Tuesday, December 10, 2024

Mengenal gelar adat Ta'uwa di Gorontalo

      Ada lima jenis penyebutan untuk gelar Ta’uwa, yaitu Ta’uwa Lo Madala, Ta’uwa Lo Lahuwa, Ta’uwa Lo Hunggiya, Ta’uwa Lo Lingguwa dan  Ta’uwa Lo Daata. Kelimanya dapat pula disebut sebagai Ta’uwa Lo Lipu (Sang Khalifah Negeri). Lima macam penyebutan gelar tersebut sama sekali tidak membedakan status sang ta’uwa. Perbedaan itu hanya pada nama belaka. 

1) Ta’uwa Lo Madala
          Madala bermakna negeri yang indah, dimana pemimpinnya adalah penguasa yang bukan mencari kenikmatan dunia. Seluruh pemikirannya adalah bagaimana menjadikan negeri ini dapat memberikan kesejukan hidup; para petani dan nelayan, para buruh dan pekerja hidup dalam kesederhanaan, kemiskinan dapat diatasi dengan pajak negeri itu sendiri. Penguasa lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya sendiri. 

Indah bukan berarti negeri ini penuh dengan kemewahan, tetapi indah karena keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Penguasa adalah panutan karena agamawan, pemerintah senantiasa berkiprah pada tiga jalur tali keadaban, yaitu Buwatulo Totolu atau Buwatulo Towulongo, sehingga moralitas masyarakat terkontrol dan terkendali.

Pemimpin yang berhasil dan memiliki karakter atau sikap bukan untuk mencari kenikmatan dunia inilah yang patut dianugerahi gelar sebagai Ta’uwa Lo Madala.

2) Ta’uwa Lo Lahuwa
 Lahuwa adalah negeri yang memiliki kewibawaan. Kewibawaan ini adalah berkat kepemimpinan seorang penguasa yang bertindak arif dan tegas, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, baik dari tingkat yang lebih atas, maupun aturan-aturan yang dibuat oleh negerinya sendiri.

Bahkan ia tak segan-segan menerapkan hukum Allah, jika aturan yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Ketaatan tentang hukum ini, membuat masyarakat tenang, dan takut membuat pelanggaran. Kepemimpinan penguasa ini wajar jika dianugerahkan sebagai ”Ta’uwa Lo Lahuwa”.

3) Ta’uwa Lo Hunggiya
 Hunggiya adalah negeri yang memiliki daya tarik tersendiri, yaitu negeri yang dipimpin oleh seorang penguasa yang ramah, arif, bijaksana dan penuh kekeluargaan. Negeri ini menganggap bahwa penguasa adalah seorang kepala keluarga, yang membesarkan, memelihara dan menyejahterakan keluarganya, dalam hal ini rakyatnya. Pemimpin ini lebih mementingkan kepentingan rakyatnya dari pada kepentingannya sendiri.

Dalam pemerintahannya penguasa tersebut sangat menghargai fatwa para tua-tua, dan selalu bermusyawarah untuk mufakat. Kebijakan-kebijakan yang penuh kekeluargaan sangat berkesan di hati rakyat sehingga kesan-kesan dalam pembangunan negeri ini selalu dikenang sepanjang masa. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter ini wajar jika dianugerahkan pulanga sebagai ”Ta’uwa Lo Hunggiya”.

4) Ta’uwa Lo Lingguwa
          Lingguwa dalam konteks ini dimaknai sebagai negeri yang kuat, tahan lama dan awet. Peristilahan lingguwa diambil dari nama sejenis kayu kelas satu yang sangat kuat. Biasanya dipakai sebagai tiang atau pasak utama pada bangunan-bangunan di Gorontalo.

Gelar Ta’uwa lo Lingguwa disematkan kepada seorang pemimpin yang kuat karena wawasannya yang luas, arif karena ilmu yang dimilikinya, tegas dalam tindakan dan konsekuen dengan apa yang menjadi keputusan. Dicintai rakyat karena ketegarannya dalam membela hak rakyat. Kepeduliannya akan umat sangat tinggi, bukan saja di dalam negerinya tetapi di negeri-negeri sekitarnya.

Pembangunan fisik bagi pemimpin ini soal kedua, tetapi pembangunan moral menjadi keutamaan. Sifat keterbukaan membuat penguasa ini tahan kritikan dan hujatan.

5) Ta’uwa Lo Daata
 Daata berarti banyak. Negeri ini banyak kegiatan yang tercipta, baik untuk meramaikan negeri, maupun pembangunan yang bermamfaat untuk masyarakat. Oleh sebab itu penguasa negeri ini banyak jabatan yang di pegangnya, demi untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan lainnya adalah keberanian dan kemampuannya membuat terobosan baru, yang dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan masa yang akan datang. Teguh pendirian, kepedulian akan peningkatan sumber daya manusia menjadi patokan perencanaannya. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter seperti ini wajar di anugerahkan gelar ”Ta’uwa Lo Daata”.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Monday, December 2, 2024

Benteng Oranje

Tulisan Rosyid A Azhar.

