Dinamika kegiatan pelayaran niaga menjadi kompleks sejak munculnya para perompak atau bajak laut dari Bugis, Makassar, Mandar, Mindanao, dan Tobelo. Mereka melakukan aktifitasnya di Perairan Gorontalo dan di kawasan Teluk Tomini. Pada 27 September 1677 dalam kunjungan Gubernur Maluku, Robertus Padtbrugge di Gorontalo, masalah perompakan menjadi pembahasan penting dalam pertemuan dengan olongia (Maha Raja Kerajaan) Gorontalo. Padtbrugge menyampaikan bahwa keamanan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sangat rawan bagi pelayaran niaga. Hal ini menunjukkan banyaknya bajak laut berkeliaran di Teluk Tomini dan sulit ditaklukan oleh raja-raja di kawasan Teluk Tomini. Untuk mengamankan pelayarannya di Gorontalo, maka VOC mengontrol langsung kawasan Gorontalo agar mencegah timbulnya kerugian lebih besar terjadi pada perdagangannya. Selanjutnya VOC menekan olongia Gorontalo melalui perjanjian antara lain dalam Pasal 8 bahwa olongia Gorontalo wajib menjaga keamanan di wilayah perairannya dari gangguan bajak laut dan menyerahkan para bajak laut yang ditangkap kepada VOC (Juwono dan Hutagalung, 2005:74-75).
Para bajak laut Bugis dan Makassar lebih memiliki strategi serta cara kerja yang lebih baik. Sepanjang wilayah operasinya, mereka mendirikan pangkalan-pangkalan yang letaknya strategis di antara pelabuhan besar atau dekat dari transit kapal dagang. Pangkalan mereka antara lain di Kalangkangan untuk mengawasi Pelabuhan Tolitoli, dan Kwandang. Pangkalan Kalangkangan berfungsi untuk mengawasi dan mencegat kapal-kapal yang memuat barang dagangan dari Gorontalo ke Manado. Setiap pangkalan mempunyai seorang pemimpin, dan mereka membentuk jaringan dan saling membantu ketika menghadapi musuhnya (Juwono dan Hutagalung 2005:108-109).
Hubungan dagang antara bangsawan Gorontalo dengan pedagang Bugis dan Mandar tetap terjalin. Pada 1750-an, pedagang Mandar dipimpin Daeng Mapata memperluas kegiatan operasinya di daerah-daerah pesisir Gorontalo sebagai daerah produksi emas, hasil bumi, dan hutan. Daeng Mapata memiliki hubungan dagang dengan Olongia Botutihe dan bangsawan Gorontalo. Daeng Mapata membeli hasil-hasil hutan dari Gorontalo dan paling utama adalah kayu, lilin, madu, damar, getah, dan rotan (Juwono dan Hutagalung 2005:166). Selain itu, pedagang Bugis, Mandar, dan Makassar membeli barang dagangan yang dilarang diperdagangkan oleh VOC, seperti senjata, amunisi, candu, dan budak merupakan komoditas utama yang menghasilkan keuntungan besar.
Akibat hubungan kerjasama antara olongia dan bangsawan Gorontalo dengan para bajak laut Bugis dan Mandar menyebabkan VOC mengalami kerugian besar. VOC menuduh olongia melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan mengusir para bajak laut dari daerahnya. Sebaliknya, benteng ”Nassau” VOC yang letaknya di Muara Sungai Gorontalo dengan sejumlah pasukan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonominya ternyata tidak banyak membantu mencegah aktivitas para bajak laut. Begitu pula kurangnya jumlah kapal VOC di Perairan Gorontalo menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan kontrol terhadap para bajak laut di kawasan Gorontalo.
