Kerajaan Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.
Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo Matolodupun sudah digantikan oleh anaknya. Pongokiwu sebagai Olongia to Tilayo, sedangkan isteri Matolodula bernama Wulatileni menggantikannya menjadi ratu di kerajaan to Huliyalio lo Hulantalo. Sementara itu untuk kedua kalinnya Limboto berusaha mendapatkan bantuan dari Ternate dalam rangka memerangi kerajaan Gorontalo. Usaha ini berhasil dilakukan melalui Detubiya, anak raja Humonggilo dan Ju’mu’min putri Ternate. Gorontalo akhirnya dapat dikalahkan dan anak perempuan Matolodula dengan Wulatileni bernama Poheleo atau Mboheleo dibawa ke Ternate sebagai tawanan. Putri ini pun akhirnya kawin dengan raja Ju Mangopa dan karna ia mempunyai nama Ternate yaitu Ju Balu. Ketika ibunya Wulatileni mangkat ia pun diizinkan kembali ke Gorontalo menggantikan ibunya sebagai Ratu Hilir (Olongia to Huliyalio). Ketika itu pun ia ditinggal mati suaminya Ju Mangopa.
Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.
Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.
Suatu hari kedua orang putri itu meminta izin untuk mandi di sumur dekat rumah raja itu, sewaktu akan mandi tiba-tiba air sumur naik hingga melimpah-limpah melalui pinggir sumur. Dengan serta merta mereka menyiram air kepada ke badannya dengan sebuah keranjang, dikarenakan orang tidak memberikan merka timba. Ternyata mereka mandi seolah-olah dengan menggunakan timba, air tidak keluar dari keranjang itu. Keajaiban tersebut membuat raja Gowa kagum, kemudian meminta mereka menurunkan hujan, dan betullan ternyata hujan pun turun setelah mereka memohon sambil mengadahkan tangan ke langit. Setelah kejadian itu putri-putri itu selanjutnya diperlakukan dengan hormat. Meskipun demikian setelah lepas dari musibah satu musibah lain pun datang, wabah-wabah lain masih tetap saja menimpa negeri itu. Akhirnya sang raja memutuskan memulangkan saja putri-putri itu ke Limboto. Maka berangkatlah mereka dengan satu kekuatan angkatan laut yang besar dengan tujuan merampas kembali semua barang-barang dan anak buah yang ditawan oleh orang-orang Gorontalo, dan kemudian bermaksud menaklukan Gorontalo dibawah kekuasaan Limboto. Ketika angkatan laut itu sampai di Tolinggula bertemulah mereka dengan utusan-utusan penjemput dari Limboto yang telah memperoleh berita gembira tentang kembalinya Ntobango dari Tili’aya. Di antara para penjemput itu terdapat Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomalo. Disebuah pulau kecil bernama Lihutokalo depan Bolontiyo berhentilah mereka. Disini Popa dan Pomalo berusaha menjalankan misinya, membujuk para pemimpin Gowa tidak bersedia karena merasa belum melaksanakan tugas yang di perintahkan raja mereka.
Sementara itu desas-desus mengenai kedatangan angkatan laut Gowa yang yang besar sudah terdengar di Gorontalo. Hohuhu Bumolu, setelah mendengar desas-desus tersebut menyuruh untuk mengumpulkan dua gantang emas mengirim Khatiibida’a Eyato membawa emas itu mempunyai menemui angkatan laut Gowa dan menbujuk mereka supaya jangan melakukan penyerbuan terhadap kerajaan Gorontalo. Eyato benar-benar berhasi menemui Wulea lo Lipu Pomalo dan Hohuhu Popa, selanjutnya dulohupa pun dilakukan. Dengan tindakan yang bijaksana diperolehlah jaminan dan kesepakatan akan bantuan mereka untuk menciptakan perdamaian di dua negeri yang bersengketa. Mereka menemukan kata sepakat sesudah pemimpin Gorontalo atas jaminan Eyato berjanji akan mengembalikan semua harta rampasan kekerajaan Limboto. Kemudian mereka menjalankan strategi untuk menghalau pasukan angkatan laut Gowa ke Gorontalo. Sambil membagi-bagikan emas kepada karaeng-karaeng Gowa tersebut, Eyato Dengan disaksikan oleh pembesar Limboto menerangkan bahwa Gorontalo akan menaklukan diri pada Limboto. Setelah memperoleh penjelasan tersebut maka akhirnya pasukan angkatan laut Gowa tersebut setuju untuk kembali ke Gowa. Sememtara itu kedua orang puteri Limboto dengan selamat akhirnya kembali ke Limboto didampingi oleh para baate masing-masing. Demikian pula Pomontolo, saudara lelaki mereka berhasil di bebaskan oleh baate Mopatu Taniyo.
Usaha mendamaikan kedua negeri yang bertikai mengalami kemajuan. Hal ini berkat peranan dan strategi yang dijalankan oleh pembesar kedua negeri terutama oleh Khatibida’a Eyato dan Hohuhu Bumulo dari pihak Gorontalo, dan Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomato dari pihak Limboto. Konon perdamaian itu telah jauh-jauh hari sebelumnya mereka rencanakan. Diceritakan suatu ketika Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Polamalo diperintahkan oleh ratu mereka mencari bala bantuan kerajaan Gowa. Akan tetapi dalam perjalanan dicegat oleh Khatibida’a Eyato. Eyato meminta kepada para pembesar Limboto itu untuk tidak tergesa-gesa dan sedapat mungkin memperlambat perjalanan, rupanya dengan maksud mengusahakan perdamaian antara Gorontalo dan Limboto sebelum angkatan laut tiba.akhirnya mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Ketika kembali ke Gorontalo dengan maksud akan menjalankan rencannya membujuk ratu kerajaan tersebut, kehadirannya di tempat itu ditolak. Sebagai Khatibida’a dia tidak berhak berbicara dalam siding pembesar Negara. Akan tetapi dengan kelihainannya akhirnya Eyato berhasil menarik perhatian bahkan meyakinkan kedua pimpinan Gorontalo, Sehingga diizinkan masuk ke Bantayo (ruang sidang)untuk memberikan penjelasan Bumulo, anak dari Hohuhu Hungilo (Buyobudu) saat itu bertindak sebagai perantara. Eyato memeparkan rencananya dalam sidang itu yang pada dasarnya ingin mendamaikan kedua kerajaan Gorontalo dan Limboto. Rencana ini akhirnya mendapatkan persetujuan kedua ratu Gorontalo, Moliye dan Poheleo. Diputusakan juga pada saat itu bahwa Boyubodu demi mendukung kepentingan Bomulo, sekaligus menyerahkan jabatan kepada anaknya itu sebagai Hohuhu Hungilo. Sementara itu Eyato juga menggantikan pamannya Patilama sebagai
Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.
Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :
Tomupa loli Dotula Orang turun dari perahu disungai (Lupoyo)
Mai mohibintua Datang bertanya-tanya
Malongongolipua Sudah bersama-sama satu negeri
Ode hinteyalihua Menuju saudara seibu
No comments:
Post a Comment