Setelah VOC mengambil alih kerajaan Gorontalo dari Ternate pada tahun 1681, Benteng Leiden untuk sementara menjadi satu-satunya bangunan pertahanan batu yang mengawasi perairan yang luas dan sulit dikendalikan di sekitar Sulawesi Utara. 
Benteng ini dibangun di atas fondasi bekas benteng Portugis Ota, benteng yang awalnya dibangun pada tahun 1527 dan baru digunakan beberapa tahun pada masa Portugal mencoba menguasai wilayah tersebut. 
Selain Benteng Leiden, VOC memiliki beberapa pos kecil yang terbuat dari kayu dan tanah dengan jumlah staf yang minim. Baru pada tahun 1764 dibangun benteng batu Nassauw di Gorontalo yang kemudian menjadi pusat kegiatan perusahaan.
Pada tahun 1766, Benteng Leiden diperluas dan direnovasi serta sebuah menara pengawas dibangun di atas bukit tersebut, dan baru pada saat itulah benteng tersebut mendapatkan namanya. Benteng berbentuk persegi panjang ini memiliki dua bastion berbentuk bulat. 
Dari jumlah tersebut, hanya benteng tenggara yang masih ada. Tidak diketahui seperti apa bentuk asli benteng tersebut, tetapi rencana dengan benteng bundar mungkin berasal dari zaman Portugis. Dindingnya setinggi 2-3,5 m dan tebal satu meter. 
Benteng ini merupakan tempat kedudukan sub-pedagang dan garnisun kecil. 
Benteng Leiden ditinggalkan oleh Belanda pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1818 benteng ini ditempati kembali oleh seorang sersan dan 12 tentara. 
Benteng Leiden dibubarkan pada tahun 1832 karena garnisunnya dipindahkan ke Soelamatta untuk mengawasi pasokan emas kepada pemerintah.
Benteng yang dipugar sekarang menjadi objek wisata.  Nama saat ini, Benteng Oranje, tidak dapat ditelusuri kembali ke zaman VOC.

