Pada abad 10 masehi, pemandangan di sepanjang pesisir pantai Teluk Tomini masih sangat sunyi. Kondisi wilayah disekitarnya pun merupakan kawasan yang amat banyak ditumbuhi semak dan belukar. Sumber sejarah menyebut seluruh area pantai belum pernah dihuni oleh penduduk secara tetap, melainkan ada beberapa kelompok nomaden. Mereka adalah pejalan kaki yang masuk sebagai pendatang dan senantiasa berpindah pindah tempat. Salah satu kebiasaan mereka adalah bermukim di pinggir kawasan hutan dan berlangsung hingga abad 12. Selain pesisir pantai daratan lainnya pun masih bersemak dan berhutan sangat lebat. Sehingga itu sulit bagi pendatang untuk melakukan aktivitas perburuan hewan rimba.
Dua abad kemudian yaitu pada tahun 1380 masehi, sebahagian kecil pesisir pantai digunakan sebagai tempat persinggahan. Selain itu sering pula dikunjungi oleh para petualangan di laut yang senantiasa berlalu lalang. Pada waktu yang sama pedagang rempah-rempah melakukan aktivitas pelayanan, mereka hendak melintas di perairan Sulawesi menuju kepulauan Maluku. Demikian juga halnya orang-orang Goa ada kalanya simpang siur berkeliaran di teluk Tomini.
Berdasarkan arsip kerajaan Belanda, pada sebuah dokumen formal yang ditulis oleh seorang penginjil bernama J.F Riedel, merilis laporannya tentang keadaan masa silam di wilayah itu. Tercatat bahwa hingga abad ke-10 wilayah tersebut sama sekali belum dihuni oleh manusia. Sementara dalam catatan Tome Pires ada beberapa bangsa yang sudah maju di bidang teknologi perkapalan dan pelayaran, sudah pernah mengunjungi beberapa tempat di pulau Sulawesi. Antara lain semenanjung utara pulau Sulawesi dan di pantai selatan Pulau Sulawesi. Mereka tak luput dalam mencatat seluruh aktivitas yang terdapat di wilayah wilayah pemukiman dan kerajaan yang dijumpainya.
Setelah kedatangan mereka, perlahan lahan dilakukan persuasi kepada masyarakat dan berusaha mendekati petinggi kerajaan dengan maksud untuk mempererat hubungan mereka. Umpamanya mengadakan perjanjian kerjasama dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di perairan teluk. Hubungan bilateral itu dibangun dengan tujuan agar dapat melakukan kegiatan perdagangan dengan lancar secara bersama.
Sehingga itu banyak ditemukan artefak bernilai sejarah dan ditandai dengan adanya sisa sisa peninggalan pemerintah kolonial. Misalnya meriam Portugis dan puing puing kapal laut bangsa Punisia yang hanyut dan karam di sekitar Selat Selayar karena derasnya arus perairan. Artefak artefak itu ditandai dengan simbol simbol kolonial dan kepemilikannya identik dari hasil produk kebudayaan bangsa imperialis, yang pernah datang pada masa lampau. Mereka adalah Bangsa Punisia, Bangsa Portugis dan Spanyol.
Ketiga bangsa itu sudah lama mengenal teknologi navigasi dan mempunyai kultur di bidang maritim. Mereka memiliki banyak armada serta pelaut pelaut yang ulung dan tangguh, terutamanya bangsa Punisia atau disebut Cartago. Sebelum kedatangannya, mereka pernah terdesak dalam situasi pertempuran dan terpaksa melarikan diri saat mengalami kekalahan dari kekaisaran Romawi pada perang punik III. Takluknya bangsa Punisia mengakibatkan kerusakan di ibu kotanya dsb. Selain menghancurkan infrastruktur tentara kekaisaran Romawi menangkap penduduknya kemudian dijual untuk tujuan perbudakan. Sebahagian kecil saja diantara mereka lolos melarikan diri, kemudian berpencar pencar mencari suatu negeri yang dapat memberikan suaka.
