Kepemilikan budak merupakan aset
ekonomi dan simbol status bagi penguasa. Dalam lingkungan kerajaan Limo Lo Pohalaa,
umumnya budak diperoleh saat penaklukan suatu daerah. Kebanyakan
budak-budak tersebut ditempatkan di area istana kerajaan dan dimanfaatkkan
dalam pekerjaan rutinitas. Masalah kepemilikan budak bisa menimbulkan sengketa dengan
karajaan lain. Sekitar akhir tahun 1670-an Kerajaan Limboto memiliki budak sebanyak 600 orang melarikan diri ke suatu kampung di
Kerajaan Buwol, pihak Limboto menginginkan budaknya dikembalikan tetapi pihak
penguasa Buol menolak. Sepertinya Kerajaan Kaidipang juga punyak hak untuk
memperoleh para budak tersebut. Tahun 1683 pihak kolonial VOC Belanda bisa menyelesaikan sengketa tersebut.
Transaksi bisnis perbudakan seringkali terjadi antara penguasa di Gorontalo
dengan pedagang gelap pelaut asal bugis dan mandar. Penawaran harga budak jauh
lebih tinggi dibandingkan di jual ke pihak VOC, sebaliknya pihak penguasa bisa
mendapatkan komoditi bahan pokok dari para pelaut itu dengan harga murah, seperti beras dan garam.
Aturan VOC melarang penduduk membuat
garam dan untuk memperoleh garam harus dibeli ke pihak VOC. Pihak VOC umumnya
mengeksport perdagangan budak ke Ternate
dan Ambon, untuk perdagangan gelap biasanya para budak dikirim ke Kerajaan
Buton untuk diperdagangkan ke orang asing. Runtuhnya VOC diakhir tahun 1799 dan kemudian diambil alih
oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak menyurut perdagangan budak di Gorontalo.
Awal tahun 1800-an justru perdagangan budak melonjak tinggi.
Penyebab tingginya perbudakan di Gorontalo akibat dibuatnya kontrak perjanjian tanggal 9 Januari 1828 antara Raja Muhammad
Iskandar Pui Monoarfa dengan Pemerintah Hindia Belanda , adanya pasal tentang
kewajiban membayar pajak berupa emas yang ditarik melalui setiap penduduk yang
mengakibatkan mereka banyak yang tidak mampu membayar pajak. Sehingga mereka
dijual sebagai budak, agar hasil penjualannya dapat memenuhi pembayaran
pajaknya.
Gambar ilustrasi abad -19
Laporan dari
tulisan J.F Riedel menyebut pada abad
ke-18 penguasa lokal di wilayah Teluk Tomini melakukan perampokan dan penjarahan terhadap ribuan anak-anak dan
wanitanya untuk dijadikan budak dan dibawah ke Gorontalo selanjutnya dipasarkan
ke Ternate. Laporan Van Baak sebagai
pejabat Asisten Residen Gorontalo tahun 1856 menyebutkan jumlah penduduk di
Gorontalo mencapai jumlah 40.000 jiwa dimana sepertiga dari jumlah penduduknya
berada dalam “perbudakan”. Karena
tingginya praktek perbudakan di Gorontalo, Van Baak bersama pembesar kerajaan
di Limo Lo Pohalaa mengabil inisiatif untuk menghapuskan perbudakan di seluruh wilayah
keasistenan Rasiden Gorontalo