Tuesday, November 26, 2024

Laporan Pertanian di Gorontalo tahun 1871

Tulisan dari Rosyid A Azhar

Setelah tinggal selama dua tahun di wilayah asisten residen Gorontalo, Robert Wolter Baron Van Hoevel sudah mampu mengenali kondisi masyarakat dan daerah, termasuk kemampuan mereka di daerah yang padat maupun kurang penduduk.
RW. Baron van Hoevell membuat catatan produk pertanian penting yang dikembangkan di Gorontalo, juga budidaya pertanian baru yang dianggap memiliki prosptektif di masa depan.
Namun kondisi sejumlah daerah di Gorontalo saat itu tidak sepenuh dapat dikontrol oleh pememrintah Hindia Belanda meskipun ada pemerintahan di bawahnya di wilayah Gorontalo, Paguat, Bone, Kwandang dan Limboto, banyak daerah-daerah yang berdiri sendiri dan saling bergesekan satu sama lain. Tidak ada jaminan kepemilikan hak, karena antardaerah terjadi perselisihan. Para pemimpin daerah ini juga menentang upaya pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kebijakan industri di daerahnya. Para pedagang lokal juga hanya sampai di daerah pesisir untuk melakukan transaksi.
Produk pertanian tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat,  lahan pertanian banyak terdapat tanah keras dan sulit ditanami. Pada daerah ketinggian lapisan tanah atas (top soil) sangat tipis, tidak bisa ditanami tamaman yang memiliki akar dalam. Batu kapur adalah pemandanagn yang biasa. Banyak orang mengira di bagian pegunungan lebih subur, bamun faktanya sebaliknya.
Pengairan pertanian menggunakan sungai alam, hanya ada sungai yang layak dilayari dengan perahu kecil di bagian muara.
Produk pertanian adalah beras, namun komodfitas ini tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat. Demikian juga dengan produksi jagung. Bulir beras Gorontalo sangat kecil, kadar kapurnya tinggi, nilai gizinya rendah. Jika gabah sudah dikupas menjadi beras, maka daya simpannya pun sangat pendek.
Upaya pemerintah hindia belanda untuk mendatangkan benih padi dari daerah lain banyak dilakulkan, namun  hasilnya tetap saja tidak sesuai harapan. Unsur hara tanah memang sangat minim, meskipun dilakukan pembajakan sawah berulang kali.
Padi yang ditanam di daerah yang memiliki ketersediana iar berlimpah diharapkan dapat memberi hasil panen yang berlimpah. Benih yang berulang ditanam juga diharapkan akan menghasilkan tanaman yang benih yang adaptif.
Setiap tahun banyak ladang yang menganggur, lahan ini tidak dibajak. Dalam beberapa bulan terakhir pemerintah hindia belanda mencatat harag beras berada pada ksaran 6-8 gulden  
Dalam beberapa bulan terakhir harga beras di Gorontalo seringkali berada di antara 6-8  gulden per pikol, namun ketersediaannya sangat langka.
Hampir tidak ada dataran tinggi di wilayay asisten residen Gorontalo, ini berarti bukan daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman kopi. Kenyataannya tanaman kopi tidak menghasilkan buah yang maksimal meskipun ada beberapa yang tumbuh baik, naun secara umum produktifitasnya rendah. Pemerintah Hindia Belanda sudah mencoba menanam kopi di daerah ketinggian namun hasiolnya tetao saja tidak sesuai harapan.
Tidak berhasilnya komoditas ini sangat mungkin akibat tipisnya top soil dan rendahnya unsur hara. Kopi yang ditanam di sekitar atau permukiman warga yang sering dipupuk menghasilkan buah yang banyak.
Di komoditas lain, budidaya kapan juga tidak maksimal, bahkan produk kapas tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Gorontalo.
Mengumpulkan produk kapas masyarakat sudah tidak bisa dilakukan, kecuali pememrintah membujuk masyarakat untuk membangun perkebunan kapas dalam jumlah besar yang dapat menjamin pasokan secara teratur maka komoditas ini sangat mungkin untuk dikembangkan karena memiliki potensi keberhasilan yang besar.
Optimistis ini m,uncul karena kondisi tanah Gorontalo cocok ditanami pohon kapas yang merupakan tanaman semak atau perdu. Jika pun tanaman iuni berhasil tumbuh dan berproduksi, namun hasilnya tidak mampu bersaing dengan kamoditas serupa dari daerah lain.
Menurut pendapat para ahli kapas Gorontalo berserat pendek dan dari segi nilai dan harga sangat mirip dengan kapas dari pulau Bali. Kapas mentah diperdagangkan di kalangan penduduk asli dengan harga ƒ 0,065 hingga ƒ 0,075 katti, namun, sebagaimana disebutkan di atas, jarang atau tidak pernah tersedia dalam jumlah yang besar. Sayangnya para pedagang arab dan cina tidak tertarik dengan komoditas ini.
Tembakau banyak dibicarakan orang dalam dunia perdagangan, sebagian orang membayangkan sebagai gunung emas. Tembakau ini adalah tembakau Gorontalo yang berbeeda vaietas dengan tembakau yang ditanam di kelokan daratan teluk Tomini misalnya tembakau Tinombo. Faktanya tidak ada perkebunan tembakau yang dikelola secara baik dalam jumlah yang besar. Produksinya selalu berada jauh di bawah kebutuhan, sementara pasokan dari luar daerah berupa tembakau siap pakai, yang berasal dari Tinombo.
Di wilayah Kwandang yang menjadi bagian dari wilayah kerajan Atinggola, ribuan tanaman tembakau dibudidayakan setiap tahunnya. Sebagian tanaman diolah secara tradisional, sebagian dijadikan komoditas di daerah pesisir di pantai utara. Sayangnya penanaman dan perdagangan tersebut terlalu kecil dan tidak teratur untuk dijadikan dasar penghitungan.
Percobaan penanaman komoditas ini sempat dilakukan satu kali di Gorontalo untuk pasar Eropa, namun hasil yang diperoleh pada saat itu tampaknya tidak mendorong pengulangan kualitas tembakau yang diperoleh pada saat itu,  ditanam dan diolah di bawah pengawasan seorang ahli dari Eropa pada lahan hutan yang baru dibuka, cukup baik, produk yang diperoleh tidak berhasil.
Varietas tyembakau juga didatangkan dari daerah lain di Hindia Belanda. Sejumlah kecil cerutu dibuat dari tembakau Gorontalo, dibuat dari beberapa daun tanaman pilihan, ditanam atas desakan para pejabat Eropa dan pribumi di tempat-tempat kecil yang subur.
Asisten Residen membuat regulasi penanaman tembakau yang belum banyak diketahui oleh penduduk Gorontalo. Warga dipaksa meninggalkan tanaman yan biasa mereka budidayakan dan beralih ke tembakau,  regulasi ini berhasil memaksa sepertiga penduduk untuk menanam tembakau. Paksaan ini diprediksi mampu menghasilkan 6600 pikol tembakau.
Perhitungan pemerintah menyatakan 3.300 dari 10.000 keluarga masing-masing menanam 3000 tanaman tembakau sesuai standar eropa. Program ini  dibebankan kepada raja dan penyelenggara peemrintahan di bawahnya. Pememrintah Hindia Belanda hanya bertugas melakukan pengawasan umum atas jalannya program ini sebagaimana telah diatur dalam berbagai kontrak lama.
Ia menilai orang Gorontalo lebih berbakat sebagai pedagang adri pada sebagai petani. Namun jika sebagai pedagang mereka kekuranagn modal, namun juga tidak cocok sebagai petani karena mereka tidak terbiasa dengan pekerjaan tetap. Tubuh petani umumnya yang lemah, kualitas makanan tidak memadai membuatnya tidak mampu melakukan aktivitas yang signifikan.
Praktik di bidang pertanian dilakukan dengan cara yang paling primitif, karena semua peralatan pertanian yang penting masih kurang dan dtidakntahu harus bagaiamana, sebagai akibat dari cara hidup nomaden yang dianut selama ini. (R., 20 Juli 1871)

Sumber Tijdschrift voor nederlandsch indië van D W.R. Baron van Hoevell, voortgezet door eene vereeniging van staatslieden en geletterden.
Derde Serie.
5de jaargang
tweede deel
Te Zalt-bommel, bij Joh. Noman en Zoon, 1871.

Friday, October 18, 2024

Catatan Singkat Batudaa tempo dulu

Menurut cerita dari masyarakat setempat. Kata Batudaa atau Botudaa berasal dari kata " Botu" dan " Daa" artinya batu besar, ada yang mengaitkan batu besar dengan keberadaan seorang Aulia bernama Tane Mela yang berada di desa Payunga.

Batudaa masuk dalam wilayah Kerajaan Limboto, bahkan pernah menjadi lokasi ibukota kerajaan, diantaranya di bubohu. Catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1871-1873 pernah terjadi perang yang dikenal Perang Panipi, dipimpin oleh Pangeran Bobihu melawan pemerintah Hindia Belanda. Panipi adalah kerajaan kecil yang masuk wilayah Distrik Batudaa.

Saat wilayah Gorontalo tidak ada lagi sistim kerajaan dan digantikan pemerintahan
 langsung oleh Kolonial Belanda maka pada tahun 1889 Distrik Batudaa dibawah Afdeeling Gorontalo. Kemudian tahun 1925 Wilayah Administrasi Batudaa berubah menjadi Onder Distrik Batudaa berada dibawah Distrik Limboto. Dalam perkembangan selanjutnya Batudaa termasuk salah satu kecamatan saat terbentuknya Kabupaten Gorontalo tahun 1960. Sekarang Kecamatan Batudaa telah dimekarkan menjadi Kecamatan Batudaa, Bongomeme,Batudaa Pantai, Biluhu, Tabongo dan Dungaliyo

Nama Marsaoleh Batudaa jaman Hindia Belanda
Molangga Kaluku 1870
Mahamud (Mahmud Assegaf) 1885
Achmadi Adam 1889
Uno Van Gobel 1898
Hipi 1907
Mahmud Hipi 1940

Saturday, January 20, 2024

Kisah Mopangga, Ta To Amarale

Dahulu kala di Gorontalo, ada seorang bangsawan yang diangkat menjadi patih/jegugu bernama Mopangga. Lantas hingga saat ini turun temurunnya sdh menggunakan namanya itu sebagai nama marga. Lanjut kisah ini, ada pula salah seorang saudaranya dinobatkan menjadi Sultan atau raja yang memimpin di kesultanan Limboto. Kini nama bawaan lahir sang sultan pun sudah digunakan menjadi nama belakang atau disebut sebagai nama marga.
Setelah menjabat sebagi jegugu, Mopangga banyak menghabiskan masa-masa kehidupannya di dalam sebuah pemerintahan untuk membangun Paguato dan sekitarnya (Termasuk Tilamuta skrg). Semasa pemerintahannya yang notabene masih dlm kategori zaman kekunoan, Jegugu Mopangga sempat memperoleh gelar dari pengurus besar kaula adat dan juga pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Hal itu dianugerahkan kepadanya oleh karena beliau dianggap pemimpin yang sukses di dalam karir politiknya. Yaitu turut mendampingi Sultan Limboto bernama Naki untuk mengantarkan Tilamuta menjadi pusat pemerintahan baru, sekaligus melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah kesultanan Limboto. Sebelum mangkat, beliau memperoleh sebuah cinci berwarna hijau sebagai tanda jasa. Oleh sebab itu pada saat pesta penganugerahan gelar adat (Pulanga) pada dirinya, Mopangga diberi gelar "Tato Amarale". Arti kiasannya ialah, Pemimpin yang diberi tanda berpermata Emeral, atas jasa jasanya ketika berkuasa ia mampu membawa rakyatnya selalu hidup dalam kedamaian.


Sumber ceritera:
1. Disertasi Prof. DR, Samin Radjik Nur, SH.
2. Manuskrip keturunan keluarga kerajaan Bulango.
3.Postingan Maman Ntoma