Friday, May 9, 2025

Jejak Histori Pejabat Hukum Islam di Gorontalo

Tulisan : Mansur Martam

Pendahuluan: Hukum Islam sebagai Pilar Peradaban

Sejak awal kemunculannya pada abad ke-7 M, Islam telah hadir sebagai agama sekaligus sistem hidup yang menyeluruh, termasuk dalam hal hukum. Dalam sejarah Islam, hukum bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga mencakup sosial, ekonomi, dan peradilan. Untuk menjalankan sistem ini, Islam membentuk struktur kelembagaan hukum yang rapi, mulai dari Qadhi, Mufti, Hakim, hingga pengawas masyarakat seperti Muhtasib.

Sistem ini kemudian menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk ke kepulauan Nusantara, melalui dakwah, perdagangan, dan jaringan ulama internasional. Di antara daerah yang mempertahankan sistem ini hingga hari ini adalah Gorontalo, sebuah wilayah yang tidak hanya menerima Islam sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem sosial dan hukum yang hidup dalam masyarakatnya.

Islamisasi dan Awal Mula Lembaga Hukum Islam

Masuknya Islam ke dunia Melayu-Nusantara sekitar abad ke-13 membawa serta lembaga-lembaga hukum khas Islam. Di bawah pengaruh ulama dari Arab, Gujarat, dan Asia Tenggara, berbagai kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Demak, dan Ternate-Tidore membentuk struktur peradilan Islam yang terdiri dari Qadhi sebagai hakim syariat, Mufti sebagai pemberi fatwa, serta pejabat pembantu seperti Katib, Imam, dan Bilal.

Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya menerapkan hukum Islam secara formal, tetapi juga mengadaptasikannya dengan adat lokal (fiqh al-‘urf), menciptakan model peradilan yang unik dan kontekstual.

Kerajaan Islam dan Kejayaan Peradilan Syariat di Nusantara

Dalam catatan sejarah, beberapa kerajaan Islam di Nusantara dikenal memiliki struktur hukum Islam yang mapan:

Kesultanan Aceh Darussalam dikenal dengan jabatan Qadhi Malik al-Adil dan Mufti istana.

Kesultanan Banten serta Demak menerapkan hukum Islam dalam perkara nikah, waris, dan perdata.

Di Ternate dan Tidore, Qadhi dan Imam merupakan bagian dari struktur pemerintahan adat.

Namun, sistem ini mengalami perubahan besar ketika kolonialisme Belanda masuk dan memaksakan sistem hukum barat. Lembaga-lembaga Islam banyak yang dipinggirkan atau hanya berfungsi dalam urusan keagamaan privat.

Gorontalo: Tradisi yang Bertahan di Tengah Arus Modernisasi

Berbeda dengan banyak daerah lain yang melebur atau menghapus struktur lama, Gorontalo mempertahankan sistem hukum Islamnya hingga kini dalam bentuk kelembagaan masyarakat dan adat. Bahkan, jabatan-jabatan seperti Qadhi, Hakim, Mufti, Imam, Syarada’a, Bilal, Khatib, hingga Kasisi masih dikenal dan dihormati secara sosial.

Struktur Jabatan di Gorontalo:

1. Qadhi – Hakim syariat tertinggi yang menangani perkara hukum besar.

2. Hakim – Penentu keputusan dalam perkara keagamaan dan sosial.

3. Mufti – Pemberi fatwa atas persoalan hukum dan kehidupan masyarakat.

4. Imam – Pemimpin ibadah dan pembimbing umat.

5. Syarada’a – Pengawas moral dan pelaksana syariat dalam masyarakat.

6. Bilal – Penyeru adzan dan pengatur waktu ibadah.

7. Khatib – Penyampai khutbah Jumat dan Id.

8. Kasisi – Pejabat terendah yang mengurusi dakwah dan pendidikan agama tingkat kampung.

Sistem ini bukan hanya bertahan secara simbolik, tetapi berfungsi aktif dalam struktur sosial Gorontalo, menunjukkan betapa Islam telah menyatu dalam tatanan budaya dan adat setempat.

Kesimpulan: Warisan yang Hidup dan Terus Berkembang

Gorontalo adalah contoh langka bagaimana struktur hukum Islam klasik tetap hidup di tengah zaman modern. Keberadaan pejabat seperti Qadhi, Mufti, dan Syarada’a tidak hanya menjadi warisan sejarah, tetapi juga menjadi alat untuk menjaga nilai, moral, dan ketertiban sosial berdasarkan syariat Islam.

Tradisi ini adalah bukti bahwa Islam di Nusantara tidak hanya sekadar identitas spiritual, tetapi juga warisan peradaban yang terus memberi arah dalam kehidupan masyarakat. Menjaga dan mendokumentasikan sistem ini adalah tugas penting generasi hari ini, agar warisan Islam tidak hanya menjadi sejarah, tetapi juga masa depan.

Sunday, April 6, 2025

Keturunan Kyai Modjo di Gorontalo

KYAI MODJO (1792-1849)
Kampung Jawa Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ini didirikan oleh Kyai Modjo beserta 62 orang pengikutnya yang semuanya laki-laki pada awal tahun 1830. Mereka adalah orang-orang Jawa yang dibuang oleh Belanda ke Minahasa setelah perang Jawa. Ketika terjadi Perang Jawa pada 1825-1830, Kyai Modjo berperan dalam mengatur strategi militer melawan Belanda. Selain itu, tokoh kelahiran Surakarta tahun 1792 ini juga menjadi guru spiritual dari Pangeran Diponegoro. 

Pada 12 November 1828, ketika Kyai Modjo berada di Mlangi, Sleman, ia disergap dan ditangkap oleh Belanda. Pada 17 November 1828, Kyai Modjo dikirim ke Batavia untuk diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Kyai Modjo dan para pengikutnya membangun tempat pemukiman bernama Tegalrejo, dari tempat tersebut kemudian pemukiman ini dikembangkan ke selatan dan menjadi Kampung Jawa Tondano sekarang. 
Semua pengikut Kyai Mojo yang dibuang ke Tondano, kemudian menikahi perempuan setempat, kawin-mawin, dan dari dua kebudayaan inilah lahir masyarakat Jawa Tondano (Jaton). Di kampung Jaton ini Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849.

Dalam perjalanannya, di awal abad 20,  lahan yang digarap oleh masyarakat Kampung Jaton di Minahasa semakin sempit, maka pada tahun 1904 sebagian penduduk mulai berpindah ke Gorontalo. Di antara yang pergi adalah keluarga dekat Kiai Modjo, yang bernama Amal Mojo atau biasa dipanggil “Guru Apo”. Beliau lulusan kweekschool (sekolah Guru) di Tondano dan kemudian diangkat sebagai guru di  Gorontalo. 

Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, kakek Amal Modjo adalah Ghazaly Modjo, dan neneknya adalah seorang perempuan Minahasa bernama Ringkingan Tombokan. Ghazaly Modjo adalah Hukum Tua pertama yang menjabat 1880-1884. Ayah Amal Modjo adalah anak laki-laki tertua Ghazali dan Ringkingan yang bernama Djumal Modjo. Amal Modjo menikah dengan R.A Bandira Danupoyo dan memiliki 5 orang anak: Aisah Modjo, Hasan Modjo, Saleh Modjo, Ismangun Modjo dan Kamil Modjo. Hasan Modjo, anak kedua Amal Modjo adalah teman kelas ayah B.J. Habibie ketika bersekolah di Hollandsch Inlandsche School Gorontalo.

Ketika pindah ke Gorontalo, Amal Modjo didampingi Imam Rahmat Tumenggung Ses bersama empat puluh kepala rumah tangga. Merekalah yang mendirikan kampung Yosonegoro dekat Limboto. Nama itu merujuk pada dua kata dari bahasa Jawa yaitu “Yoso” yang artinya membangun dan “Negoro” yang berarti Negeri, sehingga Yosonegoro dapat diartikan sebagai membangun negeri. Orang Jaton yang pertama menempati Desa Yosonegoro antara lain Rahmat Zees,Jarod Zees, Burhan Zees, Muchtar Pulukadang, Tarikat Mojo, Ichsan Suratinojo, Muhidin Rivai, Ilham mas Hanafi, Alfan Gusasi, Jumali Suratinojo, Ronggo Danupoyo, Jalil Kyai Baderan, Napu dan Arta.

