Friday, March 14, 2025

Kerajaan Tamalate di Gorontalo

Cikal bakal masuk Islam di Gorontalo tidak terlepas dari masalah kerajaan 
Gorontalo. Gorontalo masa lalu adalah salah satu kerajaan yang terdapat di 
pulau Sulawesi. Gorontalo, pada awalnya berupa lautan dan daratan yang nampak 
hanya puncak gunung Tinongkabila dan puncak gunung Boliyohuto, tetapi lama 
kelamaan akhirnya menjadi hamparan daratan yang luas dan yang tersisa berupa 
genangan air, yaitu sebuah danau yang dikenal dengan danau Limboto. 
Dinamika kehidupan manusia selalu mengalami perubahan berupa sistem 
yang mengatur kehidupan itu, antara lain manusia membentuk suatu sistem 
pemerintahan yang berbentuk monarchi (kerajaan) dan kerajaan tertua di 
Gorontalo, adalah kerajaan Wada yang dikenal juga dengan sebutan kerajaan 
Padenyo yang diperintah oleh seorang raja bernama Ihomolangi, yaitu anak 
dari putrid Bulaidaa garis keturunan raja Mooduto. Raja Ihomolangi 
memperoleh keturunan Ikihudu (laki-laki) yang dikenal dengan nama Wadipalapa 
dari perkawinan dengan putrid Rawe. 
Kerajaan Gorontalo adalah suatu kerjaan yang terbentuk atas persekutuan 
17 kerajaan lokal yang di sebut Linula, yaitu 1) Ihungina, 2). Lupoyo, 3). 
Bilinggata, 4) Wuwabu, 5). Biawu, 6). Padengo, 7). Ihuangobitu Alowala, 
8). Tapa, 9). Lawwonu, 10). Toto, 11). Dumati, 12). Ilotide, 13) Pandungo, 
14). Panggulo, 15). Ihuayabatu Alojihi, 16). Tumboo dan 17). Iholondalangi. 
Persekutuan kerajaan tersebut dimotori oleh Iholondalangi (raja kerajaan 
Padengo) karena raja ini raja yang paling berpengaruh di antara ke-17 kerajaan 
yang bersekutu (Linula) tetapi masih sebatas wacana, tetapi baginda telah 
meletakan potensi persekutuan di antara multi kerajaan tersebut. Sepeninggal 
baginda digantikan oleh putranya Ilahudu (Wadipalapa) dan Wadipalapa 
melanjutkan dan mewujudkan cita-cita baginda ayahandanya mempersatukan 
17 kerajaan (Linula), maka pada tahun 1385 M. Terbentuk Kerajaan Gorontalo 
(Hulondalangi) dan berpusat di Iholawa. Pusat kerajaan selalu berpindah-
pindah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, yaitu dari 
Iholawa berpindah ke-Dongingi kemudian ke-Biawu. 
Kerajaan Gorontalo mencapai kemajuan pada masa pemerintahan raja 
Ilahudu, Uloli hasil perkawinannya dengan putri laiyo Lembanggo dari Uloli lahir Ntihedu (putri), Ntihedu melahirkan Dedu (putra) dan darinya melahirkan 
Amai sebagai raja kerajaan Gorontalo yang pertama menerima agama Islam 
dan sebagai cikal bakal masuk Islam di Gorontalo. (Yassin, Br, tt: 14) 
Islamisasi di kerajaan Gorontalo tidak terlepas dari peranan Raja Amai 
salah seorang pewaris Ilahudu sebagai raja Gorontalo pertama yang mengantar 
kerajaan Gorontalo mencapai masa keemasan. Ketika melakukan kunjungan 
kerajaan sebagai seorang raja (kenegaraan) di kerajaan Tamalate Tomini, 
melakukan pertemuan dengan Bonenato Raja Gumucala Palasa membicarakan/ 
menawarkan agar masyarakat kerajaan Tamalate Tomini untuk melakukan 
transmigrasi ke-Gorontalo untuk melakukan pembukaan lahan pertanian dan 
perkebunan di Gorontalo dan pada perteman ini Raja Amai bertemu dan jatuh 
cinta pada Awutango putri Bonenato (Raja Muslim, sultan), akhirnya berlanjut 
raja Amai melamar putri tersebut dan diterima dengan dua pensyaratan, yaitu 
1) Raja Amai harus menganut Islam dan akan mengembangkan Islam di 
daerahnya (Gorontalo), 2) seluruh rakyat Gorontalo wajib menganut Islam. 
Semua pensyaratan tersebut diterima oleh raja Amai dan dilanjutkan dengan 
pembaeatan dan peresmian mempersunting (menikahi) putri Awutango, dengan 
demikian Raja Amai resmi menjadi seorang Muslim dan menantu Raja Bonenato 
dari kerajaan Tamalate Tomini. 
Pembaeatan dan pernikahan raja Amai dengan permaisurinya putri 
Awutango berlangsung di Palasa Tamalate Tomini pada tahun 1525 M, disaksikan 
oleh para raja di Tamalate Tomini, antara lain raja Sahibullah yang bertindak 
sebagai naib dalam perkawinan ini dan hasil pernikahan ini lahir seorang putri 
diberi nama Putri Matolodidakiki. Setelah berlangsungnya proses 
perkawinannya Raja Amai membawa permaisurinya ke-Gorontalo didampingi 
oleh kedelapan (8) raja dengan pengawalan ekstra ketat. Keikutsertaan kedelapan 
raja ini bertujuan untuk pengamanan bagi baginda Raja Amai dengan 
permaisurinya dalam perjalan dan menjadi pengamanan di Gorontalo dalam 
melaksanakan kesepakatan yang diikrarkan raja Amai sebagai pensyaratan 
dalam mempersunting putri Awutango. 
Semua raja yang mendamingi raja Amai dan permaisurinya menetap di 
kerajaan Gorontalo untuk membantu Sultan Amai dalam melaksanakan 
pemerintahannya termasuk merancang adat dipadukan dengan sara' yang 
disepakati di kerajaan Tamalate Tomini antara mertuan dan menantunya. 
Kedelapan raja tersebut, adalah raja tamalate, raja Limboto, raja Siendeng, raja 
Holangata, raja Siduan, raja Sipayo, raja Soginti dan raja Bunoyo dipimpin olehsultan muda Biharuddin (putra) dari sultan Sahibullah dari Tamalate Tomini. 
(SR. Nur, 1979 : 21) Mereka tersebut disamping seorang raja juga bertindak 
sebegai muballig yang akan membantu penyiaran Islam di kerajaan Gorontalo. 
Para raja tersebut diutus mendampingi raja Sultan Amai karena mereka 
memiliki professional tertentu, yaitu a) Raja Tamalate, Siendeng dan Hulangata 
ahli dalam masalah hadat kerajaan dan pembuatan peralatan, antara lain seperti 
tolu, tutup saji dan membuat garam dapur, b) Raja Siduan, Sipayo, Soginti dan 
Bunuyo menjadi guru dalam masalah yang berhubungan dengan perdukunan 
dan mantra-mantra. (T.A.Giu, 2002 : 3) 
Dua pendapat tentang masuk Islam di Gorontalo, yaitu a) pada tahun 931 
H/1524 M, b) tahun 899 H/1495 M, pendapat kedua (b) yang diperpegangi 
berbagai pihak karena data tersebut tertulis pada pintu gerbang masuk di masj id 
Hunto Sultan Amai yang terdapat di kelurahan Biawu Kota Gorontalo. 
Perjalanan kembali ke kerajaan Gorontalo merupakan ekspedisi bahari dan 
setibanya dipelabuhan Gorontalo pada tahun 899H/1495 M, mereka disambut 
oleh masyarakat kerajaan Gorontalo dengan antosias dan penuh terharu, 
kemudian raja Amai bersama rombongannya melanjutkan ke Biawu yang 
meruapakan perkampungan Raja Ilohundonga, lokasi yang sekarang dikenal 
dengan nama Hunto dan terletak dikelurahan Biawu kecamatan Kota Selatan 
Kota Gorontalo. 
Di pumukiman Raja Amai dan permaisuri, rombongan melaksanakan dua 
kegiatan sebagai media pertama dan utama dalam memperkenalkan Islam pada 
rakyat Gorontalo, kegiatan tersebut a) bertepatan dengan tiba waktu Dzuhur 
mereka melakukan shalat Dzuhur di tempat terbuka dan mendapat perhatian 
masyarakat sekitar, b) pada hari Senin 899 H/1495 M, mereka membangun 
suatu tempat ibadah (masj id) atau tihi sederhana karena tiga hari kedepan 
pelaksanaan shalat Jum'at tiba. (Agin, 2002 : 5) Masjid ini diberi nama masjid 
Hunto sesuai nama tempat pemukiman mereka dan menjadi masjid pertama 
dan tertua di Gorontalo dan akhirnya masjid Hunto ditambah namanya menjadi 
Masjid Hunto Sultan Amai untuk mengabdikan nama raja yang pertama 
menerima Islam, muballig pertama dan pendiri masjid tersebut. 
Sejak saat itu raja Amai melaksanakan amanah dengan memaklumkan pada 
masyarakat Gorotalo, bahwa dia telah menganut Islam sebagai agama, oleh 
karena itu baginda sultan mengharapkan kepada masyarakat mengikuti jejaknya 
menganut Islam sehingga Raja Amai digelar ta loo pamaklumu dan pada saat 
itu pula digelar tulutani (sultan), yautu raja Islam pertama di kerajaan Gorontalo.Perlu dikemukakan bahwa setelah Sultah Amai mantap dalam 
pemerintahannya dan Islam di kesultanan Gorontalo mengalami perkembangan 
maka Biharuddin dinobatkan menjadi Sultan di kerajaan Tamalate Gorontalo 
dan pada tahun 931 H/1525 M, Sultan Amai mengharapakan kepada Sultan 
Biharuddin untuk membangun masjid di kerajaan Tamalate Gorontalo di samping 
masjid yang berada di Kesultanan Gorontalo dan masjid ini disebut tihi loalipu 
(masjid kerajaan). 
Kedua masjid tersebut dijadikan sebagai sentrum penyebaran Islam dan 
difungsikan sebagai masjid kesultanan bagi kesultanan Tamalate dan kesultanan 
Gorontalo dan dari kedua tihi ini digemakan syi'ar Islam di kedua kesultanan 
yang dilakukan oleh Sultan Amai, Sultan Biharuddin dengan dibantu oleh sultan 
lain seperti Sultan Siandang dan sulatan Ihulangata. Dalam kurun waktu yang 
tidak lama raja dan pembesar negeri menganut Islam sebagai agamanya, seperti 
raja Suwawa, Limboto, Bulingo, Atinggala dan raja Bualemo. 
Sultan Biharuddin yang semula mendapat amanah untuk merancang kultur 
di kesultanan Gorontalo berhasil melaksanakan tugasnya memadukan antara 
kultur masyarakat kesultanan Gorontalo dengan syari'at Islam, sehingga berhasil 
menetapkan 188 sendi adat sebagai pedoman dalam kultur Gorontalo yang 
dipadukan dengan sara'. Keberhasilan ini atas dukungan raja Limboto, Sumawa, 
Dolango, Atangala, Bualemo dan raja yang berasal dari Kerajaan Tamalate 
Tomini. 
Di masa pemerintahannya Sultan Amai, permaisuri dan putrinya lebih banyak 
tringgal dikerajaan Tamalate Gorontalo yang diperintah oleh Sultan Biharuddin, 
oleh sebab itu masa kecil putrinya dihabiskan bersama putri Muharifah (putri 