Adapun petualangan yang diperhadapkan pasca kehancuran bangsanya memakan waktu hingga beratus ratus tahun. Dan bermodalkan perahu perahu besar, sebagian dari mereka masih bertahan hidup di laut kemudian mencoba melakukan perniagaan hingga menjadi saudagar. Oleh sebab itu ada salah satu dari mereka yang terdampar di wilayah perairan nusantara yakni di pantai Bira tepatnya di Selat Selayar. Kemudian mereka memperkenalkan kepada nenek moyang kita (penduduk setempat) budaya dan kebudayaan laut. Demikian hal itu terjadi dan selalu dikenang oleh masyarakat tradisional di daerah daerah Sulawesi Selatan. Disisi kenyataannya, adalah karena orang Punisialah yang terlebih dahulu hadir dalam babad pelayaran bagi Suku Bugis-Makassar. Sehingga penduduk setempat tidak pernah melupakannya. Kedatangan pelaut Punisia banyak menciptakan perubahan terhadap pribumi, antara lain memperkenalkan budaya bahari serta mengajarkan ilmu perbintangan kepada nenek moyang kita. Kesinambungan aktivitas itu juga menjadi harapan agar mereka dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Kemudian pada abad berikutnya masuk pula bangsa Portugis dan Spanyol pada tahun 1512 dan diikuti oleh bangsa Belanda pada tanggal 22 Juni tahun 1596. Pada waktu itu delegasi pelayaran kerajaan Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan untuk pertama kalinya berlabuh di Pelabuhan Banten.
Tenggat waktu yang cukup lama setelah bangsa Punisia masuk melalui selat selayar, maka secara perlahan mereka saling beradaptasi dengan penduduk setempat. Tetapi untuk memperkenalkan kebudayaan maritim kepada penduduk agraris di Pulau Sulawesi, sedikitnya dapat dikatakan mengalami hambatan. Kendala yang utama adalah karena nenek moyang kita tidak terbiasa dengan kehidupan di laut. Dalam hal ini suku Bugis-Makassar, belum mau menerima secara keseluruhan transformasi ilmu pengetahuan tentang budaya dan kebudayaan bahari. Namun lambat laun saat mereka saling berinteraksi sosial, pada akhirnya nenek moyang kita berbaur juga lalu memperoleh berbagai pengalaman dan duplikat pengetahuan navigasi serta keterampilan membuat perahu. Berdasarkan pengetahuan itulah sehingga mereka memulai suatu usaha berlayar sampai kemana mana. Karena mereka sudah menguasai ilmu perbintangan yang diperoleh dan diajarkan oleh bangsa Punisia. Dengan demikian perahu berukuran besar yang secara keseluruhan metodenya maupun teknik pembuatannya telah diwarisi dari orang Punisia. Lantas secara teknis tidak banyak mengalami perubahan konstruksi. Sehingga itu perahu perahu yang diproduksi nenek moyang suku Bugis-Makassar diberinama "Pinisi".
Peran Teknologi Maritim & Pinisi Terhadap Kelahiran Gorontalo.
Mengawali penerapan kultur bahari, pertama tama nenek moyang suku Bugis berlayar menyusuri pantai guna mencari dataran yang luas. Yakni tempat tempat yang subur untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Oleh sebab itu kebanyakan diantara mereka terpencar pencar membentuk komunitas petani dan koloni koloni nelayan dipesisir pantai yang terdapat hasil laut seperti ikan, cumi cumi dsb. Lain dari itu sebagiannya menjadi pemburu pemburu binatang di hutan. Hal itu dilakukan secara rutin untuk memenuhi keperluan pangan yang sedemikian krusial mereka butuhkan. Begitu juga halnya kebutuhan lain yang mendasar bagi perspektif kehidupan mereka, sebagaimana kebiasaan nenek moyang suku bugis, intens bertahan di wilayah temuannya dan mulai membangun perkampungan baru. Maka pada waktu itu, tolok ukur dari usaha perkembangan suatu komunitas masyarakat