Kelompok kedua yang  datang ke Gorontalo pada tahun 1910 sebanyak sepuluh kepala keluarga. Mereka mendirikan kampung Kaliyoso. Kelompok ketiga yang datang pada tahun 1925 sebanyak seratus dua puluh lima kepala keluarga dan mendirikan kampung Reksonegoro (Isimu). Pada Tahun 1914 Desa Yosonegoro mulai banyak penduduknya dan didirikanlah masjid Al-Muttaqin, imam dan sekaligus kepala desanya adalah Kiyai Rahmat Zees.

Di kampung Yosonegoro, Reksonegoro dan Kaliyoso,  Amal Modjo dan rombongannya tetap membawa tradisi dari kampung Jawa Tondano. Dialek Jaton yang merupakan pertemuan bahasa Tolour Minahasa dan sebagian bahasa Jawa menjadi bahasa tutur warga asal Kampung Jaton di Gorontalo. Tradisi ‘Ba’do Ketupat’ atau lebaran ketupat, yang khas masyarakat kampung Jaton, juga terus dirayakan oleh masyarakat Jaton Gorontalo hingga saat ini.

Untuk menghargai jasa-jasa Amal Modjo, maka namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan di desa Ombulo kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Nama Kyai Modjo diabadikan menjadi salah satu nama jalan di kelurahan Limba B kecamatan kota Selatan Kota Gorontalo. Namanya juga disematkan menjadi nama Madrasah Alkhairaat Kiayi Modjo  di Kabupaten Gorontalo. Alfatehah untuk almarhum Kyai Modjo dan Almarhum Amal Modjo.

Tulisan dr. Isman Yusuf

Wednesday, April 2, 2025

Asal Usul marga Dunggio

Walaapulu Habi adalah cucu pertama dari salah seorang penguasa kerajaan Limutu (Negeri kesultanan Limboto) yang disebut Sultan Talibana. Talibana bergelar Tapilosuwita, ia mempersunting hambanya yaitu putri Tane lalu dikaruniai seorang anak bernama Pohu, kemudian Pohu dinikahi oleh kadli Buke lantas memperoleh empat orang anak, yakni;
1. Jegugu Limboto bernama Muhammad Yusuf atau Datu,
2. Marsaole Maku,
3. Walaapulu Habi, dan,
4. Walaapulu Modampa.

Selanjutnya Walaapulu Habi beristeri putri Lida yang tak lain adalah salah satu cucu dari Sultan Bututihe. Habi sendiri tidak menggunakan marga marga dari pendahulunya, sebagaimana ia berasal dari keturunan bangsawan. Dan atas perkawinan bersama dengan putri Lida, iapun memperoleh anak masing masing adalah; Raja Bulango Tumulo digelari Tatokuburu dan Walaapulu Muhammadi atau dipanggil Hadi dan Syekh Poluli.

Berdasarkan nasab itu atau silsilah keluarganya, tersebut pula seorang wanita yakni putri Niu, yang tak lain adalah masih dalam lingkungan keluarganya sendiri (sepupu). Selain bernama Niu, ia juga mempunyai nama lain yaitu Tinti. Lantas ia dinikahkan dengan Walaapulu Muhammadi kemudian menurunkan sejumlah anak dan cucu cucu serta cicitnya. Demikian sesingkatnya dan akan dilanjutkan pula penjelasan dari turun temurunnya berikut ini.

Perkawinan Walaapulu Muhammadi dengan putri Tinti dikaruniai anak yaitu Raja Tupa bernama Dunggio dan Raja Huwangobotu bernama Tawaa dan seorang wanita yaitu putri Paduma. Seterusnya, Walaapulu Muhammadi beristeri pula orang lain beranak putri Yadimuliya dan putri Rabia.
Dari sinilah awalnya nama Dunggio dan kini sudah menjadi nama belakang (marga) sebahagian kecil warga suku Gorontalo.

Berikutnya pula tentang Raja Tupa Dunggio, ia mempunyai tiga orang isteri yaitu:
1. Putri Patimah, mendapatkan tiga orang anak; Sahi, putri Hatida dan putri Saila.
2. Putri Duma berasal dari Buhuponelo, mendapat anak putri Unteni, putri Luawo dan Maku.
3. Putri Tunggulo mendapat dua orang anak yaitu putri Anta dan Tomayahu.

Ketiga-tiga isteri Raja Tupa Dunggio masing masing dikaruniai anak, dan jumlah keseluruhannya genap delapan orang. Terdapat tiga orang laki laki dan lima orang wanita. Oleh karena itu, lebih jauh untuk diketahui bahwa, tiap tiap isterinya mempunyai seorang anak laki laki. Sebab itu keturunan Raja Tupa Dunggio masih akan berlanjut dan secara berkesinambungan mewarisi nama ayahnya yaitu kelak menjadi marganya (Marga Dunggio).

Memperhatikan ketiga anak lelakinya yakni Tomayahu bin Dunggio, Maku bin Dunggio dan Sahi bin Dunggio, masing masing berpopulasi hingga sampai ke pelosok negeri di wilayah kawasan adat, yaitu rumpun warga Limo Pohalaa. 