Sultan Biharuddin) kerena mereka sebaya, mereka sama-sama memperoleh 
pendidikan Islam secara ketat di Istana kesultanan Tamalate Gorontalo. Sultan 
Tamalate Gorontalo memiliki dua istana ksesultanan yang berhadapan di sebalah 
Timur dan Selatan Masjid Kesultanan, tetapi keberadaan kedua istana dan 
masjid ini tinggalfoklor karenatelah dihancurkan oleh Kolonial Belanda. 
Pada akhir masa pemerintahannya Sultan Amai mengalami krisis rumah 
tangga yang mengakibatkan permaisuri Owutango meninggalkan istana 
kesulanan Gorontalo kembali ke-Kerajaan tamalate Tomini meninggalkan 
Baginda Sultan Amai dan putrinya. Permaisuri berangkat hanya dikawal oleh 
empat raja yang berasal dari kerajaan Tamalate Tomini (raja Sipayo, Bunuyo, 
Soginti dan raja Siduan), namun ke-empat raja ini tidak sempat bersama sampai 
di Tamalate Tomini, tetapi singgah dan tinggal di Bumbar (Pohuato) danbergelar alongia ( empat raja) bersaudara. Ketika Sultan Amai mangkat maka 
digantikan atau naik tahta putrinya Matolodulakiki pada tahun 1550 M dan 
pada masa pemerintahannya Baginda Sultan Ratu melanjutkan sistem 
pemerintahan yang dilakukan oleh ayah handanya dan pada masa 
pemerintahannya Islam berkembang dengan pesat karena baginda ratu selalu 
memotivasi perkembangan Islam di kerajaannya sehingga baginda sultan juga 
di gelar dengan talopoloopo Islam. 
Bersamaan dengan masa pemerinthan sultan Ratu Matolodulakiki, Sultan 
Sahibullah di Tamalate Tomini (ayahanda) dari sultan muda Biharuddin mangkat, 
maka Sultan Biharuddin pulang kampung (Tamalate Tomini) dan naik tahta 
menggantikan ayahandanya (Sahibullah), sedangkan yang membantu menjadi 
naib di Kesultanan Tamalate Gorontalo, adalah raja muda Pangoliu. Perlu 
dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Biharuddin pusat 
pemerintahan kerajaan Tamalate Tomini dipindahkan dari Palasa ke-Tamalate 
Gorontalo atas persetujuan dari Sultan Gorontalo, raja Limboto, Sowawa, Bulango 
dan raja Bualemo. Demikian pula pada masa pemerintahan banginda Sultan 
Ratu Matolodulakiki pusat kerejaan Gorontalo juga dipindahkan di kerajaan 
Gorontalo dan penyatuan kedua pusat kerajaan ini berlangsung hingga pada 
masa pemerintahan Sultan Jogugu Ejato. 
Dalam dinamika historis kesultanan Gorontalo silih berganti pemerintahan 
(kesultanan) karena raja mangkat. Setelah baginda Sultan Ratu Matolodulakiki 
mangkat dan digantikan oleh putranya Pangoliu Dai (Pangoliu pertama) dan 
pada tahun 1585 M, sistem pemerintahannya sama dengan kakek dan ayahnya, 
pada masa ini Islam semakin berkembang dan mewajibkan penganut Islam 
melakukan sunatan missal bagi anak dan pemuda yang belum disunat dan 
pembaeatan bagi perempuan yang memasuki usia gadis dengan suatu upacara 
adat dan mandi lemon dilaksanakan dimasjid Kesultanan Tamalate Gorontalo 
bertepatan dengan 2 Muharram 1009 H/1611 M, sehingga sultan digelar tato 
powajibu (orang yang mewajibkan). 
Perlu dikemukakan, bahwa pada setiap 1 sampai dengan 10 Muharram di 
masjid Kesultanan Tamalate Gorontalo sultan melakukan acara silaturrahmi 
dengan raja Limboto, Sowawu, Bolango, Atinggala dan Bualemo dan dihadiri 
oleh para pembesar kesultanan/kerajaan, ulama, sara' dan pada acara ini juga 
dibicarakan berbagai masalah yang berhubungan dengan masalah kerajaan (dunia 
dan akhirat). (lihat Yassin : 25) Oleh sebab itu masijid memiliki multi fungsi 
seperti yangterjadi padaawal pengembangan Islam karena di masjid diselesaikansegala masalah, antara lain seperti masalah politik dan masalah sosial, disamping 
yang berhubungan dengan masalah di balik alam nyata karena Islam menuntun 
umatnya menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. 
Sultan Pangoliu digantikan oleh putrinya Moliye (1615 M), kemudian pada 
tahun 1646 M digantikan oleh suaminya Jogugu Eyato dan pada pemerintahannya 
kesultanan Gorontalo juga mengalami perkembangan pesat. Masyarakat 
Gorontalo diwaj ibkan menganut Islam dan baginda Sultan memproklamirkan 
Islam sebagai agama kesultan Gorontalo sehingga sultan Jogugu Eyato digelar 
talopatatapu (yang menetapkan Islam sebagai agama negeri) dan baginda 
sultan Jogugu Eyato adalah sultan pejuang menentang penjajahan Belanda 
sehingga Baginda Sultan dibuang di Sailan. 
Para penyebar Islam pada Kesultanan Gorontalo menggunakan metode yang 
digunakan oleh Al-Qur'an, yaitu pada awalnya disesuaikan dengan situasi dan 
kondisi masyarakat sasaran. Para muballig menggunakan mendekatan adaptatif, 
yaitu kebijakan Sultan Amai awalnya menggunakan metode menyesuaikan dengan 
adat dengan mengacu pada prinsip saraa topa-topango toadati (sara' bertumpu 
pada adat). Prinsip dimaksud adalah hukum atau Syari'at bisa berlaku apabila 
disesuaikan dengan kultur yang berlaku dalam masyarakat. Penggunaan 
pendekatan seperti ini dengan harapan bahwa Islam diterima oleh seluruh rakyat 
Gorontalo dan pada akhirnya Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. 
Kerangka tersebut menunjukan, bahwa Islam masuk di Gorntalo melalui 
kawin mawin antara seorang raja dengan putri raja atau sebaliknya, oleh sebab 
itu agama masuk di Gorontalo mulai dari atas (raja) sehingga Islam di Gorontalo 
berkembang dengan cepat karena ada prinsip masyarakat di suatu kerajaan, 
bahwa hidup dan kehidupannya adalah milik raja, titah raja adalah suatu 
kewajiban, oleh sebab itu menganut Islam bagi masyarakat Gorontalo adalah 
suatu kewaj iban yang harus dipatuhi dan berlanjut hingga saat ini, rakyat Gorontalo 
menjadi Muslim yang ideal, bukan orang asli Gorontalo kalau tidak Islam. Proses 
ini memiliki persamaan dengan proses Islamisasi di kerajaan Gowa dan Tallo 
(Sulawesi Selatan), yaitu Islamisasi dimulai dari atas (raja). 
Proses Islamisasi di suatu daerali berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi 
masyarakat sasaran. Mereka menggunkan pendekatan Islamisasi sesuai dengan 
kondisi masyarakat agar mereka mudah menerima seruan tersebut, maka tidak 
heran kalau Raja Muda Biharuddin pada awal kegiatan da'wahnya 
mencanangkan prinsip sara' bersendikan adat, setelah ke-Islam-an 
masyarakat telah kuat dan seluruh masyarakat kerajaan Gorontalo menganut.Islam maka Sultan Gorontalo memproklamirkan prinsip adat bersendikan sara' 
dan sara' bersendikan Kitabullah. Kerangka tersebut menunjukan, bahwa 
tiga orang Sultan pada kesultanan Gorontalo yang sangat berjasa dalam Islamisasi 
dan pengembangan Islam di kerajaan Gorontalo, yaitu Sultan Amai, Sultan 
Matolodulakiki (Ratu Sultan) dan Sultan Jogugu Eyato. 
Peran Sultan Amai 
Sultan Amai memerintah pada 1532 - 1550 M, kalau dilihat proses awal 
Islamisasi meletakan Sultan Amai a) seorang yang pertama menerima dinul 
Islam, b) seorang raja yang membawa dan mengembangkan Islam (muballig) 
di kerajaan Gorontalo, c) menjadikan kerajaan Gorontalo menjadi kerajaan Is-
lam, d) wajar kalau disebut raja yang pertama disebut Sultan di kerajaan Islam 
Goronalo. 
Dalam mensosialisasikan Islam di kerajaan Gorontalo Sultan Amai bersama 
rombongannya yang berasal dari Palasa kerajaan Tamalate Tomini melakukan 
kegiatan, yaitu 1) melaksanakan shalat Dzuhur pertama di pemukimannya di 
Hunto, 2) mendirikan Masjid Hunto yang akhirnya dinamakan masjid Hunto 
Sultan Amai. Kerangka tersebut menunjukan, bahwa seharusnya masjid Hunto 
Sultan Amai dijadikan pusat pendidikan dan pengembangan Islam, artinya pusat 
kegiatan pemahaman dan pendalam ilmu Islam karena hal ini merupakan hal 
yang mendasar dalam ajaran Islam, iman, amai (ilmu) dan menjadi sumber utama 
kultur dan peradaban orang Islam pada masa pemerintahan Sultan Amai. 
Pada dinamika pengembangan peradaban Islam Sultan Amai menggunakan 
pendekatan adaptatif dengan prinsip saraa topa-topanga to adati ('sara' 
bertumpu pada adat). Pada masa pemerintahannya di dampingi oleh delapan 
raja dari Palasa berhasil membuat 185 macam pola adat yang merupakan 
akulturasi kultur masyarakat kerajaan Gorontalo dengan kultur kaum Muslimin 
yang Islami, antara lain adat perkawinan, penyelenggaraan jenazah, pelaksanaan 
ibadah, mengatur hubungan sesama (adat dalam pergaulan), pembinaan remaja, 
kesenian yang bernafaskan Islam, kerukunan antara rakyat dan pemerintah, 
kerukunan hidup, penghormatan terhadap tamu, sosial, rumah tangga dan 
pembinaan sosial keagamaan. 
Disamping itu Sultan Amai juga menjadikan kesenian sebagai medya 
pengembangan budaya dan peradaban Islam, antara lain a) kesenian yang 
berhubungan dengan kematian, yaitu leningo (pantun agama yang berisi nasehat 
bahwa semua mahluk hidup pasti akan menghadap kematian). Tinilo (pujian
terhadap para leluhur dilantungkan untuk mengiringi pengantaran batu nisannya 
ke kubur). Hantalo (gendering yang dibunyikan menjemput tamu pada upacara 
pemakaman seorang pejabat negeri (bubato). b) kesenian yang berhubungan 
dengan peringatan maulid Nabi Muhamad SAW, yaitu berupa dikili (zikir) 
tentang kelahiran Nabi, c) kesenian yang berhubungan dengan perkawinan, 
antara lain mohatamo Quruani (chatam Qur'an) dilakukan pada malam 
walimatur urusy (pesta perkawinan). 
Sara' yang Diadatkan 
Sara' yang di adatkan, yaitu perintah mengikuti syari'at Islam hanya 
