„Adati hula-hula‘a to syara‘a, syara‘a hula-hulaa to kurani.“ — Uduwo limo Pohala‘a(Adatrecht), Cornelis van Vollenhoven(1874-1933).
Sebagai pengantar untuk riset lapangan bersama BRIN Jakarta, IAIN Manado dan Yayasan Serat Manado, "Mobilitas Budaya: Perilaku dan Bahasa Indigenous People Polahi dalam Pemutakhiran dan Penyusunan Sinkoronisasi Diakronisasi Gramatikal Gorontalo-Arab"(2025-2026), beberapa kaidah peta dan kode budaya akan mengawali deskripsi riset ini.
Selama lebih dari dua hari berada di Gorontalo, khusus Kabupaten Bone Bolango dan Limboto, Boalemo, kami telah menemukan risalah, data dan wawancara lapangan, keberadaan indigenous people Polahi— dari kata dasar Melayu, lari(tulemeteo) — dapat diasumsikan sebagai proto-linguistik asli Gorontalo.
Data awal kajian ilmiah resmi dari masyarakat adat Polahi di Gorontalo memiliki warisan budaya yang kaya dan unik, yang tercermin dalam bahasa, tradisi, dan praktik sosial mereka(Lihat, S.R. Nur, 1976).
Menurut pendekatan antropologi linguistik struktural, indigenous Polahi dapat dipahami sebagai sebuah komunitas yang memiliki identitas linguistik dan budaya yang kuat serta memiliki pengaruh dari ketika Islam vis-vis bahasa Arab masuk dan memengaruhi hampir semua facet budaya orang Gorontalo umumnya(Lihat Mansur Pateda, 1998; A. Hermana Wriaputra,1995).
Salah satu aspek metodelogi dalam kajian mobilitas budaya(Lihat Stephen Greenblatt, Cultural Mobility: A Manifesto, 2009) merupakan fondasi paling otentik yang diekspresikan melalui perkembangan bahasa.
Selain itu, bahasa sebagai produk pikiran primitif merupakan salah satu aspek penting dalam memahami budaya suatu masyarakat dalam membentuk struktur, simbol, peta dan kode budaya mereka[1].
Bahasa Polahi merupakan salah satu bahasa daerah di Gorontalo yang memiliki karakteristik unik dan berbeda dengan bahasa lainnya.
Bahkan secara gramatikal, konsep bahasa Polahi memiliki relasi rangkap, diakronik dan sinkronik, dalam bahasa lainnya, Arab sebagai bahasa serapan.
Bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya dan keunikan masyarakat Polahi dan mereprokduksi tiga aspek budaya: artifak, sosiofak dan mentifak.
Melalui pendekatan antropologi linguistik strukturam Levi-Strauss ditekankan pentingnya struktur sosial dalam memahami budaya suatu masyarakat yang mencakup aspek struktur kinship(kekerabatan), organisasi sosial, mite, dukun, sihir dan kesenian([2].
Sekalipun masyarajat Polahi memiliki struktur sosial yang kompleks, dengan sistem kekerabatan dan hierarki sosial yang jelas, pola mitos(mite), religi, totem, tabu, sihir dan pedukunan masih mewarnai persepsi masyarakat pada mereka.
Praktik budaya seperti upacara adat, ritual, dan tradisi lisan juga merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Pohali.
Masyarakat Polahi memiliki hak-hak adat yang terkait dengan tanah, sumber daya alam, dan kebudayaan.
Hak-hak adat ini merupakan bagian penting dari identitas dan keberlangsungan masyarakat Pohali.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dan menghormati hak-hak adat masyarakat Polahi dalam konteks pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.
Polahi merupakan masyarakat adat yang memiliki warisan budaya dan identitas linguistik yang kaya dan unik.
Dari perspektif antropologi linguistik[3], indigenous people Polahi dapat dipahami sebagai sebuah komunitas yang memiliki identitas linguistik dan budaya yang kuat dan ditandai pengaruh bahasa Arab(Islam).
Di antara pengaruh itu,khusus sebagai praktek religi, kata serapan seperti dikili, meraji dan sahaya, moivadi, samadi.,
ahmadi, sidiki dan silula masi merupakan tradisi dan budaya yang membentuk pola komunikasi dan kode budaya mereka(Lihat Daniel Coyle, The Culture Code: The Secrets of Highly Successful Groups,2019).
Oleh karena itu, deskripsi riset lapangan awal ini, penting untuk memahami, mendalami dan menghormati hak-hak adat dan keberagaman budaya masyarakat Pohali dalam konteks pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang Pemajuan Kebudayaan(No.5 Tahun 2017). Omni Cultura ex Cultura.
Rujukan:
[1] Boas, F. (1911). The Mind of Primitive Man. New York: Macmillan.
[2] Levi-Strauss, C. (1963). Structural Anthropology. New York: Basic Books.
[3] Abdullah, T. (2017). Antropologi Linguistik: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
No comments:
Post a Comment