Tulisan dari Bapak Maman Ntoma

Friday, March 14, 2025

Kerajaan Tamalate di Gorontalo

Cikal bakal masuk Islam di Gorontalo tidak terlepas dari masalah kerajaan 
Gorontalo. Gorontalo masa lalu adalah salah satu kerajaan yang terdapat di 
pulau Sulawesi. Gorontalo, pada awalnya berupa lautan dan daratan yang nampak 
hanya puncak gunung Tinongkabila dan puncak gunung Boliyohuto, tetapi lama 
kelamaan akhirnya menjadi hamparan daratan yang luas dan yang tersisa berupa 
genangan air, yaitu sebuah danau yang dikenal dengan danau Limboto. 
Dinamika kehidupan manusia selalu mengalami perubahan berupa sistem 
yang mengatur kehidupan itu, antara lain manusia membentuk suatu sistem 
pemerintahan yang berbentuk monarchi (kerajaan) dan kerajaan tertua di 
Gorontalo, adalah kerajaan Wada yang dikenal juga dengan sebutan kerajaan 
Padenyo yang diperintah oleh seorang raja bernama Ihomolangi, yaitu anak 
dari putrid Bulaidaa garis keturunan raja Mooduto. Raja Ihomolangi 
memperoleh keturunan Ikihudu (laki-laki) yang dikenal dengan nama Wadipalapa 
dari perkawinan dengan putrid Rawe. 
Kerajaan Gorontalo adalah suatu kerjaan yang terbentuk atas persekutuan 
17 kerajaan lokal yang di sebut Linula, yaitu 1) Ihungina, 2). Lupoyo, 3). 
Bilinggata, 4) Wuwabu, 5). Biawu, 6). Padengo, 7). Ihuangobitu Alowala, 
8). Tapa, 9). Lawwonu, 10). Toto, 11). Dumati, 12). Ilotide, 13) Pandungo, 
14). Panggulo, 15). Ihuayabatu Alojihi, 16). Tumboo dan 17). Iholondalangi. 
Persekutuan kerajaan tersebut dimotori oleh Iholondalangi (raja kerajaan 
Padengo) karena raja ini raja yang paling berpengaruh di antara ke-17 kerajaan 
yang bersekutu (Linula) tetapi masih sebatas wacana, tetapi baginda telah 
meletakan potensi persekutuan di antara multi kerajaan tersebut. Sepeninggal 
baginda digantikan oleh putranya Ilahudu (Wadipalapa) dan Wadipalapa 
melanjutkan dan mewujudkan cita-cita baginda ayahandanya mempersatukan 
17 kerajaan (Linula), maka pada tahun 1385 M. Terbentuk Kerajaan Gorontalo 
(Hulondalangi) dan berpusat di Iholawa. Pusat kerajaan selalu berpindah-
pindah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, yaitu dari 
Iholawa berpindah ke-Dongingi kemudian ke-Biawu. 
Kerajaan Gorontalo mencapai kemajuan pada masa pemerintahan raja 
Ilahudu, Uloli hasil perkawinannya dengan putri laiyo Lembanggo dari Uloli lahir Ntihedu (putri), Ntihedu melahirkan Dedu (putra) dan darinya melahirkan 
Amai sebagai raja kerajaan Gorontalo yang pertama menerima agama Islam 
dan sebagai cikal bakal masuk Islam di Gorontalo. (Yassin, Br, tt: 14) 
Islamisasi di kerajaan Gorontalo tidak terlepas dari peranan Raja Amai 
salah seorang pewaris Ilahudu sebagai raja Gorontalo pertama yang mengantar 
kerajaan Gorontalo mencapai masa keemasan. Ketika melakukan kunjungan 
kerajaan sebagai seorang raja (kenegaraan) di kerajaan Tamalate Tomini, 
melakukan pertemuan dengan Bonenato Raja Gumucala Palasa membicarakan/ 
menawarkan agar masyarakat kerajaan Tamalate Tomini untuk melakukan 
transmigrasi ke-Gorontalo untuk melakukan pembukaan lahan pertanian dan 
perkebunan di Gorontalo dan pada perteman ini Raja Amai bertemu dan jatuh 
cinta pada Awutango putri Bonenato (Raja Muslim, sultan), akhirnya berlanjut 
raja Amai melamar putri tersebut dan diterima dengan dua pensyaratan, yaitu 
1) Raja Amai harus menganut Islam dan akan mengembangkan Islam di 
daerahnya (Gorontalo), 2) seluruh rakyat Gorontalo wajib menganut Islam. 
Semua pensyaratan tersebut diterima oleh raja Amai dan dilanjutkan dengan 
pembaeatan dan peresmian mempersunting (menikahi) putri Awutango, dengan 
demikian Raja Amai resmi menjadi seorang Muslim dan menantu Raja Bonenato 
dari kerajaan Tamalate Tomini. 
Pembaeatan dan pernikahan raja Amai dengan permaisurinya putri 
Awutango berlangsung di Palasa Tamalate Tomini pada tahun 1525 M, disaksikan 
oleh para raja di Tamalate Tomini, antara lain raja Sahibullah yang bertindak 
sebagai naib dalam perkawinan ini dan hasil pernikahan ini lahir seorang putri 
diberi nama Putri Matolodidakiki. Setelah berlangsungnya proses 
perkawinannya Raja Amai membawa permaisurinya ke-Gorontalo didampingi 
oleh kedelapan (8) raja dengan pengawalan ekstra ketat. Keikutsertaan kedelapan 
raja ini bertujuan untuk pengamanan bagi baginda Raja Amai dengan 
permaisurinya dalam perjalan dan menjadi pengamanan di Gorontalo dalam 
melaksanakan kesepakatan yang diikrarkan raja Amai sebagai pensyaratan 
dalam mempersunting putri Awutango. 
Semua raja yang mendamingi raja Amai dan permaisurinya menetap di 
kerajaan Gorontalo untuk membantu Sultan Amai dalam melaksanakan 
pemerintahannya termasuk merancang adat dipadukan dengan sara' yang 
disepakati di kerajaan Tamalate Tomini antara mertuan dan menantunya. 
Kedelapan raja tersebut, adalah raja tamalate, raja Limboto, raja Siendeng, raja 
Holangata, raja Siduan, raja Sipayo, raja Soginti dan raja Bunoyo dipimpin olehsultan muda Biharuddin (putra) dari sultan Sahibullah dari Tamalate Tomini. 
(SR. Nur, 1979 : 21) Mereka tersebut disamping seorang raja juga bertindak 
sebegai muballig yang akan membantu penyiaran Islam di kerajaan Gorontalo. 
Para raja tersebut diutus mendampingi raja Sultan Amai karena mereka 
memiliki professional tertentu, yaitu a) Raja Tamalate, Siendeng dan Hulangata 
ahli dalam masalah hadat kerajaan dan pembuatan peralatan, antara lain seperti 
tolu, tutup saji dan membuat garam dapur, b) Raja Siduan, Sipayo, Soginti dan 
Bunuyo menjadi guru dalam masalah yang berhubungan dengan perdukunan 
dan mantra-mantra. (T.A.Giu, 2002 : 3) 
Dua pendapat tentang masuk Islam di Gorontalo, yaitu a) pada tahun 931 
H/1524 M, b) tahun 899 H/1495 M, pendapat kedua (b) yang diperpegangi 
berbagai pihak karena data tersebut tertulis pada pintu gerbang masuk di masj id 
Hunto Sultan Amai yang terdapat di kelurahan Biawu Kota Gorontalo. 
Perjalanan kembali ke kerajaan Gorontalo merupakan ekspedisi bahari dan 
setibanya dipelabuhan Gorontalo pada tahun 899H/1495 M, mereka disambut 
oleh masyarakat kerajaan Gorontalo dengan antosias dan penuh terharu, 
kemudian raja Amai bersama rombongannya melanjutkan ke Biawu yang 
meruapakan perkampungan Raja Ilohundonga, lokasi yang sekarang dikenal 
dengan nama Hunto dan terletak dikelurahan Biawu kecamatan Kota Selatan 
Kota Gorontalo. 
Di pumukiman Raja Amai dan permaisuri, rombongan melaksanakan dua 
kegiatan sebagai media pertama dan utama dalam memperkenalkan Islam pada 
rakyat Gorontalo, kegiatan tersebut a) bertepatan dengan tiba waktu Dzuhur 
mereka melakukan shalat Dzuhur di tempat terbuka dan mendapat perhatian 
masyarakat sekitar, b) pada hari Senin 899 H/1495 M, mereka membangun 
suatu tempat ibadah (masj id) atau tihi sederhana karena tiga hari kedepan 
pelaksanaan shalat Jum'at tiba. (Agin, 2002 : 5) Masjid ini diberi nama masjid 
Hunto sesuai nama tempat pemukiman mereka dan menjadi masjid pertama 
dan tertua di Gorontalo dan akhirnya masjid Hunto ditambah namanya menjadi 
Masjid Hunto Sultan Amai untuk mengabdikan nama raja yang pertama 
menerima Islam, muballig pertama dan pendiri masjid tersebut. 
Sejak saat itu raja Amai melaksanakan amanah dengan memaklumkan pada 
masyarakat Gorotalo, bahwa dia telah menganut Islam sebagai agama, oleh 
karena itu baginda sultan mengharapkan kepada masyarakat mengikuti jejaknya 
menganut Islam sehingga Raja Amai digelar ta loo pamaklumu dan pada saat 
itu pula digelar tulutani (sultan), yautu raja Islam pertama di kerajaan Gorontalo.Perlu dikemukakan bahwa setelah Sultah Amai mantap dalam 
pemerintahannya dan Islam di kesultanan Gorontalo mengalami perkembangan 
maka Biharuddin dinobatkan menjadi Sultan di kerajaan Tamalate Gorontalo 
dan pada tahun 931 H/1525 M, Sultan Amai mengharapakan kepada Sultan 
Biharuddin untuk membangun masjid di kerajaan Tamalate Gorontalo di samping 
masjid yang berada di Kesultanan Gorontalo dan masjid ini disebut tihi loalipu 
(masjid kerajaan). 
Kedua masjid tersebut dijadikan sebagai sentrum penyebaran Islam dan 
difungsikan sebagai masjid kesultanan bagi kesultanan Tamalate dan kesultanan 
Gorontalo dan dari kedua tihi ini digemakan syi'ar Islam di kedua kesultanan 
yang dilakukan oleh Sultan Amai, Sultan Biharuddin dengan dibantu oleh sultan 
lain seperti Sultan Siandang dan sulatan Ihulangata. Dalam kurun waktu yang 
tidak lama raja dan pembesar negeri menganut Islam sebagai agamanya, seperti 
raja Suwawa, Limboto, Bulingo, Atinggala dan raja Bualemo. 
Sultan Biharuddin yang semula mendapat amanah untuk merancang kultur 
di kesultanan Gorontalo berhasil melaksanakan tugasnya memadukan antara 
kultur masyarakat kesultanan Gorontalo dengan syari'at Islam, sehingga berhasil 
menetapkan 188 sendi adat sebagai pedoman dalam kultur Gorontalo yang 
dipadukan dengan sara'. Keberhasilan ini atas dukungan raja Limboto, Sumawa, 
Dolango, Atangala, Bualemo dan raja yang berasal dari Kerajaan Tamalate 
Tomini. 
Di masa pemerintahannya Sultan Amai, permaisuri dan putrinya lebih banyak 
tringgal dikerajaan Tamalate Gorontalo yang diperintah oleh Sultan Biharuddin, 
oleh sebab itu masa kecil putrinya dihabiskan bersama putri Muharifah (putri 