sosialisasinya melalui adat yang tidak bertentangan dengan tujuan syari'at, antara 
lain 1) pelaksanaan ibadah shalat mengacu pada hadis Ibnu Mas 'ud, yaitu 
hendakalah orang yang sudah balig dan pandai di antara kamu di dekatku. (Hadis) 
maksudnya orang yang sudah balig dan berilmu berada pada shaf yang terdepan, 
oleh sebab itu adat menetapkan bahwa shaf terdepan di masjid ditempati oleh 
pejabat negeri (utamanya di daerah), 2) hadis Bukhari Muslim, apabila tiba waktu 
shalat maka hendaklah adzan salah seorang di antara kamu. (Hadis) maksudnya 
adalah panggilan untuk melaksanakan shalat, adat Gorontalo menetapkan untuk 
pejabat utama di daerah yang malaksanakan shalat Jum'at atau shalat Id akan 
dijemput oleh tokoh adat dengan cara mohama wombato (menjemput tikar shalat) 
dan hal ini berlaku pula pada peminangan dalam suatu perkawinan. 
Adat yang di-Islamkan 
Adat yang di Islamkan, artinya yang dimaksud pelaksanaan berdasarkan 
adat, tetapi secara konteks adalah Island, antara lain pada acara belasungkawa, 
a) mapodidi, mengandung makna yang Island. Didi, adalah simbol ta 'ziah dan 
langsung memohonkan magfirah bagi almarhum dengan berzikir (zikir qalbu), 
b) memandikan zenazah, air yang disiramkan yang terakhir disebut taluhu 
liduyo, air yang berwarna putih, kuning dan merah darah. Air merah untuk 
menyiram mulai dari kepala hingga kaki dan berakhir di pusat. Warna merah 
untuk mensucikan sifat amarah. Warna kuning simbol harapan untuk mensucikan 
perbuatan kotor yang bersumber dari qalbu. Sedangkan warna putih, adalah air 
untuk siram terakhir, sebagai simbl harapan agar segala dosanya diampuni 
(terhapus). 
Pada masa pemerintahan Motolodulakiki telah melahirkan dua tokoh 
dalam masyarakat Gorontalo, yaitu tokoh agama (ulama) dan tokoh adat. Tokoh 
ini yang berperan dalam pembangunan budaya dan peradaban Islam di Gorontalo. 
Pikiran Sultan sangat mendasar dan berlian karena Islam menjadi pegangan,utama dan pedoman hidup, baik oleh pembesar kerajaan maupun oleh masyarakat 
dan sikap seperti ini cenderung pada usaha menjadikan Islam sebagai agama 
kerajaan Gorontalo. 
Peran Sultan Matolodulakiki 
Sultan Matolodulakiki, adalah putri dari Sultan Amai (1550 - 1585), pola 
pemerintahan dan kepedulian terhadap Islamisasi di kerajaan Gorontalo sama 
dengan baginda ayahandanya (Sultan Amai), hanya Matolodulakiki melakukan 
terobosan di dalam pengembangan kultur masyarakat Gorontalo. Pengembangan 
peradaban Islam dari pendekatan adaptatif dengan mengembangkan menjadi 
akulturasi budaya dengan sistem adati hula-hula to saraa, saraa hula-hula 
to adaptii (adat bersendi pada sara', sara' bersendikan kitabullah). (S.R Nur, 
1979 : 221) sistem ini mendekatkan masyarakat pada Islam dan memudahkan 
penerimaan sehingga dalam perkembangannya Islam memiliki dampak, yaitu 
a) adat bersendikan pada sara' melahirkan adat yang Islami, b) sara' bersendikan 
adat, melahirkan Islam yang di adatkan. 
Peran Sultan Jogugu Eyato 
Sultan Jogugu Eyato sebelum dinobatkan menjadi sultan, baginda dikenal 
sebagai khatib besar, seorang sufi yang diketahui sangat mengutamakan 
kesucan bathin. (Polontalo, 1998 : 67) Sultan ni adalah sultan ke enam pada 
struktur kerajaan Gorontalo bagian utara, tetapi dalam struktur kerajaan Gorontalo 
Islam (kesultanan) adalah sultan yang ke lima. Rentang waktu antara 
pemerintahan sultan Motolodulakiki dengan sultan Jogugu Eyato di selingi oleh 
dua orang raja selama kurun waktu 88 tahun. 
Pada pemerintahan kedua orang raja (pengantara) ini agama Islam 
statis bahkan cenderung mundur karena masyarakat hanya mengutamakan 
kultur asli masyarakat Gorontalo dan mengenyampingkan kultur yang 
Islami. Kondisi seperti ini yang memotivasi sultan Jogugu Eyato mencetus 
pranata Islami yang lebih idial dari sistem yang diberlakukan oleh Sultan 
Amai dan Sultan Motolodulakiki untuk menghadapi kemunafikan 
masyarakat tentang roh Islam (tauhid). Pranata sebagai sistem pantang 
surut menghadapi kemunafikan tersebut, adalah adati hula-hulaa to 
saraa, saraa hula-hulaa to Quruani (adat bersendikan sara', sara' 
bersendikan kitabullah). 
Beradasarkan sisten ini Sultan Jogugu Eyato dengan Arif melakukan 
perubahan, antara lain : 
1). Meminta pada bantayo po boide menambah kalimat pidato penobatannya 
sebagai Sultan, dari kalimat yang biasa dipidatokan sebelumnya, yaitu kalimat 
dila poluliya lo ito eya (tetapi tuanku tidak diperbolehkan menyalahgunakannya). 
Kalimat pidato penobatan raja sebelumnya, yaitu: 
• Huta- huta lo ito eya ftanah, adalah kepunyaan tuanku). 
• Taluhu- taluhu lo ito eya (air, adalah air kepunyaan tuanku). 
• Duputo-duputo lo ito eya (angin, adalah angin kepunyaan tuanku). 
• Tawu-tawu lo ito eya (manusia adalah manusia kepunyaan tuanku) 
Tambahannya: dila poluliya lo ito eya (tetapi tuanku tidak diperbolehkan 
menyalahgunakannya). 
Pada upacara penobatan Sultan Jogugu Eyato diwarnai dengan makna yang 
menyangkut tugas berat dan mulia, antara lain dapat dilihat pada kalimat: 
a). Tugas Maharaja; moiyo to Allah ... walo Mursala loo wall oe sagala 
fmembantu Allah dan nabi utusanNya, yang telah menciptakan segala-
galanya). 
b). Usaha memakmurkan rakyat, berpedoman pada; agama to taluu, lipu 
pei hulaluu (agama menjadi patokanku dalam mengendalikan negeri ini). 
c). Penyelenggaraan pemerintahan, dasarnya; oliide olimbunga oladia 
poheluma (ada aturan pemerintahan yang di dampingi oleh dewan 
permusyawaratan). 
2). Pembatasan kekuasaan raja. Sultan Jogugu Eyato merumuskan, bahwa 
kekuasaan yang pada diri manusia, terbagi atas kekuasaan lahir dan kekuasaan 
bathin. Untuk menghindari mabuk kekuasaan duniawi maka satu-satunya 
adalah menyandarkan kekuasaan itu pada kehendak Allah SWT, sehingga 
bathin akan disinari oleh cahaya Islam. Rumusan kekuasaan yang ditetapkan 
oleh sultan Jogugu Eyato yang didampingi oleh Bantayo po boida, menetapkan 
pensyaratan seorang yang dipilih menjadi khalifah atau maharaja, adalah a) 
bijaksana, pintar, berpendirian teguh, b) beragama dan berakhlak mulia, c) 
pengendalian diri dan bijaksana dalamkekuasaan, d) kasih saying kepada 
rakyat, e) adil, f) berani dan bijak di dalam menghadapi tantangan. 
3). Sistem pemerintahan berdasarkan aqidah Islam dan mewajibkan sebagian 
sifat 20 Allah SWT mejadi acuan semua aparat kerajaan mulai dari pejabat 
rendahan sampai pada pejabat tinggi, antara lain a) sifat nafsiah, sifat
kepribadian atau sifat wujud (ada). Sifat ini diwujudkan bahwa kerajaan itu 
ada karena ada aktivitas para pejabat dan aktifitas itu harus sesuai tuntunan 
Allah SWT dan Rasul SAW, b) mukhalafatuhu HI hawadis, sifat berlainan 
dengan mahluk yang ditujukan pada perbedaan antara rakyat dan pejabat, 
maka kalau pejabat melanggar hukum maka hukumannya lebih berat dari 
hukuman yang diberlakukan pada masyarakat, c) qalam, berbicara yang 
benar diperuntukan pada buntayo poloide, artinya mereka harus berbicara 
yang benar, musyawarah dengan niat untuk kepentingan rakyat dan kerajaan, 
d) wahadahiyah (Esa), ditujukan pada kerajaan, persatuan seluruh rakyat, 
pembesar kerajaan dan seluruh alam merupakan hubungan zimbiotik, e) sama, 
basar (mendengar, melihat) diperuntukan pada walaupulu (kepala kampung) 
untuk mendengar keluhan rakyat dan wajib menyampaikan pada atasannya 
dan sebaliknya, f) qidam (lebih dahulu), siap sedia diperuntukan pada keamanan 
agar siap dan taat dalam melaksanakan tugas, g) qiamu binafsihi (berdiri 
sendiri) ditujukan kepada baate, wuu, mereka harus tegas pada prinsip tanpa 
dipengaruhi oleh yang lainnya, h) baqa' (kekal) sifat yang harus dimiliki oleh 
sara' , qadi, mufti, imam dan saradaa, mereka melaksanakan syari'at 
Islam secara kaffah tanpa dipengaruhi oleh aliran apapun. 
4). Pembinaan Islam. Sistem pemerintahan sultan Jogugu Eyato mempertahankan 
ketiga sistem pemerintahan, salah satu diantaranya adalah menempatkan qadi 
pada bagian formal. Tugasnya membina Islam, menasehati sultan, mengetuai 
pengadilan pidana dan perdata. Disamping itu tugas utama qadi, adalah a) 
membina Islam, b) membangun masjid dengan wakaf, c) menyelenggarakan 
perayaan Islam baik di istana maupun di masjid, d) membina peradilan, e) 
menjadi penasehat pada siding kerajaan dan peradilan dalam hukum Islam. 
(Polontalo, 2002 : 20) Sedangkan dalam menjalankan tugasnya qadi dibantu 
oleh; a) moputi atau mufti (penasehat di bidang agama Islam), b) panthongo 
(penasehat tentang ilmu falak), c) imam (memimpin ibadah), d) saradaa (wakil 
imam, pengatur tata tertib peribadatan, e) lebi (pembantu saradaa), f) kasisi 
(anggota pembantu saradaa). (Ina Moo, 1979 : 25) 
5). Memperhatikan iptek dan imtak. Dasar pemikiran sultan Jogugu Eyato . 
melaksanakan imtek dan imtak, bahwaAllah SWT memiliki sifat maani yang 
salah satu sifat itu adalah ilmu, Allah mengetahui dan hal ini di jadikan acuan 
pantas atau tidaknya seseorang menjadi raja, antara lain bijaksana, cendekia, 
adil, memiliki akhlak mulia dan hal ini berlaku pula bagi pembesar kerajaan. 
Mengacu pada keriteria tersebut maka kemampuan pembesar kerajaan 
dikelompokan atas empat (4) bagian, a) kelompok kekuasaan yang menangani