Pada awal abad ke-18, terjadi peningkatan jumlah perompakan kapal-kapal dagang VOC yang dilakukan bajak laut dari Bugis, Makassar, dan Mindanao. Munculnya pelaut Mandar sebagai bajak laut telah menambah semakin meningkatnya perompakan di kawasan Gorontalo. Untuk mempermudah pengawasan di Teluk Tomini, bajak laut Mandar mendirikan pangkalannya di Gorontalo. Laporan semakin banyaknya perompakan dan munculnya bajak laut Mandar menyebabkan Gubernur Maluku, Pieter Rooselaar di Ternate mengambil tindakan untuk mengusirnya. Pada 1702, Rooselaar mengirim utusannya ke olongia Gorontalo agar melarang para pelaut asing menetap di Gorontalo. Namun permintaan Rooselaar mendapat penolakan dari Olongia Walangadi. Faktor ini menyebabkan Rooselaar memerintahkan untuk menyerang basis pangkalan bajak laut Bugis, Mandar, dan bajak laut lainnya di Gorontalo. Kemudian dikirim armada VOC dibantu penduduk Tambokan ke Gorontalo, VOC berhasil mengalahkan dan mengusir para bajak laut di Gorontalo. Pada 25 Februari 1703, setelah para bajak laut tidak kembali lagi ke Gorontalo, kemudian Rooselaar memerintahkan untuk menarik kembali armadanya ke Ternate (Juwono dan Hutagalung, 2005:110-111).
Meningkatnya perompakan di kawasan Teluk Tomini, mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. Gubernur Maluku memerintahkan olongia Gorontalo yang mempunyai pengaruh di kawasan Teluk Tomini agar menyelesaikan keamanan di daerah itu. Walaupun olongia Gorontalo menyetujuinya, tetapi sebagian besar bangsawan menolaknya. Para bangsawan menyadari tekanan politik VOC melalui perjanjian atau kontrak yang telah disepakati sangat merugikan posisi Gorontalo. Mereka lebih suka berhubungan dengan pedagang Bugis dan Mandar yang lebih banyak memberi keuntungan daripada menjalin hubungan dagang dengan VOC. Tidak mengherankan beberapa bangsawan memberikan kemudahan bagi aktifitas para bajak laut dalam melakukan penyelundupan dan memberi perlindungan, sehingga bajak laut sulit ditangkap oleh VOC.
Pada 1820, akibat tekanan patroli kapal perang Belanda maka bajak laut Tobelo melakukan persekutuan dengan bajak laut Mindanao, mereka mempunyai persembunyian dan logistik (Velthoen 2010:204). Perahu bajak laut Tobelo memuat sampai 10 orang dan terdapat 4 atau 5 perahu dalam melakukan kegiatan ekspedisinya. Untuk ekspedisi yang lebih penting atau besar, beberapa perahu kecil diikat bersama untuk membentuk pasukan yang lebih besar di bawah perintah seorang pimpinannya. Pada 1870, terdapat 48 perahu bajak laut Tobelo beroperasi di Teluk Tomini. Kemudian dipisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan menyebar ke perairan timur Sulawesi (Velthoen, 2010:214).
Perompakan di Teluk Tomini dan pantai utara Sulawesi sering dianggap sebagai bentuk menentang penindasan oleh pihak yang lemah terhadap mereka yang mendominasi. Para bajak laut di Teluk Tomini yang terkenal selama abad ke-19 adalah Tombolotutu seorang bangsawan yang kemudian diangkat menjadi raja Muton dan dianggap oleh penduduk setempat sebagai tokoh yang bangkit menentang dominasi ekonomi Pemerintah Belanda (Juwono dan Hutagalung, 2005:21).
Laporan umum Asisten Residen Gorontalo dalam catatanya tahun 1824, 1832, 1833, dan 1834 terjadi jumlah perompakan yang cukup besar. Kemudian Asisten Residen Gorontalo menyurat kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tentang aktifitas para bajak laut, dan meminta bantuan Gubernur Jenderal untuk secepatnya menumpas para bajak laut yang telah menggangu pelayaran dan perdagangan di wilayahnya (ANRI, 1976). Laporan Asisten Residen Gorontalo ditanggapi serius Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia dengan menempatkan sebuah kapal perang di Perairan Gorontalo (Rosemberg, 1865:15).
Pertengahan abad ke-19, pelaut Mandar telah menempati kedudukan penting dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan gelap. Mereka melakukan hubungan dagang dengan orang Kaili, Bugis, dan Gorontalo. Bajak laut Mandar membawa kain, candu, dan beras ke Gorontalo. Setelah memasukkan barang dagangannya, kemudian mengangkut damar, lilin, teripang, sagu, dan kulit kerang (Juwono dan Hutagalung, 2005:322-323).
Sumber: Disadur dari tulisan Hasanuddin tentang "Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang Di Gorontalo".
Ket. Foto: Perahu menyeret kayu ke Tobelo, Halmahera 1910.
No comments:
Post a Comment