Kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda pada abad-19 makin menguat di wilayah Persekutuan
Kerajaan Limo Lo Pohalaa diantaranya membuat aturan sistim pajak , kebijakan Tanam Paksa (cultuurstesel)
dan pengaturan urusan birokrasi Kerajaan. Secara politis kebijakan dibuat oleh
Kompeni Belanda menimbulkan ketidakpuasan dan kebencian dikalangan Raja dan
pembesar bangsawan. Kerajaan Bolango ikut merasakan kebijakan tersebut. Dalam struktur hierarki Kerajaan
Bolango terdapat olongia (Raja) yang mengurus kepentingan pribumi. Raja dibantu
oleh jogugu atau mangkubumi yang bertugas membantu dan membawahi langsung
pemerintah kerajaan. Jogugu dibantu oleh kadli dalam urusan pengadilan
agama dan hakim yang berurusan dengan pengadilan umum. Urusan
keamanan dipimpin oleh Kapitan Laut dan
dibantu oleh para Mayulu (Mayor).
Sebagai ekses
dari kebijakan Kompeni Belanda terhadap urusan kerajaan, Raja Bolango dan para pembesar kerajaan menolak kebijakan tersebut dan memutuskan berimigrasi ke daerah Bangka
(Lombagin) di wilayah Bolaang Mongondow.
Dalam perjalanan pengembaraan menuju Bangka , mereka menyinggahi cukup lama di kampung Imana yang
masuk wilayah kerajaan Atinggola. Di tahun tahun berikutnya beberapa kelompok kecil orang Bolango di Tapa ikut
berimigrasi, menyebabkan jumlah
penduduknya semakin menyusut. Pada tahun 1856 secara resmi Kerajaan Bolango keluar dari Persekutuan Limo Lo Pohalaa dan
kedudukan Kerajaan Bolango digantikan oleh Kerajaan Boalemo. Status eks
kerajaan Bolango berubah menjadi DISTRIK TAPA, yang masuk ke Onderafdeling
Gorontalo
Peta menujukan pemukiman suku Bolango (lingkar putih)
Pemerintahan Kerajaan
Bolango di Bangka (Bolaang Bangka) tidak berlangsung lama, disebabkan Kompeni Belanda
memberlakukan pajak 50 sen per kepala
keluarga setiap tahun. Raja Bolango menolak aturan tersebut dan memutuskan
berimigrasi ke wilayah lain. Demikian pula Orang Bolango yang telah lama
menetap di wilayah Lombagin-Bolaang Bangka, beberapa kelompok kecil berimigrasi menuju ke kotamobagu, Pusian,
Doloduo dan Molibagu. Dalam catatan
sejarahnya, Kerajaan Bolango beberapa kali mengalami perpindahan dan perubahan
nama Kerajaan, bermula di Lombagin masih memakai nama Bolango, kemudian pindah
ke Bolaang Uki, selanjutnya ke Walugo. Nama kerajaan berubah jadi Kerajaan
Bolaang Uki ketika Said Ali Akbar dikukuhkan oleh Residen Manado menjadi raja
pada tanggal 30 April 1886, nama resmi Said Ali Akbar dalam pengukuhannya
adalah Muhammad Aliyudin Iskandar Ali Van Gobel.
Peta tahun 1898 Bolaang Bangka (lingkar merah)
Saat Raja Hasan
Van Gobel berkuasa , pada tahun 1903 bersama dengan Raja Bolaang Mongondow Datu
Cornelis Manoppo menyepakati pertukaran wilayah. Dalam kesepakatan itu
diputuskan bahwa wilayah Bolaang Uki bagian pesisir utara menjadi milik
Kerajaan Bolaang Mongondow, untuk wilayah Kerajaan Bolaang Uki meliputi daerah
bagian barat antara sungai Taludaa, dan bagian timur batas sampai di Tanjung
Pinolosian. Molibagu adalah pusat pemerintahan Kerajaan dengan memiliki 12
kampung. Butuh tiga tahun lamanya Raja Hasan Van Gobel untuk mengajak orang
bolango yang terpencar di wilayah Bolaang Mongondow untuk mengungsi dan tinggal di daerah baru
Kerajaan Bolaang Uki. Menengok sejenak sejarah
pengembaraan Suku Bolango, apa yang
diikrarkan oleh Putri Daopeyago 500 tahun lalu, akhirnya menjadi kenyataan .
Molibagu yang saat itu disebut “buta dillata” atau “buta dirlata” akhirnya
menjadi tanah air bagi Suku Bolango .
Peta 1913. Kerajaan Bolaang Uki dengan ibukota Molibagu
Pasca
Kemerdekaan Indonesia, tahun 1950 Kerajaan Bolaang Uki berakhir dan digabungkan
dengan Kabupaten Bolaang Mongondow. Raja
Muda Arie Bansye Hasan Van Gobel adalah penguasa Bolaang Uki terakhir,
memerintah antara 1941-1950.
Raja Bolaang Uki Hassan Van Gobel
Iskandar Gobel 1837-1867
Said Ali Akbar Van Gobel 1867-1874
Willem Abadi Van Gobel 1874-1901
Hasan Van Gobel 1901- 1927
Eduard Van Gobel 1927-1941
Ari Bansye Hasan Van Gobel 1941-1950