keamanan dan keuangan, b) kelompok kehidupan, menangani pertanian dan 
petemakan, c) kelompok cendekiawan, menangani kehidupan keagamaan dan 
adat, d) kelompok kesenangan, menangani pembangunan fisik, antara lain seperti 
jalan, pengairan, perindusterian dan gedung. 
Perlu dikemukakan, bahwa keempat pembagian kerja tersebut memerlukan 
ilmu pengetahuan tentang sifat Allah SWT, yaitu qudrat, iradat, ilmu dan hayat 
dan sifat ini diperuntukan bagi pemangku jabatan, a) qudrat (kuasa) harus dimiliki 
oleh pejabat di bidang kekuasaan dilambangkan dengan warna merah sebagai 
simbol kemampuan, bahwa pejabat tersebut haru memiliki kemampuan menghadapi 
segala sesuatu, b) iradat (kemauan) harus dimiliki oleh pejabat yang menagani 
kehidupan, dilambangkan dengan warna kuning, sebagai simbol kemauan untuk 
mensejahterakan masyarakat, c) ilmu (pengetahuan) harus dimiliki oleh pejabat 
yang menjabat bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan lambang warna 
kuning, sebagai simbol kedewasaan, d) hayat (hidup) harus dimiliki oleh pejabat 
yang menjabat bidang kesenangan, ekonomi dengan lambang hijau sebagai simbol 
kesuburan, pembangunan bidang ekonomi. (Liputo, 1945 :14) 
Kerangka tersebut menunjukan, bahwa ketiga sultan ini yang berperan dan 
sukses dalam proses Islamisasi dan mengantar Islam pada masa pengembangan 
dan keemasan Islam di kerajaan Gorontalo dan dalam masa pemerintahannya 
ketiga baginda sultan memadukan antara adat dan sara' sehingga Islam mudah 
diterima dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, sehingga 
ketiga baginda sultan dikenal dan terkenal dalam kehidupan masyarakat Islam 
Goronalo, terutama Sultan Amai karena seandainya baginda Sultan Amai tidak 
ada maka kemungkinan Islam dipertanyakan berada di bumi persada (kerajaan) 
Gorontalo. Sejak itu Islam berkembang dengan pesat hingga dewasa ini, oleh 
karena itu berkembang suatu istilah dalam dalam masyarakat Gorontalo, bahwa 
bukan orang Gorontalo kalau dia tidak menganut Islam. 
E. Penutup 
Masuknya Islam di berbagai daerah terkait dengan masuk Islam di Nusantara 
(Indonesia) pada abad pertama Hijriah dan sampai di Sulawesi melalui kontak 
perdagangan antar saudagar, maka tidak mengherankan orang yang pertama 
menerima Islam pada umumnya orang yang berada di daerah pantai atau di 
Bandar-bandar yang merupakan jalur perdagangan dan sampai di kerajaan 
Tamalate Tomini yang terletak di Teluk Tomini yang merupakan jalur masuknya 
Islam di Gorontalo, hanya masuk Islam di kerajaan Gorontalo bukan melalui 
kontak perdagangan tetapi melalui kawin mawin antara raja Gorontalo (Amai) 
dengan Putri Awutonga putri raja Boneneto (raja Tamalate Tomini).
Orang yang pertama menerima Islam di Gorontalo adalah Raja Amai, 
menerima Islam langsung di Palasa kerajaan Tamalate Tomini dan Baginda 
Sultan Amai yang membawa dan menyebarkan Islam di kerajaan Gorontalo 
dan setelah di Gorontalo baginda digelar Sultan Amai dan dikenal dalam 
masyarakat sebagai seorang raja yang pertama menerima, muballig (penyebar 
Islam) pertama di Gorontalo di bantu oleh enam raja lokal yang berasal dari 
kerajaan Tamalate Tomini yang dipimpin oleh Putra Mahakota Biharuddin. 
Sejak masa pemerintahan Sultan Amai hingga masa pemeritahan 
Matalodulakiki menggunakan azas dan pendekatan adaptatif, yaitu sara' 
berdasarkan adatt. Sedangkan Sultan Jogugu Eyato juga memerintah dengan 
memadukan antara sara' dengan adat seperti sultan yang lain, tetapi baginda 
Sultan Jogugu Eyato menyepurnakan azas kerajaan menjadi adat bersendikan 
sara' dan sara' bersendikan Kitabullah karena Sultan menganggap bahwa 
pemerintahan dan rakyatnya telah matang untuk memberlakukan azas seperti 
itu dan sistem perpaduan antara sara' dan adat dalam kehidupan masyarakat 
Gorontalo tetap berlaku hingga kini.