Sultan Biharuddin) kerena mereka sebaya, mereka sama-sama memperoleh 
pendidikan Islam secara ketat di Istana kesultanan Tamalate Gorontalo. Sultan 
Tamalate Gorontalo memiliki dua istana ksesultanan yang berhadapan di sebalah 
Timur dan Selatan Masjid Kesultanan, tetapi keberadaan kedua istana dan 
masjid ini tinggalfoklor karenatelah dihancurkan oleh Kolonial Belanda. 
Pada akhir masa pemerintahannya Sultan Amai mengalami krisis rumah 
tangga yang mengakibatkan permaisuri Owutango meninggalkan istana 
kesulanan Gorontalo kembali ke-Kerajaan tamalate Tomini meninggalkan 
Baginda Sultan Amai dan putrinya. Permaisuri berangkat hanya dikawal oleh 
empat raja yang berasal dari kerajaan Tamalate Tomini (raja Sipayo, Bunuyo, 
Soginti dan raja Siduan), namun ke-empat raja ini tidak sempat bersama sampai 
di Tamalate Tomini, tetapi singgah dan tinggal di Bumbar (Pohuato) danbergelar alongia ( empat raja) bersaudara. Ketika Sultan Amai mangkat maka 
digantikan atau naik tahta putrinya Matolodulakiki pada tahun 1550 M dan 
pada masa pemerintahannya Baginda Sultan Ratu melanjutkan sistem 
pemerintahan yang dilakukan oleh ayah handanya dan pada masa 
pemerintahannya Islam berkembang dengan pesat karena baginda ratu selalu 
memotivasi perkembangan Islam di kerajaannya sehingga baginda sultan juga 
di gelar dengan talopoloopo Islam. 
Bersamaan dengan masa pemerinthan sultan Ratu Matolodulakiki, Sultan 
Sahibullah di Tamalate Tomini (ayahanda) dari sultan muda Biharuddin mangkat, 
maka Sultan Biharuddin pulang kampung (Tamalate Tomini) dan naik tahta 
menggantikan ayahandanya (Sahibullah), sedangkan yang membantu menjadi 
naib di Kesultanan Tamalate Gorontalo, adalah raja muda Pangoliu. Perlu 
dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Biharuddin pusat 
pemerintahan kerajaan Tamalate Tomini dipindahkan dari Palasa ke-Tamalate 
Gorontalo atas persetujuan dari Sultan Gorontalo, raja Limboto, Sowawa, Bulango 
dan raja Bualemo. Demikian pula pada masa pemerintahan banginda Sultan 
Ratu Matolodulakiki pusat kerejaan Gorontalo juga dipindahkan di kerajaan 
Gorontalo dan penyatuan kedua pusat kerajaan ini berlangsung hingga pada 
masa pemerintahan Sultan Jogugu Ejato. 
Dalam dinamika historis kesultanan Gorontalo silih berganti pemerintahan 
(kesultanan) karena raja mangkat. Setelah baginda Sultan Ratu Matolodulakiki 
mangkat dan digantikan oleh putranya Pangoliu Dai (Pangoliu pertama) dan 
pada tahun 1585 M, sistem pemerintahannya sama dengan kakek dan ayahnya, 
pada masa ini Islam semakin berkembang dan mewajibkan penganut Islam 
melakukan sunatan missal bagi anak dan pemuda yang belum disunat dan 
pembaeatan bagi perempuan yang memasuki usia gadis dengan suatu upacara 
adat dan mandi lemon dilaksanakan dimasjid Kesultanan Tamalate Gorontalo 
bertepatan dengan 2 Muharram 1009 H/1611 M, sehingga sultan digelar tato 
powajibu (orang yang mewajibkan). 
Perlu dikemukakan, bahwa pada setiap 1 sampai dengan 10 Muharram di 
masjid Kesultanan Tamalate Gorontalo sultan melakukan acara silaturrahmi 
dengan raja Limboto, Sowawu, Bolango, Atinggala dan Bualemo dan dihadiri 
oleh para pembesar kesultanan/kerajaan, ulama, sara' dan pada acara ini juga 
dibicarakan berbagai masalah yang berhubungan dengan masalah kerajaan (dunia 
dan akhirat). (lihat Yassin : 25) Oleh sebab itu masijid memiliki multi fungsi 
seperti yangterjadi padaawal pengembangan Islam karena di masjid diselesaikansegala masalah, antara lain seperti masalah politik dan masalah sosial, disamping 
yang berhubungan dengan masalah di balik alam nyata karena Islam menuntun 
umatnya menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. 
Sultan Pangoliu digantikan oleh putrinya Moliye (1615 M), kemudian pada 
tahun 1646 M digantikan oleh suaminya Jogugu Eyato dan pada pemerintahannya 
kesultanan Gorontalo juga mengalami perkembangan pesat. Masyarakat 
Gorontalo diwaj ibkan menganut Islam dan baginda Sultan memproklamirkan 
Islam sebagai agama kesultan Gorontalo sehingga sultan Jogugu Eyato digelar 
talopatatapu (yang menetapkan Islam sebagai agama negeri) dan baginda 
sultan Jogugu Eyato adalah sultan pejuang menentang penjajahan Belanda 
sehingga Baginda Sultan dibuang di Sailan. 
Para penyebar Islam pada Kesultanan Gorontalo menggunakan metode yang 
digunakan oleh Al-Qur'an, yaitu pada awalnya disesuaikan dengan situasi dan 
kondisi masyarakat sasaran. Para muballig menggunakan mendekatan adaptatif, 
yaitu kebijakan Sultan Amai awalnya menggunakan metode menyesuaikan dengan 
adat dengan mengacu pada prinsip saraa topa-topango toadati (sara' bertumpu 
pada adat). Prinsip dimaksud adalah hukum atau Syari'at bisa berlaku apabila 
disesuaikan dengan kultur yang berlaku dalam masyarakat. Penggunaan 
pendekatan seperti ini dengan harapan bahwa Islam diterima oleh seluruh rakyat 
Gorontalo dan pada akhirnya Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. 
Kerangka tersebut menunjukan, bahwa Islam masuk di Gorntalo melalui 
kawin mawin antara seorang raja dengan putri raja atau sebaliknya, oleh sebab 
itu agama masuk di Gorontalo mulai dari atas (raja) sehingga Islam di Gorontalo 
berkembang dengan cepat karena ada prinsip masyarakat di suatu kerajaan, 
bahwa hidup dan kehidupannya adalah milik raja, titah raja adalah suatu 
kewajiban, oleh sebab itu menganut Islam bagi masyarakat Gorontalo adalah 
suatu kewaj iban yang harus dipatuhi dan berlanjut hingga saat ini, rakyat Gorontalo 
menjadi Muslim yang ideal, bukan orang asli Gorontalo kalau tidak Islam. Proses 
ini memiliki persamaan dengan proses Islamisasi di kerajaan Gowa dan Tallo 
(Sulawesi Selatan), yaitu Islamisasi dimulai dari atas (raja). 
Proses Islamisasi di suatu daerali berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi 
masyarakat sasaran. Mereka menggunkan pendekatan Islamisasi sesuai dengan 
kondisi masyarakat agar mereka mudah menerima seruan tersebut, maka tidak 
heran kalau Raja Muda Biharuddin pada awal kegiatan da'wahnya 
mencanangkan prinsip sara' bersendikan adat, setelah ke-Islam-an 
masyarakat telah kuat dan seluruh masyarakat kerajaan Gorontalo menganut.Islam maka Sultan Gorontalo memproklamirkan prinsip adat bersendikan sara' 
dan sara' bersendikan Kitabullah. Kerangka tersebut menunjukan, bahwa 
tiga orang Sultan pada kesultanan Gorontalo yang sangat berjasa dalam Islamisasi 
dan pengembangan Islam di kerajaan Gorontalo, yaitu Sultan Amai, Sultan 
Matolodulakiki (Ratu Sultan) dan Sultan Jogugu Eyato. 
Peran Sultan Amai 
Sultan Amai memerintah pada 1532 - 1550 M, kalau dilihat proses awal 
Islamisasi meletakan Sultan Amai a) seorang yang pertama menerima dinul 
Islam, b) seorang raja yang membawa dan mengembangkan Islam (muballig) 
di kerajaan Gorontalo, c) menjadikan kerajaan Gorontalo menjadi kerajaan Is-
lam, d) wajar kalau disebut raja yang pertama disebut Sultan di kerajaan Islam 
Goronalo. 
Dalam mensosialisasikan Islam di kerajaan Gorontalo Sultan Amai bersama 
rombongannya yang berasal dari Palasa kerajaan Tamalate Tomini melakukan 
kegiatan, yaitu 1) melaksanakan shalat Dzuhur pertama di pemukimannya di 
Hunto, 2) mendirikan Masjid Hunto yang akhirnya dinamakan masjid Hunto 
Sultan Amai. Kerangka tersebut menunjukan, bahwa seharusnya masjid Hunto 
Sultan Amai dijadikan pusat pendidikan dan pengembangan Islam, artinya pusat 
kegiatan pemahaman dan pendalam ilmu Islam karena hal ini merupakan hal 
yang mendasar dalam ajaran Islam, iman, amai (ilmu) dan menjadi sumber utama 
kultur dan peradaban orang Islam pada masa pemerintahan Sultan Amai. 
Pada dinamika pengembangan peradaban Islam Sultan Amai menggunakan 
pendekatan adaptatif dengan prinsip saraa topa-topanga to adati ('sara' 
bertumpu pada adat). Pada masa pemerintahannya di dampingi oleh delapan 
raja dari Palasa berhasil membuat 185 macam pola adat yang merupakan 
akulturasi kultur masyarakat kerajaan Gorontalo dengan kultur kaum Muslimin 
yang Islami, antara lain adat perkawinan, penyelenggaraan jenazah, pelaksanaan 
ibadah, mengatur hubungan sesama (adat dalam pergaulan), pembinaan remaja, 
kesenian yang bernafaskan Islam, kerukunan antara rakyat dan pemerintah, 
kerukunan hidup, penghormatan terhadap tamu, sosial, rumah tangga dan 
pembinaan sosial keagamaan. 
Disamping itu Sultan Amai juga menjadikan kesenian sebagai medya 
pengembangan budaya dan peradaban Islam, antara lain a) kesenian yang 
berhubungan dengan kematian, yaitu leningo (pantun agama yang berisi nasehat 
bahwa semua mahluk hidup pasti akan menghadap kematian). Tinilo (pujian
terhadap para leluhur dilantungkan untuk mengiringi pengantaran batu nisannya 
ke kubur). Hantalo (gendering yang dibunyikan menjemput tamu pada upacara 
pemakaman seorang pejabat negeri (bubato). b) kesenian yang berhubungan 
dengan peringatan maulid Nabi Muhamad SAW, yaitu berupa dikili (zikir) 
tentang kelahiran Nabi, c) kesenian yang berhubungan dengan perkawinan, 
antara lain mohatamo Quruani (chatam Qur'an) dilakukan pada malam 
walimatur urusy (pesta perkawinan). 
Sara' yang Diadatkan 
Sara' yang di adatkan, yaitu perintah mengikuti syari'at Islam hanya 
