Sunday, July 11, 2021

Sultan Amayi

Islam masuk di Gorontalo atas nama cinta, itu terjadi ketika Raja Amay (raja Gorontalo) 1460-1535 meminang seorang putri bernama Boki Owutango Anak Raja Palasa. Raja Amay, adalah seorang pemimpin muda dan masih lajang berparas tampan pada masa itu pada tahun 1495.

Sebelum memeluk agama Islam, ia dan pengikutnya saat itu menganut agama Alifuru.

Sementara Putri Boki Owutango adalah seorang putri bangsawan, berparas amat cantik dan masih remaja, berkharisma agung, berbudi halus dan luhur, tersohor dan menjadi legenda di seantaro Sulawesi, Ternate, hingga Sulu sebagai putri agung yang memiliki ghirah Islam yang besar dan pemahaman yang luas dalam ilmu-ilmu Islam.


Ketika Raja Amai ingin meminang Putri Boki Owutango, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam Gomonjolo - Mautong di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Raja Amay. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh sang Raja yaitu :

Pertama, Raja Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan ,

Kedua, adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran.

Alhasil Kedua syarat itu diterima oleh Raja Amai.

Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo.

Sebelum menikahi sang putri Boki Owutango, Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah. Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.

Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu Sultan.

Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.

Masjid Sultan Amayi

Pada tahun 1550, sepeninggalan Sultan Amai, jabatan kerajaan digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya. Beliau pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.


Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepempinannya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.

Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.

Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.

Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.

Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat kerajaan telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.

Sultan Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu.

Provinsi Gorontalo merupakan daerah yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam serta suku yang majemuk. Sehingga agama yang berkembang di Provinsi ini menjadi beragam pula, diantaranya Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan Budha. Tapi yang banyak di anut penduduk gorontalo adalah agama Islam.

Orang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (96.36 %) yang sesuai falsafah daerah ini: “Adati hula to syaraa; syaraa hulahula to Qurani” atau “Adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah”. 

Gorontalo pun di kenal dengan sebutan “Kota Serambi Madinah” dengan infrastruktur serta bentuk-bentuk bangunannya yang bernuansa islami.

Sebelum kedatangan agama Islam, penduduk Gorontalo memeluk agama Alifuru, semacam kepercayaan animisme dan dinamisme. Serta mempunyai tiga bahasa daerah, yaitu Bahasa Gorontalo, Suwawa, dan Atinggola. Saat ini, bahasa yang lebih banyak dipakai sehari-hari adalah bahasa Indonesia dialek Manado, logat Gorontalo. 

Terkait tentang animisme dan dinamisme dalam kepercayaan lama masyarakat Gorontolo, pendapat tersebut tidak disepakati oleh Wantogia, yang menurutnya sejak semula orang Gorontalo percaya pada Tuhan yang maha Esa. Ungkapan dalam bahasa Suwawa-Gorontalo “Taquwata to mita niya Eya tuwawu loqu tuwawu liyo” (Tuhan yang maha Esa dan ke-maha-esa-an Tuhan, Tuhan Tunggal sebenar-benarnya tunggal). [Lihat Olha S. Niode: 2014 dalam S.Kau: 2015: 13].

Menurut Kau dan Suleman, sebutan Tuhan dalam bahasa Gorontalo disebut “Eya”. Kata “Eya” berdekatan dengan kata Esa dalam bahasa Indonesia (yang sebelumnya berasal dari bahasa Sansekerta). Menurut mereka, boleh jadi juga kata “Eya” berasal dari kata Arab “iyyahu” (hanya kepada-Nya).

Lebih lanjut dalam konteks ini Wantogia menegaskan bahwa orang Gorontalo lama tidak pernah menyembah batu, gunung, pohon, air, dan sebagainya. Mereka hanya percaya pada roh-roh halus yang bersemayam dalam benda-benda itu. 

Prinsip-prinsip kepercayaan lama yang tidak jauh dari prinsip aqidah Islam itulah sesungguhnya yang menyebabkan masyarakat Gorontalo begitu mudahnya menerima Islam tanpa proses yang berbelit-belit.

Islam memang tidak disebarkan dengan pedang.

Terkhusus Gorontalo, CINTA yang tulus di hati seorang Raja dan sang putri bangsawan muslim soleh yang dicintainya adalah pemegang peran utama hingga menjadikan Islam telah menjadi agama mayoritas masyarakat asli Gorontalo.

Islam adalah simbol cinta sejati, jantung dan hati seluruh masyarakat pribumi asli Gorontalo. Sebagaimana permintaan sang putri Boki Owutango,

"Wahai Raja Gorontalo, nikahilah dan cintailah daku karena Allah."

(Dikutip dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment