Ada lima jenis penyebutan untuk gelar Ta’uwa, yaitu Ta’uwa Lo Madala, Ta’uwa Lo Lahuwa, Ta’uwa Lo Hunggiya, Ta’uwa Lo Lingguwa dan Ta’uwa Lo Daata. Kelimanya dapat pula disebut sebagai Ta’uwa Lo Lipu (Sang Khalifah Negeri). Lima macam penyebutan gelar tersebut sama sekali tidak membedakan status sang ta’uwa. Perbedaan itu hanya pada nama belaka.
1) Ta’uwa Lo Madala
Madala bermakna negeri yang indah, dimana pemimpinnya adalah penguasa yang bukan mencari kenikmatan dunia. Seluruh pemikirannya adalah bagaimana menjadikan negeri ini dapat memberikan kesejukan hidup; para petani dan nelayan, para buruh dan pekerja hidup dalam kesederhanaan, kemiskinan dapat diatasi dengan pajak negeri itu sendiri. Penguasa lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya sendiri.
Indah bukan berarti negeri ini penuh dengan kemewahan, tetapi indah karena keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Penguasa adalah panutan karena agamawan, pemerintah senantiasa berkiprah pada tiga jalur tali keadaban, yaitu Buwatulo Totolu atau Buwatulo Towulongo, sehingga moralitas masyarakat terkontrol dan terkendali.
Pemimpin yang berhasil dan memiliki karakter atau sikap bukan untuk mencari kenikmatan dunia inilah yang patut dianugerahi gelar sebagai Ta’uwa Lo Madala.
2) Ta’uwa Lo Lahuwa
Lahuwa adalah negeri yang memiliki kewibawaan. Kewibawaan ini adalah berkat kepemimpinan seorang penguasa yang bertindak arif dan tegas, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, baik dari tingkat yang lebih atas, maupun aturan-aturan yang dibuat oleh negerinya sendiri.
Bahkan ia tak segan-segan menerapkan hukum Allah, jika aturan yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Ketaatan tentang hukum ini, membuat masyarakat tenang, dan takut membuat pelanggaran. Kepemimpinan penguasa ini wajar jika dianugerahkan sebagai ”Ta’uwa Lo Lahuwa”.
3) Ta’uwa Lo Hunggiya
Hunggiya adalah negeri yang memiliki daya tarik tersendiri, yaitu negeri yang dipimpin oleh seorang penguasa yang ramah, arif, bijaksana dan penuh kekeluargaan. Negeri ini menganggap bahwa penguasa adalah seorang kepala keluarga, yang membesarkan, memelihara dan menyejahterakan keluarganya, dalam hal ini rakyatnya. Pemimpin ini lebih mementingkan kepentingan rakyatnya dari pada kepentingannya sendiri.
Dalam pemerintahannya penguasa tersebut sangat menghargai fatwa para tua-tua, dan selalu bermusyawarah untuk mufakat. Kebijakan-kebijakan yang penuh kekeluargaan sangat berkesan di hati rakyat sehingga kesan-kesan dalam pembangunan negeri ini selalu dikenang sepanjang masa. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter ini wajar jika dianugerahkan pulanga sebagai ”Ta’uwa Lo Hunggiya”.
4) Ta’uwa Lo Lingguwa
Lingguwa dalam konteks ini dimaknai sebagai negeri yang kuat, tahan lama dan awet. Peristilahan lingguwa diambil dari nama sejenis kayu kelas satu yang sangat kuat. Biasanya dipakai sebagai tiang atau pasak utama pada bangunan-bangunan di Gorontalo.
Gelar Ta’uwa lo Lingguwa disematkan kepada seorang pemimpin yang kuat karena wawasannya yang luas, arif karena ilmu yang dimilikinya, tegas dalam tindakan dan konsekuen dengan apa yang menjadi keputusan. Dicintai rakyat karena ketegarannya dalam membela hak rakyat. Kepeduliannya akan umat sangat tinggi, bukan saja di dalam negerinya tetapi di negeri-negeri sekitarnya.
Pembangunan fisik bagi pemimpin ini soal kedua, tetapi pembangunan moral menjadi keutamaan. Sifat keterbukaan membuat penguasa ini tahan kritikan dan hujatan.
5) Ta’uwa Lo Daata
Daata berarti banyak. Negeri ini banyak kegiatan yang tercipta, baik untuk meramaikan negeri, maupun pembangunan yang bermamfaat untuk masyarakat. Oleh sebab itu penguasa negeri ini banyak jabatan yang di pegangnya, demi untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan lainnya adalah keberanian dan kemampuannya membuat terobosan baru, yang dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan masa yang akan datang. Teguh pendirian, kepedulian akan peningkatan sumber daya manusia menjadi patokan perencanaannya. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter seperti ini wajar di anugerahkan gelar ”Ta’uwa Lo Daata”.
(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)