kepurbaan di Sulawesi, cenderung hanya terfokus pada satu kegiatan yang senantiasa konsideran dengan keterampilan melaut dan paling diminati. Meski keterampilan teknologi perkapalan saat itu masih manual. Akan tetapi manakala kondisi zaman pada saat itu kebudayaan bahari mulai berkembang pesat, sehingganya sewaktu waktu kapal pinisi banyak digunakan untuk melaksanakan bermacam macam aktivitas, termasuk upaya untuk memperluas wilayah wilayah temuan maupun kekuasaan. Mulai dari penaklukkan yang tersistem dengan konsep "Kase'-Pase'-Lase''' (Kekayaan,Legitimasi,Diaspora) kewilayah wilayah kerajaan kecil yang terdapat di pulau pulau terpencil. Hal itu disebabkan oleh karena memperhatikan keadaan bahwa, satu satunya kerajaan di tanah bugis dan cepat berkembang ialah kerajaan Ware' atau Wara'. Lantas, perspektif perkembangan selanjutnya di kemudian hari, otoritas kerajaan itu berganti nama dan sistem pemerintahannya pun berubah menjadi kedatuan. Status kedatuan itu derajatnya setingkat dengan kerajaan kerajaan besar yang pernah ada di nusantara seperti kerajaan Singosari/Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Pola pemerintannya menganut sistem monarki absolut, dipimpin oleh garis keturunan yang berasal dari keluarga bangsawan secara turun temurun yang disebut "Datu". Awal munculnya nama datu itu mendapat pengakuan secara formal dan alami, sezaman dengan masuknya islam di tanah bugis yang disebarkan oleh orang orang melayu kuno. Tetapi hal itu berimplikasi dalam waktu lama dan terealisasi dengan utuh dikemudian hari berkisar pada abad 15 masehi.
Bermula pada abad ke-9 kerajaan Ware' atau disebut kerajaan Luwu Purba yang berpusat di dataran rendah bertempat di wilayah selatan pegunungan Verbeg, melakukan perluasan wilayah menuju arah utara. Dan bersamaan pada waktunya terjadi peristiwa kelahiran dua orang anak kembar emas, dari seorang rajanya yang bernama Batara Lattu dengan permaisurinya yaitu We Datu Sengeng. Atas kelahiran anak kembar itu mengantarkan Ware' pada suatu perubahan otorita kultural. Sebab kedua anak itu yakni Sawerigading dan We Tenriabeng (Rawe) harus dipisahkan terlebih dahulu dari tanah kelahirannya, terjadi pada tahun 543 hijriah atau kira kira tahun 1106 masehi. Perihal pemisahan anak kembar emas seperti itu menjadi ketentuan menurut adat istiadat dalam kepercayaan orang bugis pada masa purba. Karena mereka masih mempercayai mitos dan saat itu diyakini oleh warga Ware'. Keduanya dipisahkan untuk memenuhi kewajiban ritual, sebagai tulak bala atau tumbal pada peristiwa kelahiran anak kembar emas. Yang mana menurut tradisi kelahiran manusia kembar emas oleh masyarakat Ware' merupakan hal yang disakralkan. Tetapi dalam hal itu, selain tradisi peradatan purba, terjadi pula perbedaan pandangan diantara pihak keluarga kerajaan. Sebahagian dari mereka dililit rasa kekhawatiran atas kehadiran Sawerigading dan kembarannya, bahwasanya bilamana suatu saat mereka telah dewasa akan saling jatuh cinta kepada sesama saudaranya. Adapun situasi seperti itu jika terjadi dalam lingkungan kerajaan merupakan hal tabu bagi sesepuh negeri Ware' dan seluruh rakyatnya.
Secara psikologis memang terjadi konflik dalam keluarga kerajaan, apalagi ketika melihat Rawe pada saat dilahirkan sangat menyolok aura di wajahnya. Terpancar cahaya kecantikannya dan entah harus bagaimana ketentuan dari Sang Pencipta, sebab kedua anak itu ditakdirkan jadi kembar emas. Inilah yang menjadi dalih dan pemicu hingga mau tak mau mereka harus dipisahkan karena tradisi/adat istiadat.