Monday, February 3, 2025

Suku Bolango di Bolmong Selatan

        Suku Bolango, adalah suatu suku yang mendiami kota Molibagu, kabupaten Bolsel di provinsi Bolaang Mongondow. Suku Bolango saat ini berpusat di kota Molibagu di Bolaang Mongondow Selatan.

Asal usul suku Bolango tidak diketahui secara pasti, tapi menurut cerita rakyat yang berasal dari daerah Gorontalo, bahwa suku Bolango ini berasal dari wilayah Gorontalo. Pada perjalanan awal nenek moyang mereka berjalan melintas 2 jalur dengan terbagi menjadi 2 kelompok, dan salah satu kelompok menuju Molibagu. Kelompok yang menuju Molibagu ini lah yang menjadi cikal bakal suku Bolango. Saat itu mereka mengangkat seseorang menjadi raja mereka, yang bernama Raja Gobel. Sedangkan kelompok yang satu lagi diperkirakan adalah cikal bakal orang Atinggola di provinsi Gorontalo. (?)

Secara struktur ras orang Bolango, adalah mirip dengan fisik orang Ternate, menurut dugaan dahulunya mereka berasal dari daerah Ternate. Dalam perjalanan panjang migrasi suku Bolango, sejak awal hingga saat ini, diperkirakan banyak terjadi perkawinan-campur antara suku Bolango dengan suku Ternate, suku Minahasa dan suku Gorontalo, Sehingga saat ini dilihat dari struktur fisik orang Bolango, memiliki beragam ciri fisik. Warna kulit dari kuning cerah hingga coklat gelap, rambut dari lurus, ikal dan ada juga yang keriting.

Suku Bolango memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Bolango. Bahasa Bolango ini sangat mirip dan sangat berkerabat dengan bahasa Atinggola, sebagian besar memiliki kosa kata yang mirip, tapi berbeda dialek dan intonasi.

Suku Bolango memiliki beberapa tarian adat yang tetap terpelihara hingga saat ini. Beberapa tarian adat suku Bolango, adalah:

  *.Tarian Dangisa, tarian ini biasanya ditarikan oleh 12 sampai 24 orang laki-laki. Tarian ini dilaksanakan pada saat kerajaan mendapat kunjungan kehormatan dari kerajaan lain.

 *.Tarian Tide No Betuo, tarian ini ditarikan oleh seorang perempuan. Tarian ini dilaksanakan ketka sang raja lagi bersuka ria.

 *.Tarian Tide Noohongia, tarian ini ditarikan oleh sang perempuan anak cucu raja, dimana penari-penarinya memakai pakaian kebaya dan sarung berwarna ungu. Dikepalanya terpancang 7 serangkai bunga serta selendang ditangan. Tarian ini biasanya ditarikan di depan tamu kehormatan, penari memegang selendang dan nantinya akan dilemparkan kepada para tamu agar menari bersama.

 *.Tarian Tide No Oeyabo atau Tari Kipas, tarian ini ditarikan oleh 4 orang perempuan yang disebut dayang dayang raja, dan ditarikan dalam ruangan istana (kemaling) dengan disaksikan para tamu kehormatan.

