Saturday, December 2, 2023

Tokoh Perempuan di Gorontalo

HASANAH DILATO (1907-1972)

Hasanah Dilato merupakan generasi awal bidan di Gorontalo. Perempuan kelahiran Mongolato 5 Oktober 1907 ini menempuh pendidikan kebidanan di Sekolah Bidan Kemuliaan Jakarta. Sekolah ini didirikan seiring dengan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) pada tahun 1935-1938.

Selepas pendidikan, Hasanah Dilato kembali ke Gorontalo dan merintis pendirian Rumah Bersalin di Talaga yang dinamai BUDI yang merupakan singkatan dari Badan Usaha Dari Indonesia. Seiring meningkatnya angka kematian ibu bersalin dan angka kematian anak di Gorontalo, maka Hasanah Dilato diberikan kepercayaan untuk memimpin Balai Kesejahteraan Ibu Dan Anak (BKIA) Gorontalo.

Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak di Gorontalo, maka bersama dr.Lim Keng Hong seorang kinder art, Hasanah Dilato membuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini diikuti oleh lulusan SMP dengan tambahan dua tahun pendidikan kebidanan dasar. Sebagian besar lulusan PK/E melanjutkan pendidikan kebidanan selama dua tahun lagi. 

Hasanah Dilato wafat pada 22 Juli 1972. Almarhumah telah meletakkan dasar-dasar bagi profesi bidan dan pelayanan kebidanan di Gorontalo.

MARIE LAMADLAUW
(1908-1988)

Tokoh perempuan kelahiran Gorontalo tahun 1908 ini semasa hidupnya berkiprah di sektor pendidikan sebagai guru dan kepala sekolah putri Gorontalo. 

Saat Muhammadiyah Gorontalo pada tahun 1930 mendirikan Aisyiyah sebagai salah satu organisasi otonom bagi kaum perempuan Muhammadiyah, maka Marie Lamadlauw terpilih sebagai Ketuanya.

Bersama adiknya Helena Lamadlauw dan sejumlah tokoh perempuan Gorontalo, Marie Lamadlauw memperjuangkan pembangunan sebuah balai pertemuan sebagai sarana berkumpulnya kaum perempuan Gorontalo.

Pada tahun 1950, Marie Lamadlauw memimpin delegasi perempuan se pulau Sulawesi untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Pada kesempatan itu beliau membawakan cendera mata kain karawo untuk Presiden Soekarno.

Beliau wafat di Gorontalo pada tahun 1988 dan dimakamkan di pekuburan keluarga Bakia, Heledulaa Kota Gorontalo.

Prof. MINTJE KASIM

Bersama suaminya Prof Thahir Musa ikut andil berdirinya perguruan tinggi di Gorontalo, diantaranya IKIP Manado cabang Gorontalo yang sekarang menjadi Universitas Negeri Gorontalo. Tahun 1990 MINTJE KASIM diangkat menjadi Guru Besar pendidikan bahasa. Bersama suaminya ikut pula mendirikan Rumah Sakit Islam Gorontalo dan juga melibatkan diri berdirinya Rumah Sakit Siti Khadijah. Sepanjang kariernya beliau pernah sebagai anggota DPRD kota Gorontalo.

No comments:

Post a Comment