Sang ayah kemudian membawa Sawerigading pergi ke negeri atas. Negeri yang dimaksud adalah menuju ke arah utara melintasi pegunungan verbeg, sebagaimana yang disebut negeri Ware'. Akan tetapi perjalanan itu dilakukan dengan pelayaran melalui jalur laut dan menggunakan perahu pinisi yang terdiri dari kayu walenreng. Mereka berangkat dari Teluk Bone dan melewati Tompotikka, kemudian menyeberangi teluk Tomini hingga menempuh pantai pada sebuah tanjung dan masuk ke muara sungai Bone dan sungai Bolango menuju Padengo-Tamalate. Dan seterusnya mereka memperhatikan kawasan itu laksana menemukan lembah yang subur lalu menamakannya Lipu Remmang Ri Langi. Penamaan wilayah itu oleh karena ditandai dengan banyaknya gumpalan gumpalan kabut dan layak untuk dihuni. Oleh sebab itu dijuluki "Negeri Wa'ding" atau Wadeng karena kesuburan tanahnya, kemudian disitulah Sawerigading hidup hingga remaja. Suatu wilayah tujuan yang kelak akan diberikan kepada Sawerigading untuk dikuasainya, setelah ia tumbuh dewasa dan bakal menjadi pemimpin yang perkasa dan tangguh dalam pengembaraan.
Sawerigading tidak hanya menjadi pewaris pemimpin kerajaan yang diperoleh dari orang tuanya, melainkan ia juga menjadi penakluk beberapa pemimpin kerajaan yang menjadi rival beratnya selama melanglang buana. Dirujuk dalam hikayat Sureq La Galigo, bahwasanya pada suatu saat Batara Guru dan Batara Lattu (Kakek dan Ayah Sawerigading) dipanggil pulang ke negeri asalnya untuk selama lamanya oleh penguasa langit dan bumi (Tuhan YME). Maka sebelum waktu yang sudah ditentukan, Sawerigading datang menemui keluarganya. Lantas, sesampainya di Ware' dan pada saat pandangan pertamanya ketika ia meliha Rawe bersama dengan seluruh keluarganya, Sawerigading jatuh cinta kepadanya. Namun setelah diceritakan bahwa wanita yang dimaksud adalah saudara kembarnya, dan setelah mengetahui hal itu ia sangat kecewa kemudian hendak segera pulang ke Wadeng dan bersumpah tidak akan kembali lagi di tanah kelahirannya. Bahkan kekecewaan itu semakin menumpuk oleh karena tradisi kepemimpinan serba kolot yang diwarisi, tidak sesuai dengan perkembangan bakatnya dan hasratnya sebagai manusia yang lahir dan tumbuh menjadi seorang yang tangguh dan perkasa. Apalagi timbulnya kekecewaan pada diri Sawerigading sehingga tak semata mata hanya ingin pulang ke negeri Wadeng, melainkan ia pergi mengembara puluhan tahun untuk mencari kekasih hatinya yang serupa dengan saudara kembarnya.
Dua puluh tiga tahun kemudian tibalah saatnya peringatan bagi keluarga datu yang pernah disampaikan kepada Rawe, suatu wasiat berupa pesan terakhir dari Batara Lattu kepada anaknya. Yaitu kelak apabila Rawe sudah dewasa hendaknya ia segera mencari negeri tempat dimana saudara kembarnya di buang lantas menemuinya disana. Sebab mengenang peristiwa dahulu salah satu dari mereka harus dibuang, meski istilah dibuang dengan cara seperti itu agar maksud dan tujuannya untuk memisahkan mereka karena suatu alasan berlakunya aturan dalam peradatan kuno. Tapi beberapa saat kemudian setelah Sawerigading dewasa dan menjadi penguasa Wadeng, oleh karena hanya satu satunya ahli waris dalam kepemimpinan saat itu. Namun tetapi setibanya disana, Rawe memperhatikan dan melihat negeri itu sudah kosong sebab Sawerigading telah pergi mengembara dan membawa sebahagian besar pengikutnya hingga sampai di Negeri China.