sosialisasinya melalui adat yang tidak bertentangan dengan tujuan syari'at, antara 
lain 1) pelaksanaan ibadah shalat mengacu pada hadis Ibnu Mas 'ud, yaitu 
hendakalah orang yang sudah balig dan pandai di antara kamu di dekatku. (Hadis) 
maksudnya orang yang sudah balig dan berilmu berada pada shaf yang terdepan, 
oleh sebab itu adat menetapkan bahwa shaf terdepan di masjid ditempati oleh 
pejabat negeri (utamanya di daerah), 2) hadis Bukhari Muslim, apabila tiba waktu 
shalat maka hendaklah adzan salah seorang di antara kamu. (Hadis) maksudnya 
adalah panggilan untuk melaksanakan shalat, adat Gorontalo menetapkan untuk 
pejabat utama di daerah yang malaksanakan shalat Jum'at atau shalat Id akan 
dijemput oleh tokoh adat dengan cara mohama wombato (menjemput tikar shalat) 
dan hal ini berlaku pula pada peminangan dalam suatu perkawinan. 
Adat yang di-Islamkan 
Adat yang di Islamkan, artinya yang dimaksud pelaksanaan berdasarkan 
adat, tetapi secara konteks adalah Island, antara lain pada acara belasungkawa, 
a) mapodidi, mengandung makna yang Island. Didi, adalah simbol ta 'ziah dan 
langsung memohonkan magfirah bagi almarhum dengan berzikir (zikir qalbu), 
b) memandikan zenazah, air yang disiramkan yang terakhir disebut taluhu 
liduyo, air yang berwarna putih, kuning dan merah darah. Air merah untuk 
menyiram mulai dari kepala hingga kaki dan berakhir di pusat. Warna merah 
untuk mensucikan sifat amarah. Warna kuning simbol harapan untuk mensucikan 
perbuatan kotor yang bersumber dari qalbu. Sedangkan warna putih, adalah air 
untuk siram terakhir, sebagai simbl harapan agar segala dosanya diampuni 
(terhapus). 
Pada masa pemerintahan Motolodulakiki telah melahirkan dua tokoh 
dalam masyarakat Gorontalo, yaitu tokoh agama (ulama) dan tokoh adat. Tokoh 
ini yang berperan dalam pembangunan budaya dan peradaban Islam di Gorontalo. 
Pikiran Sultan sangat mendasar dan berlian karena Islam menjadi pegangan,utama dan pedoman hidup, baik oleh pembesar kerajaan maupun oleh masyarakat 
dan sikap seperti ini cenderung pada usaha menjadikan Islam sebagai agama 
kerajaan Gorontalo. 
Peran Sultan Matolodulakiki 
Sultan Matolodulakiki, adalah putri dari Sultan Amai (1550 - 1585), pola 
pemerintahan dan kepedulian terhadap Islamisasi di kerajaan Gorontalo sama 
dengan baginda ayahandanya (Sultan Amai), hanya Matolodulakiki melakukan 
terobosan di dalam pengembangan kultur masyarakat Gorontalo. Pengembangan 
peradaban Islam dari pendekatan adaptatif dengan mengembangkan menjadi 
akulturasi budaya dengan sistem adati hula-hula to saraa, saraa hula-hula 
to adaptii (adat bersendi pada sara', sara' bersendikan kitabullah). (S.R Nur, 
1979 : 221) sistem ini mendekatkan masyarakat pada Islam dan memudahkan 
penerimaan sehingga dalam perkembangannya Islam memiliki dampak, yaitu 
a) adat bersendikan pada sara' melahirkan adat yang Islami, b) sara' bersendikan 
adat, melahirkan Islam yang di adatkan. 
Peran Sultan Jogugu Eyato 
Sultan Jogugu Eyato sebelum dinobatkan menjadi sultan, baginda dikenal 
sebagai khatib besar, seorang sufi yang diketahui sangat mengutamakan 
kesucan bathin. (Polontalo, 1998 : 67) Sultan ni adalah sultan ke enam pada 
struktur kerajaan Gorontalo bagian utara, tetapi dalam struktur kerajaan Gorontalo 
Islam (kesultanan) adalah sultan yang ke lima. Rentang waktu antara 
pemerintahan sultan Motolodulakiki dengan sultan Jogugu Eyato di selingi oleh 
dua orang raja selama kurun waktu 88 tahun. 
Pada pemerintahan kedua orang raja (pengantara) ini agama Islam 
statis bahkan cenderung mundur karena masyarakat hanya mengutamakan 
kultur asli masyarakat Gorontalo dan mengenyampingkan kultur yang 
Islami. Kondisi seperti ini yang memotivasi sultan Jogugu Eyato mencetus 
pranata Islami yang lebih idial dari sistem yang diberlakukan oleh Sultan 
Amai dan Sultan Motolodulakiki untuk menghadapi kemunafikan 
masyarakat tentang roh Islam (tauhid). Pranata sebagai sistem pantang 
surut menghadapi kemunafikan tersebut, adalah adati hula-hulaa to 
saraa, saraa hula-hulaa to Quruani (adat bersendikan sara', sara' 
bersendikan kitabullah). 
Beradasarkan sisten ini Sultan Jogugu Eyato dengan Arif melakukan 
perubahan, antara lain : 
1). Meminta pada bantayo po boide menambah kalimat pidato penobatannya 
sebagai Sultan, dari kalimat yang biasa dipidatokan sebelumnya, yaitu kalimat 
dila poluliya lo ito eya (tetapi tuanku tidak diperbolehkan menyalahgunakannya). 
Kalimat pidato penobatan raja sebelumnya, yaitu: 
• Huta- huta lo ito eya ftanah, adalah kepunyaan tuanku). 
• Taluhu- taluhu lo ito eya (air, adalah air kepunyaan tuanku). 
• Duputo-duputo lo ito eya (angin, adalah angin kepunyaan tuanku). 
• Tawu-tawu lo ito eya (manusia adalah manusia kepunyaan tuanku) 
Tambahannya: dila poluliya lo ito eya (tetapi tuanku tidak diperbolehkan 
menyalahgunakannya). 
Pada upacara penobatan Sultan Jogugu Eyato diwarnai dengan makna yang 
menyangkut tugas berat dan mulia, antara lain dapat dilihat pada kalimat: 
a). Tugas Maharaja; moiyo to Allah ... walo Mursala loo wall oe sagala 
fmembantu Allah dan nabi utusanNya, yang telah menciptakan segala-
galanya). 
b). Usaha memakmurkan rakyat, berpedoman pada; agama to taluu, lipu 
pei hulaluu (agama menjadi patokanku dalam mengendalikan negeri ini). 
c). Penyelenggaraan pemerintahan, dasarnya; oliide olimbunga oladia 
poheluma (ada aturan pemerintahan yang di dampingi oleh dewan 
permusyawaratan). 
2). Pembatasan kekuasaan raja. Sultan Jogugu Eyato merumuskan, bahwa 
kekuasaan yang pada diri manusia, terbagi atas kekuasaan lahir dan kekuasaan 
bathin. Untuk menghindari mabuk kekuasaan duniawi maka satu-satunya 
adalah menyandarkan kekuasaan itu pada kehendak Allah SWT, sehingga 
bathin akan disinari oleh cahaya Islam. Rumusan kekuasaan yang ditetapkan 
oleh sultan Jogugu Eyato yang didampingi oleh Bantayo po boida, menetapkan 
pensyaratan seorang yang dipilih menjadi khalifah atau maharaja, adalah a) 
bijaksana, pintar, berpendirian teguh, b) beragama dan berakhlak mulia, c) 
pengendalian diri dan bijaksana dalamkekuasaan, d) kasih saying kepada 
rakyat, e) adil, f) berani dan bijak di dalam menghadapi tantangan. 
3). Sistem pemerintahan berdasarkan aqidah Islam dan mewajibkan sebagian 
sifat 20 Allah SWT mejadi acuan semua aparat kerajaan mulai dari pejabat 
rendahan sampai pada pejabat tinggi, antara lain a) sifat nafsiah, sifat
kepribadian atau sifat wujud (ada). Sifat ini diwujudkan bahwa kerajaan itu 
ada karena ada aktivitas para pejabat dan aktifitas itu harus sesuai tuntunan 
Allah SWT dan Rasul SAW, b) mukhalafatuhu HI hawadis, sifat berlainan 
dengan mahluk yang ditujukan pada perbedaan antara rakyat dan pejabat, 
maka kalau pejabat melanggar hukum maka hukumannya lebih berat dari 
hukuman yang diberlakukan pada masyarakat, c) qalam, berbicara yang 
benar diperuntukan pada buntayo poloide, artinya mereka harus berbicara 
yang benar, musyawarah dengan niat untuk kepentingan rakyat dan kerajaan, 
d) wahadahiyah (Esa), ditujukan pada kerajaan, persatuan seluruh rakyat, 
pembesar kerajaan dan seluruh alam merupakan hubungan zimbiotik, e) sama, 
basar (mendengar, melihat) diperuntukan pada walaupulu (kepala kampung) 
untuk mendengar keluhan rakyat dan wajib menyampaikan pada atasannya 
dan sebaliknya, f) qidam (lebih dahulu), siap sedia diperuntukan pada keamanan 
agar siap dan taat dalam melaksanakan tugas, g) qiamu binafsihi (berdiri 
sendiri) ditujukan kepada baate, wuu, mereka harus tegas pada prinsip tanpa 
dipengaruhi oleh yang lainnya, h) baqa' (kekal) sifat yang harus dimiliki oleh 
sara' , qadi, mufti, imam dan saradaa, mereka melaksanakan syari'at 
Islam secara kaffah tanpa dipengaruhi oleh aliran apapun. 
4). Pembinaan Islam. Sistem pemerintahan sultan Jogugu Eyato mempertahankan 
ketiga sistem pemerintahan, salah satu diantaranya adalah menempatkan qadi 
pada bagian formal. Tugasnya membina Islam, menasehati sultan, mengetuai 
pengadilan pidana dan perdata. Disamping itu tugas utama qadi, adalah a) 
membina Islam, b) membangun masjid dengan wakaf, c) menyelenggarakan 
perayaan Islam baik di istana maupun di masjid, d) membina peradilan, e) 
menjadi penasehat pada siding kerajaan dan peradilan dalam hukum Islam. 
(Polontalo, 2002 : 20) Sedangkan dalam menjalankan tugasnya qadi dibantu 
oleh; a) moputi atau mufti (penasehat di bidang agama Islam), b) panthongo 
(penasehat tentang ilmu falak), c) imam (memimpin ibadah), d) saradaa (wakil 
imam, pengatur tata tertib peribadatan, e) lebi (pembantu saradaa), f) kasisi 
(anggota pembantu saradaa). (Ina Moo, 1979 : 25) 
5). Memperhatikan iptek dan imtak. Dasar pemikiran sultan Jogugu Eyato . 
melaksanakan imtek dan imtak, bahwaAllah SWT memiliki sifat maani yang 
salah satu sifat itu adalah ilmu, Allah mengetahui dan hal ini di jadikan acuan 
pantas atau tidaknya seseorang menjadi raja, antara lain bijaksana, cendekia, 
adil, memiliki akhlak mulia dan hal ini berlaku pula bagi pembesar kerajaan. 
Mengacu pada keriteria tersebut maka kemampuan pembesar kerajaan 
dikelompokan atas empat (4) bagian, a) kelompok kekuasaan yang menangani

keamanan dan keuangan, b) kelompok kehidupan, menangani pertanian dan 
petemakan, c) kelompok cendekiawan, menangani kehidupan keagamaan dan 
adat, d) kelompok kesenangan, menangani pembangunan fisik, antara lain seperti 
jalan, pengairan, perindusterian dan gedung. 
Perlu dikemukakan, bahwa keempat pembagian kerja tersebut memerlukan 
ilmu pengetahuan tentang sifat Allah SWT, yaitu qudrat, iradat, ilmu dan hayat 
dan sifat ini diperuntukan bagi pemangku jabatan, a) qudrat (kuasa) harus dimiliki 
oleh pejabat di bidang kekuasaan dilambangkan dengan warna merah sebagai 
simbol kemampuan, bahwa pejabat tersebut haru memiliki kemampuan menghadapi 
segala sesuatu, b) iradat (kemauan) harus dimiliki oleh pejabat yang menagani 
kehidupan, dilambangkan dengan warna kuning, sebagai simbol kemauan untuk 
mensejahterakan masyarakat, c) ilmu (pengetahuan) harus dimiliki oleh pejabat 
yang menjabat bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan lambang warna 
kuning, sebagai simbol kedewasaan, d) hayat (hidup) harus dimiliki oleh pejabat 
yang menjabat bidang kesenangan, ekonomi dengan lambang hijau sebagai simbol 
kesuburan, pembangunan bidang ekonomi. (Liputo, 1945 :14) 
Kerangka tersebut menunjukan, bahwa ketiga sultan ini yang berperan dan 
sukses dalam proses Islamisasi dan mengantar Islam pada masa pengembangan 
dan keemasan Islam di kerajaan Gorontalo dan dalam masa pemerintahannya 
ketiga baginda sultan memadukan antara adat dan sara' sehingga Islam mudah 
diterima dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, sehingga 
ketiga baginda sultan dikenal dan terkenal dalam kehidupan masyarakat Islam 
Goronalo, terutama Sultan Amai karena seandainya baginda Sultan Amai tidak 
ada maka kemungkinan Islam dipertanyakan berada di bumi persada (kerajaan) 
Gorontalo. Sejak itu Islam berkembang dengan pesat hingga dewasa ini, oleh 
karena itu berkembang suatu istilah dalam dalam masyarakat Gorontalo, bahwa 
bukan orang Gorontalo kalau dia tidak menganut Islam. 
E. Penutup 
Masuknya Islam di berbagai daerah terkait dengan masuk Islam di Nusantara 
(Indonesia) pada abad pertama Hijriah dan sampai di Sulawesi melalui kontak 
perdagangan antar saudagar, maka tidak mengherankan orang yang pertama 
menerima Islam pada umumnya orang yang berada di daerah pantai atau di 
Bandar-bandar yang merupakan jalur perdagangan dan sampai di kerajaan 
Tamalate Tomini yang terletak di Teluk Tomini yang merupakan jalur masuknya 
Islam di Gorontalo, hanya masuk Islam di kerajaan Gorontalo bukan melalui 
kontak perdagangan tetapi melalui kawin mawin antara raja Gorontalo (Amai) 
dengan Putri Awutonga putri raja Boneneto (raja Tamalate Tomini).
Orang yang pertama menerima Islam di Gorontalo adalah Raja Amai, 
menerima Islam langsung di Palasa kerajaan Tamalate Tomini dan Baginda 
Sultan Amai yang membawa dan menyebarkan Islam di kerajaan Gorontalo 
dan setelah di Gorontalo baginda digelar Sultan Amai dan dikenal dalam 
masyarakat sebagai seorang raja yang pertama menerima, muballig (penyebar 
Islam) pertama di Gorontalo di bantu oleh enam raja lokal yang berasal dari 
kerajaan Tamalate Tomini yang dipimpin oleh Putra Mahakota Biharuddin. 
Sejak masa pemerintahan Sultan Amai hingga masa pemeritahan 
Matalodulakiki menggunakan azas dan pendekatan adaptatif, yaitu sara' 
berdasarkan adatt. Sedangkan Sultan Jogugu Eyato juga memerintah dengan 
memadukan antara sara' dengan adat seperti sultan yang lain, tetapi baginda 
Sultan Jogugu Eyato menyepurnakan azas kerajaan menjadi adat bersendikan 
sara' dan sara' bersendikan Kitabullah karena Sultan menganggap bahwa 
pemerintahan dan rakyatnya telah matang untuk memberlakukan azas seperti 
itu dan sistem perpaduan antara sara' dan adat dalam kehidupan masyarakat 
Gorontalo tetap berlaku hingga kini.

