Sekitar tahun
1904 adalah awal pertama kedatangan etnis Jawa Tondano (Jaton) di Gorontalo.
Diawali dengan kedatangan seorang guru bernama Amal Modjo, keturunan Kyai
Modjo. Lulus sekolah Guru di Tondano tahun 1902, Amal Modjo mengajar sekolah
rakyat di Limboto. Karena sering pulang ke Tondano mengunjungi kerabatnya,
pemerintah hindia Belanda menawarkan kepadanya
membawa keluarganya untuk menetap di Gorontalo.
Amal Modjo yang
akrab dipanggil “Guru Apo” membawa kelurganya dari Tondano dan menempati lahan
yang disediakan Pemerintah Hindia Belanda seluas 500 hektar yang kini dikenal
dengan nama Desa Yosonegoro. Orang Jaton yang pertama menempati Desa Yosonegoro
antara lain Rahmat Zees,Jarod Zees, Burhan Zees, Muchtar Pulukadang, Tarikat
Mojo, Ichsan Suratinojo, Muhidin Rivai, Ilham mas Hanafi, Alfan Gusasi, Jumali
Suratinojo, Ronggo Danupoyo, Jalil Kyai Baderan, Napu dan Arta.
Rumah Tinggal Etnis Jawa Tondano
Dalam
perkembangannya,tahun 1910 sepuluh kepala keluarga menempati lahan baru yang
dinamai kampung Kaliyoso. Dalam memilih suatu lahan, orang Jaton memiliki cara
yang diajarkan para leluhur mereka. Caranya adalah mengambil sedikit tanah dan
dikecap di lidah. Lokasi yang layak ditempati adalah tanahnya memiliki aneka
rasa, seperti asam,pahit,manis dan asin. Tahun 1914 Desa Yosonegoro mulai
banyak penduduknya dan didirikanlah masjid Al-Muttaqin, imam dan sekaligus
kepala desanya adalah Kiyai Rahmat Zees. Mereka mengembangkan tradisi islam
diantaranyas zikir jawa yang lebih dikenal salawat Jowo, ada juga zikir melayu,
seni zamrah yang diadopsi dari budaya arab. Dalam hal pengolahan tanah
pertanian , mereka mengenalkan bajak
yang ditarik sapi dan kuda. Sekitar tahun 1924 sebanyak 125 kepala keluarga yang
sebagian besar dari Kampung Jaton Tondano menempati lahan baru yang dinamai
Desa Reksonegoro.
Masjid Al Muttaqin