Karena hal itu sehingga Rawe dilanda kerinduan ingin berjumpa dengan saudara kembarnya, walau berbeda dengan apa yang dialami Sawerigading. Namun seperti juga halnya Rawe, ia merasa kecewa karena tak sempat bertemu dengan saudaranya dan bersumpah pula tidak akan kembali di tanah kelahirannya sebelum menemukan Sawerigading. Tak putus harapan ia bersama pengawalnya menelusuri seluruh pesisir pantai hingga menuju ke arah hulu sungai dekat wilayah pegunungan. Dan akhirnya ia bertemu dengan seorang pemimpin sebuah koloni bernama Wolangodula. Rawe pun kemudian dipersunting menjadi isteri Wolangodula dan dikaruniai seorang anak bernama Bulonggaladaa. Hingga berlanjut merekapun mempersatukan serta mengembangkan koloni itu menjadi sebuah kerajaan kuno nan luas bagi Suku Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo. Sampai pada suatu saat wilayah kekuasaannya disebut kerajaan Hulonthalangi.
Berikutnya, kemudian hari terdengar kabar tentang kepulangan Sawerigading dari pengembaraannya. Lalu sesepuh kerajaan menawarkan untuk singgah dan bertemu dengan penguasa setempat yakni Wolangodula, dalam hal ini pemimpin yang digelar "Opunna Wadeng Remmang Ri Langi", yang sudah menguasai wilayah itu. Dan pada saat perjamuan itu dilaksanakan, Sawerigading akhirnya dapat mengetahui saudara kembarnya sudah menjadi permaisuri pemimpin kerajaan itu. Awalnya, cikal bakal kerajaan tersebut terdiri dari 17 linula kemudian distrukturisasi menjadi 9 linula yang tunduk di bawah perintahnya. Wolangodula menjadi raja penguasa negeri karena ia unggul dari berbagai sudut pandang dan keahlian. Hal ini jadi penopang hingga dapat menaklukkan linula linula lainnya. Baik itu keunggulan dari segi ketangkasan dalam pertarungan dan bertempur, maupun karena memiliki banyak tentara dan pasukan pengawal keamanan yang tangkas untuk menangkal serangan musuh dalam peperangan.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah didirikannya kerajaan Hulonthalangi bukan merupakan hal ajaib, apabila kerajaan itu tumbuh cepat dan berkembang menjadi satu kekuatan di kawasan Teluk Tomini. Tetapi karena memang asal muasal keturunan mereka adalah dilahirkan dan dibangun melalui proses regenerasi dan periodisasi sejak terjadinya konflik selama berabad abad yang pernah di alami oleh seluruh keturunannya.
Kini faktanya dapat ditinjau dari berbagai analisa kajian tentang kenyataan dan kisah akhir dari keduanya, sehingga mereka dapat menabur benih benih keturunan yang bakal mewarisi tahta kerajaan negeri Wadeng yang mempunyai nama lain yaitu kerajaan Hulonthalangi. Sedang itu pada kelanjutan hikayat Sawerigading pun disampaikan kepada khalayak/umum. Dihadapan seluruh rakyat penghuni lembah Hulonthalangi. Bertindak seorang juru penerangan (Pa' wicara) mengumumkan bahwa Sawerigading juga telah mendapatkan wanita pendamping hidupnya yang mirip dengan wajah saudara kembarnya (Rawe). Dia adalah We Cudai asal kebangsaan dari negeri China.
Akhinnya, pada pengujung hikayat sekonyong konyong terungkaplah makna atas problem sejarah bahwa, Sawerigading bukan hanya menuai hasil kecintaannya pada tanah airnya dan berbelas kasih terhadap sanak saudaranya, sehingga dan karena itu ia memilih untuk segera pergi mengembara lagi ketimbang mengambil alih kembali tahta dan tanah kekuasaannya yang diwarisi dahulu. Sampai akhir hayatnya pun anak-cucu keturunannya masih bertanya tanya, apakah Sawerigading mempunyai anak selain La Galigo dari hubungan cinta kasihnya kepada We Cudai dan dimanakah ia dimakamkan.
Sumber :
1. Naskah Sureq La Galigo,
2. Manuskrip Raja Bulango,
3. Buku Bangsa Limo Pohalaa oleh Prof.DR.Samin Radjik Nur (Sahmina R Nur) diterbitkan oleh:
Koninklijk Institut Voor Taal - Land En Volkenkunde bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI).
(Pablo Maman Ntoma)
No comments:
Post a Comment