 *.Tari Jongke, tarian ini ditarikan oleh 3 - 6 orang perempuan yang berpakaian batik dan kebaya diikuti pukulan gendang dan ditarikan di dalam istana.

sumber:
  . medialiputotabuan.blogspot.com: tarian  suku bolango
  . yasirmaster.blogspot.com: perbincangan   tentang sejarah marga gobel
  . medialiputotabuan.blogspot.com: foto
  . wikipedia
  . dan sumber lain

Tuesday, January 7, 2025

Kajian Ta'Uwa Moodelo (2)

MOLAHULI

Setelah sang olongiya menerima gelar ta’uwa, maka para petinggi adat dan para tua-tua melaksanakan prosesi yang disebut molahuli (memberi nasehat, mengungkapkan harapan dan peringatan). Isi dari pesan-pesan tersebut pada pokoknya dimaksudkan agar sang ta’uwa yang baru dilantik ini benar-benar menjalankan kekuasaannya sebagai abdi penyandang beban amanah dari Allah SWT. Berikut ini beberapa tahuli (pesan-pesan) yang penting.

Menjaga harkat dan martabat:

Mbu’i bungale pulu
Wuwa’atiyo tilombulu
Batangiyo taa pulu
Hungaliyo tilombulu

Tuan turunan bangsawan
Asal usul orang keramat
Titisan para pangeran
Anaknya kini dijunjung

Menjaga kerukunan rumah tangga:
 
Dile U dile-dileto
Diludupo duleheto
Bolo ngango molahopo
Mo’o bu’a tomeleto

Istri yang dimanja-manja
Hilangkan kecurigaan
Jikalau mulut berucap salah
Akan terjadi perselisihan/perceraian

Pemimpin menyandang amanah Allah:

Timihupo to madala
To talohu to hulala
To po badari to Allah
To Azza Wajala
Wolo Nabi Mursala
Mo’o piyo to Allah
To’u mo’opiyo to Allah
Bolo du’a de Allah
Umuru Sejahtera

Pimpinlah negeri
Dengan arif dan bijaksana
Sesuai yang digariskan Allah
(yang digariskan Allah) Azza Wajala
Dan (ketentuan dari para) nabi yang suci dan benar
(Bekerja) demi kebaikan Allah
Agar baik di mata Allah
Berdoalah (selalu) kepada Allah
(agar) panjang umur dan sejahtera

Kepemimpinan yang rajin dan tulus:

Olohulo layito
To utiya to uwito
Pulanga pali-palito
U mopiyo to didipo
Bo hale motideto

Rajinlah selalu
Berbuat ini dan itu
Gelar sudah menyelimuti(mu)
Yang terbaik dalam hidup
Hanya hati ikhlas dan tulus

Menaati peraturan:

Donggo ito taa ta’uwa
Lipu hu’a aturuwa
Maa dila li’u-li’uwa
Wonu bolo o li’uwa
Wu’udio opuluwa

Selagi Tuan menjadi ta’uwa
Negeri segeralah diatur
Jangan diselewengkan
Jika terselewengkan
Aturan tegakkanlah

Tegas dalam keputusan/tindakan:

Ami tiyombu tumudu
Hiwolata lo’ wu’udu
Wonu motihuludu
To’olauto tumudu

Kami nenek/kakek penjaga aturan
Mempertahankan kaidah
Jika (kami) membangkang
Tuanlah yang menghakimi

Menjaga diri dari ucapan tercela:

To bandla muliya
Ito ma lo tahuliya
To lipu duluwo botiya
Leule elehiyo
Bolo ilo ilo lo’iya
Lo’iya u dila opiyo
To daata u manusia

Cucunda yang mulia
Kita sudah saling mengikat janji
Di kedua negeri ini
Sekali-kali janganlah
(Janganlah) berkata-kata
Kata-kata yang tidak terpuji
Kepada banyak orang

Kepedulian akan kesejahteraan rakyat:

Ami tiyombu tanggapa
Hepipide Hewalata
Tomobohimu palata
O lale lo huwa data
Dahayi hulalata
Tunggulo u ilomata
Wu’udiyo bubulata
To bandla wombu ilata

Kami kakek/ nenek mengawasi
Semua siap siaga
Mengatasi kesulitan
(demi) kepentingan rakyat jelata
Rawatlah kesejahteraan (rakyat)
Sampai ada karya nyata
Tetapkan norma dan aturan
Bagi anak cucu tercinta

Kedelapan tuja’i tersebut adalah harapan masyarakat (ulipu) agar sang pemimpin atau penguasa menjalankan tugasnya sebgai khalifah pemimpin rakyat dan pemimpin umat yang benar-benar penyandang Amanah Allah, dan menjaga gelar itu sampai pada akhir hayatnya, sehingga gara’i (gelar adat yang diberikan kepada orang yang sudah mangkat) akan lebih tinggi nilainya dari pulanga yang dimiliki semasa hidup, atau sekurang-kurangnya sama derajatnya. Pemimpin mesti dapat meniru bulewe (pokok pinang) seperti pesan para tetua; Donggo hu’u-hu’umo sambe wonu, to’u lo ngo’abu lebe ma’o wonu liyo, tunggulo u maa lo lolante debo wonu-wonu. Artinya; sebelum mekar sangat harum, setelah mekar lebih semerbak harumnya, bahkan ketika dia layu pun tetap harum dimana-mana.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Foto : Beberapa di antara banyak buku yang pernah ditulis oleh Medi Botutihe, juga beberapa buku tentang Medi Botutihe.

Elnino M Husein Mohi

Saturday, January 4, 2025

Kajian Ta'Uwa Moodelo (1)

Tulisan Elnino Mohi 

Tuja’i Penganugerahan Gelar Ta’uwa

Dalam prosesi dan upacara penganugerahan gelar ta’uwa, rakyat yang diwakili oleh para pemangku adat mengumandangkan tuja’i-tuja’i (sajak-sajak suci). Sajak-sajak itu berisi aturan atau hukum-hukum yang mengatur kehidupan kejiwaan maupun perilaku si penerima gelar. Beberapa tuja’i yang penting untuk dibahas di sini adalah sebagai berikut.

Tuja’i persatuan Gorontalo-Limboto:

Wallahi-wallahi otutu
Hulontalo Limutu
U tutuwawuwa otutu
Dahayi bolo moputu
Ode janji to buku

Dengan Allah, Dengan Allah sesungguh-sungguhnya
Gorontalo Limboto
Yang sama dan serasi persis
Jangan sampai terputus
Seperti janji yang tertulis

Tuja’i ini mengingatkan bahwa di antara kedua Pohala’a ini (Gorontalo dan Limboto), telah terjalin suatu perjanjian tertulis yang dikukuhkan dengan sumpah pada 12 Sya’ban 1084 H. Limboto dan Gorontalo adalah bersaudara kembar-identik yang tak terpisahkan sepanjang zaman. Tidak mengherankan bila upacara penobatan olongiya lo limutu (Raja Limboto) sebagai ta’uwa dilaksanakan oleh jajaran adat Gorontalo. Begitu pula sebaliknya, bila olongiya lo Hulondlalo (Raja Gorontalo) yang diberi gelar, maka pelaksana upacaranya adalah masyarakat adat Limboto.

Tuja’i peringatan agar jangan tercerai:

Billahi, billahi, billahi
Limutu Hulontalo
Dahayi mawalo
Wonu bolo mawalo
Mowali mobunggalo

Dengan Allah 3x
Limboto Gorontalo
Jaga jangan sampai retak
Jika sampai retak
Akan menjadi hancur berantakan

Tuja’i telah menjelaskan sebab akibat, yaitu jika tidak memelihara kerukunan kedua negeri, maka negeri itu akan hancur dan masyarakat akan menjadi liar kembali. Limboto dan Gorontalo bukan bersaing dengan penonjolan, tetapi saling menopang dalam pembangunan. Perbedaan pendapat mesti dimusyawarahkan dalam lingkaran rasa persaudaraan yang kokoh.

