilato, Sumardin B. Radja Ilato,  Jannah B. Radja Ilato, Yulin B. Radja Ilato.


Inilah salah-satu peristiwa besar yang benar-benar terjadi di wilayah Limboto yang tidak tercatat dalam sejarah Gorontalo. Betapa bermaknanya peristiwa itu, sehingga jejaknya pun tetap terabadikan pada 4 (empat) nama kampoeng di Limboto yaitu ; kampoeng Ayu Mela, Bolihuwangga, Hutuo dan Dehuwalolo.


Mohon maaf jika ada kata, kalimat, bahasa dan susunan tulisannya yang tidak beraturan, karena tujuan penulis tidak lain hanyalah berbagi cerita yang benar-benar terjadi di masa lampau, kerena kisah ini memang tidak termuat dalam catatan colonial. Wassalamu alaikum wrwb. 


Sumber : Almh. Marina B. Radja Ilato.

No comments:

Post a Comment