Tuesday, February 25, 2020

Perbudakan di Gorontalo pada masa Kolonial


       Kepemilikan budak merupakan aset ekonomi dan simbol status bagi penguasa. Dalam lingkungan kerajaan Limo Lo Pohalaa, umumnya  budak diperoleh  saat penaklukan suatu daerah. Kebanyakan budak-budak tersebut ditempatkan di area istana kerajaan dan dimanfaatkkan dalam pekerjaan rutinitas. Masalah kepemilikan budak bisa menimbulkan sengketa dengan karajaan lain. Sekitar akhir tahun 1670-an  Kerajaan Limboto memiliki budak sebanyak  600 orang melarikan diri ke suatu kampung di Kerajaan Buwol, pihak Limboto menginginkan budaknya dikembalikan tetapi pihak penguasa Buol menolak. Sepertinya Kerajaan Kaidipang juga punyak hak untuk memperoleh para budak tersebut. Tahun 1683 pihak kolonial  VOC Belanda bisa menyelesaikan sengketa tersebut. Transaksi bisnis perbudakan seringkali terjadi antara penguasa di Gorontalo dengan pedagang gelap pelaut asal bugis dan mandar. Penawaran harga budak jauh lebih tinggi dibandingkan di jual ke pihak VOC, sebaliknya pihak penguasa bisa mendapatkan komoditi bahan pokok dari para pelaut  itu dengan harga murah, seperti beras dan garam. Aturan VOC  melarang penduduk membuat garam dan untuk memperoleh garam harus dibeli ke pihak VOC. Pihak VOC umumnya mengeksport  perdagangan budak ke Ternate dan Ambon, untuk perdagangan gelap biasanya para budak dikirim ke Kerajaan Buton untuk diperdagangkan ke orang  asing. Runtuhnya VOC  diakhir tahun 1799 dan kemudian diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak menyurut perdagangan budak di Gorontalo.  Awal tahun 1800-an justru perdagangan budak melonjak tinggi. Penyebab tingginya perbudakan di Gorontalo akibat dibuatnya kontrak perjanjian  tanggal 9 Januari 1828 antara Raja Muhammad Iskandar Pui Monoarfa dengan Pemerintah Hindia Belanda , adanya pasal tentang kewajiban membayar pajak berupa emas yang ditarik melalui setiap penduduk yang mengakibatkan mereka banyak yang tidak mampu membayar pajak. Sehingga mereka dijual sebagai budak, agar hasil penjualannya dapat memenuhi pembayaran pajaknya.




Gambar ilustrasi abad -19

Laporan dari tulisan J.F Riedel menyebut pada abad  ke-18 penguasa lokal di wilayah Teluk Tomini melakukan perampokan  dan penjarahan terhadap ribuan anak-anak dan wanitanya untuk dijadikan budak dan dibawah ke Gorontalo selanjutnya dipasarkan ke Ternate. Laporan  Van Baak sebagai pejabat Asisten Residen Gorontalo tahun 1856 menyebutkan jumlah penduduk di Gorontalo mencapai jumlah 40.000 jiwa dimana sepertiga dari jumlah penduduknya berada dalam “perbudakan”.  Karena tingginya praktek perbudakan di Gorontalo, Van Baak bersama pembesar kerajaan di Limo Lo Pohalaa mengabil inisiatif untuk menghapuskan perbudakan di seluruh wilayah keasistenan Rasiden Gorontalo

No comments:

Post a Comment