Tuja’i pemantapan:

Tallahi, Tallahi, Tallahi 
Delo tahuwa to nurani
Syara’a wawu adati
Wahu popobiibiya
Adati wawu syari’iya
Dila bolo wohiya motiya
Odudu’a lo tadiya

Dengan Allah 3x
Simpanlah dalam nurani
Syari’at (Islam) dan adat
Buatlah seimbang
Adat dan syariat
Jangan sampai ada tarik-ulur atau terpisah
Akan tertimpa sumpah (kutukan)
 
Tuja’i ini menegaskan bahwa adanya keseimbangan adat sebagai tata karama atau penata moral, syariat adalah kewajiban sebagai muslim dan pelanggaran adat berarti pelanggaran sumpah, pelanggaran syariat adalah dosa. Kedua-duanya akan menerpa setiap manusia pelaku dan penyandang gelar adat.

Tuja’i pengukuhan penguasaan:

Huta, huta lo ito Eeya
Tulu ,tulu lo ito Eeya
Dupoto, dupoto lo ito Eeya
Taluhu,Taluhu lo ito Eeya
Tawu, Tawu lo ito Eeya
Boo ito Eeya dila poluli hilawo

Tanah, tanah milik Tuanku
Api, api milik Tuanku
Angin, angin milik Tuanku
Air,air milik Tuanku
Rakyat, rakyat milik Tuanku
Tapi Tuanku jangan berbuat sesuka hati

Jelas dalam tuja’i tersebut, penyandang gelar ta’uwa diberikan kewenangan pada tanah air, angin, api dan manusia, tapi tidak dibenarkan sewenang-wenang menuruti hawa nafsu.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Foto : Pak Medi Botutihe dan ibu Hadidjah Suratinoyo Botutihe dalam suatu kegiatan adat Gorontalo. Copyright foto : Mas Rosyid A Azhar

#gorontalo #artikel

Tuesday, December 10, 2024

Mengenal gelar adat Ta'uwa di Gorontalo

      Ada lima jenis penyebutan untuk gelar Ta’uwa, yaitu Ta’uwa Lo Madala, Ta’uwa Lo Lahuwa, Ta’uwa Lo Hunggiya, Ta’uwa Lo Lingguwa dan  Ta’uwa Lo Daata. Kelimanya dapat pula disebut sebagai Ta’uwa Lo Lipu (Sang Khalifah Negeri). Lima macam penyebutan gelar tersebut sama sekali tidak membedakan status sang ta’uwa. Perbedaan itu hanya pada nama belaka. 

1) Ta’uwa Lo Madala
          Madala bermakna negeri yang indah, dimana pemimpinnya adalah penguasa yang bukan mencari kenikmatan dunia. Seluruh pemikirannya adalah bagaimana menjadikan negeri ini dapat memberikan kesejukan hidup; para petani dan nelayan, para buruh dan pekerja hidup dalam kesederhanaan, kemiskinan dapat diatasi dengan pajak negeri itu sendiri. Penguasa lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya sendiri. 

Indah bukan berarti negeri ini penuh dengan kemewahan, tetapi indah karena keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Penguasa adalah panutan karena agamawan, pemerintah senantiasa berkiprah pada tiga jalur tali keadaban, yaitu Buwatulo Totolu atau Buwatulo Towulongo, sehingga moralitas masyarakat terkontrol dan terkendali.

Pemimpin yang berhasil dan memiliki karakter atau sikap bukan untuk mencari kenikmatan dunia inilah yang patut dianugerahi gelar sebagai Ta’uwa Lo Madala.

2) Ta’uwa Lo Lahuwa
 Lahuwa adalah negeri yang memiliki kewibawaan. Kewibawaan ini adalah berkat kepemimpinan seorang penguasa yang bertindak arif dan tegas, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, baik dari tingkat yang lebih atas, maupun aturan-aturan yang dibuat oleh negerinya sendiri.

Bahkan ia tak segan-segan menerapkan hukum Allah, jika aturan yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Ketaatan tentang hukum ini, membuat masyarakat tenang, dan takut membuat pelanggaran. Kepemimpinan penguasa ini wajar jika dianugerahkan sebagai ”Ta’uwa Lo Lahuwa”.

3) Ta’uwa Lo Hunggiya
 Hunggiya adalah negeri yang memiliki daya tarik tersendiri, yaitu negeri yang dipimpin oleh seorang penguasa yang ramah, arif, bijaksana dan penuh kekeluargaan. Negeri ini menganggap bahwa penguasa adalah seorang kepala keluarga, yang membesarkan, memelihara dan menyejahterakan keluarganya, dalam hal ini rakyatnya. Pemimpin ini lebih mementingkan kepentingan rakyatnya dari pada kepentingannya sendiri.

Dalam pemerintahannya penguasa tersebut sangat menghargai fatwa para tua-tua, dan selalu bermusyawarah untuk mufakat. Kebijakan-kebijakan yang penuh kekeluargaan sangat berkesan di hati rakyat sehingga kesan-kesan dalam pembangunan negeri ini selalu dikenang sepanjang masa. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter ini wajar jika dianugerahkan pulanga sebagai ”Ta’uwa Lo Hunggiya”.

4) Ta’uwa Lo Lingguwa
          Lingguwa dalam konteks ini dimaknai sebagai negeri yang kuat, tahan lama dan awet. Peristilahan lingguwa diambil dari nama sejenis kayu kelas satu yang sangat kuat. Biasanya dipakai sebagai tiang atau pasak utama pada bangunan-bangunan di Gorontalo.

Gelar Ta’uwa lo Lingguwa disematkan kepada seorang pemimpin yang kuat karena wawasannya yang luas, arif karena ilmu yang dimilikinya, tegas dalam tindakan dan konsekuen dengan apa yang menjadi keputusan. Dicintai rakyat karena ketegarannya dalam membela hak rakyat. Kepeduliannya akan umat sangat tinggi, bukan saja di dalam negerinya tetapi di negeri-negeri sekitarnya.

Pembangunan fisik bagi pemimpin ini soal kedua, tetapi pembangunan moral menjadi keutamaan. Sifat keterbukaan membuat penguasa ini tahan kritikan dan hujatan.

5) Ta’uwa Lo Daata
 Daata berarti banyak. Negeri ini banyak kegiatan yang tercipta, baik untuk meramaikan negeri, maupun pembangunan yang bermamfaat untuk masyarakat. Oleh sebab itu penguasa negeri ini banyak jabatan yang di pegangnya, demi untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan lainnya adalah keberanian dan kemampuannya membuat terobosan baru, yang dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan masa yang akan datang. Teguh pendirian, kepedulian akan peningkatan sumber daya manusia menjadi patokan perencanaannya. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter seperti ini wajar di anugerahkan gelar ”Ta’uwa Lo Daata”.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Monday, December 2, 2024

Benteng Oranje

Tulisan Rosyid A Azhar.

Setelah VOC mengambil alih kerajaan Gorontalo dari Ternate pada tahun 1681, Benteng Leiden untuk sementara menjadi satu-satunya bangunan pertahanan batu yang mengawasi perairan yang luas dan sulit dikendalikan di sekitar Sulawesi Utara. 
Benteng ini dibangun di atas fondasi bekas benteng Portugis Ota, benteng yang awalnya dibangun pada tahun 1527 dan baru digunakan beberapa tahun pada masa Portugal mencoba menguasai wilayah tersebut. 
Selain Benteng Leiden, VOC memiliki beberapa pos kecil yang terbuat dari kayu dan tanah dengan jumlah staf yang minim. Baru pada tahun 1764 dibangun benteng batu Nassauw di Gorontalo yang kemudian menjadi pusat kegiatan perusahaan.
Pada tahun 1766, Benteng Leiden diperluas dan direnovasi serta sebuah menara pengawas dibangun di atas bukit tersebut, dan baru pada saat itulah benteng tersebut mendapatkan namanya. Benteng berbentuk persegi panjang ini memiliki dua bastion berbentuk bulat. 
Dari jumlah tersebut, hanya benteng tenggara yang masih ada. Tidak diketahui seperti apa bentuk asli benteng tersebut, tetapi rencana dengan benteng bundar mungkin berasal dari zaman Portugis. Dindingnya setinggi 2-3,5 m dan tebal satu meter. 
Benteng ini merupakan tempat kedudukan sub-pedagang dan garnisun kecil. 
Benteng Leiden ditinggalkan oleh Belanda pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1818 benteng ini ditempati kembali oleh seorang sersan dan 12 tentara. 
Benteng Leiden dibubarkan pada tahun 1832 karena garnisunnya dipindahkan ke Soelamatta untuk mengawasi pasokan emas kepada pemerintah.
Benteng yang dipugar sekarang menjadi objek wisata.  Nama saat ini, Benteng Oranje, tidak dapat ditelusuri kembali ke zaman VOC.

