Saat Raja
Wolango berkuasa di Kerajaan Gorontalo (1450-1480) berhasil menguasai wilayah
Teluk Tomini yang meliputi Paguyaman,
Paguat, Muotong sampai Sausu. Seiring
waktu berjalan, di era kekuasaan Raja Gorontalo Amayi (1523-1550), di wilayah Teluk Tomini ada gerakan menetang Kerajaan Gorontalo. Maka berlayarlah Amayi menuju
Teluk Tomini untuk melihat situasi sebenarnya. Dalam perjalanan pelayarannya,
Amayi menyinggahi Negeri Palasa menemui pemimpinnya. Singkat cerita, Amayi mengawini Putri Outango anak dari Raja Palasa, dengan suatu persyaratan Amayi
harus masuk Islam dan rakyat kerajaan Gorontalo harus menganut agama Islam. Usai pernikahan, Amayi kembali ke Gorontalo bersama istrinya
Putri Outango yang dikawal 8 perangkat
Raja-Raja dari Siendeng, Tamalate, Lemboo, Hilingato, Siduan, Sipayo, Soginti
dan Bunuyo. Dikemudian hari negeri Siduan, Sipayo, Soginti dan Bunuyo masuk dalam
wilayah Paguat.
Peta kawasan Teluk Tomini tahun 1885
Dalam
tulisan BJ Haga (1920) mencatat daerah Paguat merupakan pemasok sagu untuk
kebutuhan makanan pokok orang Gorontalo sebagai pengganti jagung (milu), perlu diketahui
bahwa masyarkat Gorontalo saat itu bahan makan pokoknya adalah jagung , sagu dan beras. Daerah Paguat juga memiliki tambang
emas yang dikelola masyarakat. Laporan penguasa VOC tahun 1776 menyebutkan
daerah Paguat sering ada kegiatan tambang emas illegal dan usaha penyelundupan
emas ke luar Gorontalo sehingga Residen Manado mengirim petugasnya untuk
mengawasi perairan pantai Paguat. Pada tahun 1831 Pemerintah Hindia Belanda
membuat kontrak perjanjian dengan Raja Gorontalo Lihawa Monoarfa diantaranya
pasal yang menyangkut pajak tambang emas
yang harus disetor ke Pemerintah Hindia Belanda sebesar 700 ons pertahun, untuk
pertambangan yang berada di Bumbulan, Paguat dan Molosipat. Potensi tambang
emas yang besar di Distrik Paguat
mengundang beberapa perusahaan tambang untuk menanamkan investasinya,
sebut saja diantaranya perusahaan swasta “Exploratie Syndicaat Paguat” mendapat
izin dari pemerintah Hindia Belanda tahun 1897.
Ketika Van Baak
menjadi Asisten Residen ditahun 1856, Afdeeling Gorontalo dibagi menjadi 5
swapraja yaitu, Gorontalo, Limboto, Bone, Boalemo dan Atinggola. Distrik Paguat
masuk dalam Swapraja Gorontalo. Tercatat Lebi Dunggio menjabat sebagai Marsaoleh
(Kepala Distrik) pertama Distrik
Paguat periode 1858-1864. Sampai tahun
1908 Marsaoleh Paguat berturut-turut
dijabat oleh Lebi Dunggio, Jahja Bumulo, Aneto Uno, Biyabo Van Gobel,
Junus Biya, Hoemoe Datau, Boebihu Olii, Haidar.P Olii, Potihedu Monoarfa
(1903-1908). Kemudian tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda melakukan
reorganisasi pemerintahan dengan membentuk 4 oderafdeeling yaitu, Gorontalo,
Boalemo, Kwandang, Buol. Distrik Paguat masuk dalam Onderafdeeling Bolemo, dan perubahan onderafdeeling tahun 1925 tidak mengubah distrik Paguat masuk Onderaffdeling Boalemo. Setelah kemerdekaan, Paguat sebagai salah satu kecamatan berada di bawah pemerintahan Kabupaten Gorontalo.
Jabatan Marsaoleh (Kepala Distrik) Paguat : periode 1908-1950
Kamsia Uno (1908-1913)
Rais Monoarfa (1913-1915)
Pano Lamato (1915-1917)
Hamzah Olii (1917-1920)
Bakari Datau (1920-1922)
Bumulo Olii (1922-1924)
Bumu Biya (1924-1927)
Biduri P Haju (1927-1929)
Ahmad Abay (1929-1930)
Karim Datau (1930-1932)
Abadi Ilahude (1932-1934)
A.R. Nento (1934-1936)
Abdul Kadir Habibie ( 1936)
Syamsu Biya (1936-1942)
Yunus Olii (1942-1944)
Risad Datau (1944-1946)
Simon Monoarfa (1946-1948)
Zainudin Wartabone (1948-1950)
No comments:
Post a Comment