Monday, February 3, 2025

Suku Bolango di Bolmong Selatan

        Suku Bolango, adalah suatu suku yang mendiami kota Molibagu, kabupaten Bolsel di provinsi Bolaang Mongondow. Suku Bolango saat ini berpusat di kota Molibagu di Bolaang Mongondow Selatan.

Asal usul suku Bolango tidak diketahui secara pasti, tapi menurut cerita rakyat yang berasal dari daerah Gorontalo, bahwa suku Bolango ini berasal dari wilayah Gorontalo. Pada perjalanan awal nenek moyang mereka berjalan melintas 2 jalur dengan terbagi menjadi 2 kelompok, dan salah satu kelompok menuju Molibagu. Kelompok yang menuju Molibagu ini lah yang menjadi cikal bakal suku Bolango. Saat itu mereka mengangkat seseorang menjadi raja mereka, yang bernama Raja Gobel. Sedangkan kelompok yang satu lagi diperkirakan adalah cikal bakal orang Atinggola di provinsi Gorontalo. (?)

Secara struktur ras orang Bolango, adalah mirip dengan fisik orang Ternate, menurut dugaan dahulunya mereka berasal dari daerah Ternate. Dalam perjalanan panjang migrasi suku Bolango, sejak awal hingga saat ini, diperkirakan banyak terjadi perkawinan-campur antara suku Bolango dengan suku Ternate, suku Minahasa dan suku Gorontalo, Sehingga saat ini dilihat dari struktur fisik orang Bolango, memiliki beragam ciri fisik. Warna kulit dari kuning cerah hingga coklat gelap, rambut dari lurus, ikal dan ada juga yang keriting.

Suku Bolango memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Bolango. Bahasa Bolango ini sangat mirip dan sangat berkerabat dengan bahasa Atinggola, sebagian besar memiliki kosa kata yang mirip, tapi berbeda dialek dan intonasi.

Suku Bolango memiliki beberapa tarian adat yang tetap terpelihara hingga saat ini. Beberapa tarian adat suku Bolango, adalah:

  *.Tarian Dangisa, tarian ini biasanya ditarikan oleh 12 sampai 24 orang laki-laki. Tarian ini dilaksanakan pada saat kerajaan mendapat kunjungan kehormatan dari kerajaan lain.

 *.Tarian Tide No Betuo, tarian ini ditarikan oleh seorang perempuan. Tarian ini dilaksanakan ketka sang raja lagi bersuka ria.

 *.Tarian Tide Noohongia, tarian ini ditarikan oleh sang perempuan anak cucu raja, dimana penari-penarinya memakai pakaian kebaya dan sarung berwarna ungu. Dikepalanya terpancang 7 serangkai bunga serta selendang ditangan. Tarian ini biasanya ditarikan di depan tamu kehormatan, penari memegang selendang dan nantinya akan dilemparkan kepada para tamu agar menari bersama.

 *.Tarian Tide No Oeyabo atau Tari Kipas, tarian ini ditarikan oleh 4 orang perempuan yang disebut dayang dayang raja, dan ditarikan dalam ruangan istana (kemaling) dengan disaksikan para tamu kehormatan.

 *.Tari Jongke, tarian ini ditarikan oleh 3 - 6 orang perempuan yang berpakaian batik dan kebaya diikuti pukulan gendang dan ditarikan di dalam istana.

sumber:
  . medialiputotabuan.blogspot.com: tarian  suku bolango
  . yasirmaster.blogspot.com: perbincangan   tentang sejarah marga gobel
  . medialiputotabuan.blogspot.com: foto
  . wikipedia
  . dan sumber lain

Tuesday, January 7, 2025

Kajian Ta'Uwa Moodelo (2)

MOLAHULI

Setelah sang olongiya menerima gelar ta’uwa, maka para petinggi adat dan para tua-tua melaksanakan prosesi yang disebut molahuli (memberi nasehat, mengungkapkan harapan dan peringatan). Isi dari pesan-pesan tersebut pada pokoknya dimaksudkan agar sang ta’uwa yang baru dilantik ini benar-benar menjalankan kekuasaannya sebagai abdi penyandang beban amanah dari Allah SWT. Berikut ini beberapa tahuli (pesan-pesan) yang penting.