Tuesday, November 26, 2024

Laporan Pertanian di Gorontalo tahun 1871

Tulisan dari Rosyid A Azhar

Setelah tinggal selama dua tahun di wilayah asisten residen Gorontalo, Robert Wolter Baron Van Hoevel sudah mampu mengenali kondisi masyarakat dan daerah, termasuk kemampuan mereka di daerah yang padat maupun kurang penduduk.
RW. Baron van Hoevell membuat catatan produk pertanian penting yang dikembangkan di Gorontalo, juga budidaya pertanian baru yang dianggap memiliki prosptektif di masa depan.
Namun kondisi sejumlah daerah di Gorontalo saat itu tidak sepenuh dapat dikontrol oleh pememrintah Hindia Belanda meskipun ada pemerintahan di bawahnya di wilayah Gorontalo, Paguat, Bone, Kwandang dan Limboto, banyak daerah-daerah yang berdiri sendiri dan saling bergesekan satu sama lain. Tidak ada jaminan kepemilikan hak, karena antardaerah terjadi perselisihan. Para pemimpin daerah ini juga menentang upaya pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kebijakan industri di daerahnya. Para pedagang lokal juga hanya sampai di daerah pesisir untuk melakukan transaksi.
Produk pertanian tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat,  lahan pertanian banyak terdapat tanah keras dan sulit ditanami. Pada daerah ketinggian lapisan tanah atas (top soil) sangat tipis, tidak bisa ditanami tamaman yang memiliki akar dalam. Batu kapur adalah pemandanagn yang biasa. Banyak orang mengira di bagian pegunungan lebih subur, bamun faktanya sebaliknya.
Pengairan pertanian menggunakan sungai alam, hanya ada sungai yang layak dilayari dengan perahu kecil di bagian muara.
Produk pertanian adalah beras, namun komodfitas ini tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat. Demikian juga dengan produksi jagung. Bulir beras Gorontalo sangat kecil, kadar kapurnya tinggi, nilai gizinya rendah. Jika gabah sudah dikupas menjadi beras, maka daya simpannya pun sangat pendek.
Upaya pemerintah hindia belanda untuk mendatangkan benih padi dari daerah lain banyak dilakulkan, namun  hasilnya tetap saja tidak sesuai harapan. Unsur hara tanah memang sangat minim, meskipun dilakukan pembajakan sawah berulang kali.
Padi yang ditanam di daerah yang memiliki ketersediana iar berlimpah diharapkan dapat memberi hasil panen yang berlimpah. Benih yang berulang ditanam juga diharapkan akan menghasilkan tanaman yang benih yang adaptif.
Setiap tahun banyak ladang yang menganggur, lahan ini tidak dibajak. Dalam beberapa bulan terakhir pemerintah hindia belanda mencatat harag beras berada pada ksaran 6-8 gulden  
Dalam beberapa bulan terakhir harga beras di Gorontalo seringkali berada di antara 6-8  gulden per pikol, namun ketersediaannya sangat langka.
Hampir tidak ada dataran tinggi di wilayay asisten residen Gorontalo, ini berarti bukan daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman kopi. Kenyataannya tanaman kopi tidak menghasilkan buah yang maksimal meskipun ada beberapa yang tumbuh baik, naun secara umum produktifitasnya rendah. Pemerintah Hindia Belanda sudah mencoba menanam kopi di daerah ketinggian namun hasiolnya tetao saja tidak sesuai harapan.
Tidak berhasilnya komoditas ini sangat mungkin akibat tipisnya top soil dan rendahnya unsur hara. Kopi yang ditanam di sekitar atau permukiman warga yang sering dipupuk menghasilkan buah yang banyak.
Di komoditas lain, budidaya kapan juga tidak maksimal, bahkan produk kapas tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Gorontalo.
Mengumpulkan produk kapas masyarakat sudah tidak bisa dilakukan, kecuali pememrintah membujuk masyarakat untuk membangun perkebunan kapas dalam jumlah besar yang dapat menjamin pasokan secara teratur maka komoditas ini sangat mungkin untuk dikembangkan karena memiliki potensi keberhasilan yang besar.
Optimistis ini m,uncul karena kondisi tanah Gorontalo cocok ditanami pohon kapas yang merupakan tanaman semak atau perdu. Jika pun tanaman iuni berhasil tumbuh dan berproduksi, namun hasilnya tidak mampu bersaing dengan kamoditas serupa dari daerah lain.
Menurut pendapat para ahli kapas Gorontalo berserat pendek dan dari segi nilai dan harga sangat mirip dengan kapas dari pulau Bali. Kapas mentah diperdagangkan di kalangan penduduk asli dengan harga ƒ 0,065 hingga ƒ 0,075 katti, namun, sebagaimana disebutkan di atas, jarang atau tidak pernah tersedia dalam jumlah yang besar. Sayangnya para pedagang arab dan cina tidak tertarik dengan komoditas ini.
Tembakau banyak dibicarakan orang dalam dunia perdagangan, sebagian orang membayangkan sebagai gunung emas. Tembakau ini adalah tembakau Gorontalo yang berbeeda vaietas dengan tembakau yang ditanam di kelokan daratan teluk Tomini misalnya tembakau Tinombo. Faktanya tidak ada perkebunan tembakau yang dikelola secara baik dalam jumlah yang besar. Produksinya selalu berada jauh di bawah kebutuhan, sementara pasokan dari luar daerah berupa tembakau siap pakai, yang berasal dari Tinombo.
Di wilayah Kwandang yang menjadi bagian dari wilayah kerajan Atinggola, ribuan tanaman tembakau dibudidayakan setiap tahunnya. Sebagian tanaman diolah secara tradisional, sebagian dijadikan komoditas di daerah pesisir di pantai utara. Sayangnya penanaman dan perdagangan tersebut terlalu kecil dan tidak teratur untuk dijadikan dasar penghitungan.
Percobaan penanaman komoditas ini sempat dilakukan satu kali di Gorontalo untuk pasar Eropa, namun hasil yang diperoleh pada saat itu tampaknya tidak mendorong pengulangan kualitas tembakau yang diperoleh pada saat itu,  ditanam dan diolah di bawah pengawasan seorang ahli dari Eropa pada lahan hutan yang baru dibuka, cukup baik, produk yang diperoleh tidak berhasil.
Varietas tyembakau juga didatangkan dari daerah lain di Hindia Belanda. Sejumlah kecil cerutu dibuat dari tembakau Gorontalo, dibuat dari beberapa daun tanaman pilihan, ditanam atas desakan para pejabat Eropa dan pribumi di tempat-tempat kecil yang subur.
Asisten Residen membuat regulasi penanaman tembakau yang belum banyak diketahui oleh penduduk Gorontalo. Warga dipaksa meninggalkan tanaman yan biasa mereka budidayakan dan beralih ke tembakau,  regulasi ini berhasil memaksa sepertiga penduduk untuk menanam tembakau. Paksaan ini diprediksi mampu menghasilkan 6600 pikol tembakau.
Perhitungan pemerintah menyatakan 3.300 dari 10.000 keluarga masing-masing menanam 3000 tanaman tembakau sesuai standar eropa. Program ini  dibebankan kepada raja dan penyelenggara peemrintahan di bawahnya. Pememrintah Hindia Belanda hanya bertugas melakukan pengawasan umum atas jalannya program ini sebagaimana telah diatur dalam berbagai kontrak lama.
Ia menilai orang Gorontalo lebih berbakat sebagai pedagang adri pada sebagai petani. Namun jika sebagai pedagang mereka kekuranagn modal, namun juga tidak cocok sebagai petani karena mereka tidak terbiasa dengan pekerjaan tetap. Tubuh petani umumnya yang lemah, kualitas makanan tidak memadai membuatnya tidak mampu melakukan aktivitas yang signifikan.
Praktik di bidang pertanian dilakukan dengan cara yang paling primitif, karena semua peralatan pertanian yang penting masih kurang dan dtidakntahu harus bagaiamana, sebagai akibat dari cara hidup nomaden yang dianut selama ini. (R., 20 Juli 1871)

Sumber Tijdschrift voor nederlandsch indië van D W.R. Baron van Hoevell, voortgezet door eene vereeniging van staatslieden en geletterden.
Derde Serie.
5de jaargang
tweede deel
Te Zalt-bommel, bij Joh. Noman en Zoon, 1871.