Menjaga harkat dan martabat:

Mbu’i bungale pulu
Wuwa’atiyo tilombulu
Batangiyo taa pulu
Hungaliyo tilombulu

Tuan turunan bangsawan
Asal usul orang keramat
Titisan para pangeran
Anaknya kini dijunjung

Menjaga kerukunan rumah tangga:
 
Dile U dile-dileto
Diludupo duleheto
Bolo ngango molahopo
Mo’o bu’a tomeleto

Istri yang dimanja-manja
Hilangkan kecurigaan
Jikalau mulut berucap salah
Akan terjadi perselisihan/perceraian

Pemimpin menyandang amanah Allah:

Timihupo to madala
To talohu to hulala
To po badari to Allah
To Azza Wajala
Wolo Nabi Mursala
Mo’o piyo to Allah
To’u mo’opiyo to Allah
Bolo du’a de Allah
Umuru Sejahtera

Pimpinlah negeri
Dengan arif dan bijaksana
Sesuai yang digariskan Allah
(yang digariskan Allah) Azza Wajala
Dan (ketentuan dari para) nabi yang suci dan benar
(Bekerja) demi kebaikan Allah
Agar baik di mata Allah
Berdoalah (selalu) kepada Allah
(agar) panjang umur dan sejahtera

Kepemimpinan yang rajin dan tulus:

Olohulo layito
To utiya to uwito
Pulanga pali-palito
U mopiyo to didipo
Bo hale motideto

Rajinlah selalu
Berbuat ini dan itu
Gelar sudah menyelimuti(mu)
Yang terbaik dalam hidup
Hanya hati ikhlas dan tulus

Menaati peraturan:

Donggo ito taa ta’uwa
Lipu hu’a aturuwa
Maa dila li’u-li’uwa
Wonu bolo o li’uwa
Wu’udio opuluwa

Selagi Tuan menjadi ta’uwa
Negeri segeralah diatur
Jangan diselewengkan
Jika terselewengkan
Aturan tegakkanlah

Tegas dalam keputusan/tindakan:

Ami tiyombu tumudu
Hiwolata lo’ wu’udu
Wonu motihuludu
To’olauto tumudu

Kami nenek/kakek penjaga aturan
Mempertahankan kaidah
Jika (kami) membangkang
Tuanlah yang menghakimi

Menjaga diri dari ucapan tercela:

To bandla muliya
Ito ma lo tahuliya
To lipu duluwo botiya
Leule elehiyo
Bolo ilo ilo lo’iya
Lo’iya u dila opiyo
To daata u manusia

Cucunda yang mulia
Kita sudah saling mengikat janji
Di kedua negeri ini
Sekali-kali janganlah
(Janganlah) berkata-kata
Kata-kata yang tidak terpuji
Kepada banyak orang

Kepedulian akan kesejahteraan rakyat:

Ami tiyombu tanggapa
Hepipide Hewalata
Tomobohimu palata
O lale lo huwa data
Dahayi hulalata
Tunggulo u ilomata
Wu’udiyo bubulata
To bandla wombu ilata

Kami kakek/ nenek mengawasi
Semua siap siaga
Mengatasi kesulitan
(demi) kepentingan rakyat jelata
Rawatlah kesejahteraan (rakyat)
Sampai ada karya nyata
Tetapkan norma dan aturan
Bagi anak cucu tercinta

Kedelapan tuja’i tersebut adalah harapan masyarakat (ulipu) agar sang pemimpin atau penguasa menjalankan tugasnya sebgai khalifah pemimpin rakyat dan pemimpin umat yang benar-benar penyandang Amanah Allah, dan menjaga gelar itu sampai pada akhir hayatnya, sehingga gara’i (gelar adat yang diberikan kepada orang yang sudah mangkat) akan lebih tinggi nilainya dari pulanga yang dimiliki semasa hidup, atau sekurang-kurangnya sama derajatnya. Pemimpin mesti dapat meniru bulewe (pokok pinang) seperti pesan para tetua; Donggo hu’u-hu’umo sambe wonu, to’u lo ngo’abu lebe ma’o wonu liyo, tunggulo u maa lo lolante debo wonu-wonu. Artinya; sebelum mekar sangat harum, setelah mekar lebih semerbak harumnya, bahkan ketika dia layu pun tetap harum dimana-mana.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Foto : Beberapa di antara banyak buku yang pernah ditulis oleh Medi Botutihe, juga beberapa buku tentang Medi Botutihe.

Elnino M Husein Mohi

Saturday, January 4, 2025

Kajian Ta'Uwa Moodelo (1)

Tulisan Elnino Mohi 

Tuja’i Penganugerahan Gelar Ta’uwa

Dalam prosesi dan upacara penganugerahan gelar ta’uwa, rakyat yang diwakili oleh para pemangku adat mengumandangkan tuja’i-tuja’i (sajak-sajak suci). Sajak-sajak itu berisi aturan atau hukum-hukum yang mengatur kehidupan kejiwaan maupun perilaku si penerima gelar. Beberapa tuja’i yang penting untuk dibahas di sini adalah sebagai berikut.

Tuja’i persatuan Gorontalo-Limboto:

Wallahi-wallahi otutu
Hulontalo Limutu
U tutuwawuwa otutu
Dahayi bolo moputu
Ode janji to buku

Dengan Allah, Dengan Allah sesungguh-sungguhnya
Gorontalo Limboto
Yang sama dan serasi persis
Jangan sampai terputus
Seperti janji yang tertulis

Tuja’i ini mengingatkan bahwa di antara kedua Pohala’a ini (Gorontalo dan Limboto), telah terjalin suatu perjanjian tertulis yang dikukuhkan dengan sumpah pada 12 Sya’ban 1084 H. Limboto dan Gorontalo adalah bersaudara kembar-identik yang tak terpisahkan sepanjang zaman. Tidak mengherankan bila upacara penobatan olongiya lo limutu (Raja Limboto) sebagai ta’uwa dilaksanakan oleh jajaran adat Gorontalo. Begitu pula sebaliknya, bila olongiya lo Hulondlalo (Raja Gorontalo) yang diberi gelar, maka pelaksana upacaranya adalah masyarakat adat Limboto.

Tuja’i peringatan agar jangan tercerai:

Billahi, billahi, billahi
Limutu Hulontalo
Dahayi mawalo
Wonu bolo mawalo
Mowali mobunggalo

Dengan Allah 3x
Limboto Gorontalo
Jaga jangan sampai retak
Jika sampai retak
Akan menjadi hancur berantakan

Tuja’i telah menjelaskan sebab akibat, yaitu jika tidak memelihara kerukunan kedua negeri, maka negeri itu akan hancur dan masyarakat akan menjadi liar kembali. Limboto dan Gorontalo bukan bersaing dengan penonjolan, tetapi saling menopang dalam pembangunan. Perbedaan pendapat mesti dimusyawarahkan dalam lingkaran rasa persaudaraan yang kokoh.

Tuja’i pemantapan:

Tallahi, Tallahi, Tallahi 
Delo tahuwa to nurani
Syara’a wawu adati
Wahu popobiibiya
Adati wawu syari’iya
Dila bolo wohiya motiya
Odudu’a lo tadiya

Dengan Allah 3x
Simpanlah dalam nurani
Syari’at (Islam) dan adat
Buatlah seimbang
Adat dan syariat
Jangan sampai ada tarik-ulur atau terpisah
Akan tertimpa sumpah (kutukan)
 
Tuja’i ini menegaskan bahwa adanya keseimbangan adat sebagai tata karama atau penata moral, syariat adalah kewajiban sebagai muslim dan pelanggaran adat berarti pelanggaran sumpah, pelanggaran syariat adalah dosa. Kedua-duanya akan menerpa setiap manusia pelaku dan penyandang gelar adat.

Tuja’i pengukuhan penguasaan:

Huta, huta lo ito Eeya
Tulu ,tulu lo ito Eeya
Dupoto, dupoto lo ito Eeya
Taluhu,Taluhu lo ito Eeya
Tawu, Tawu lo ito Eeya
Boo ito Eeya dila poluli hilawo

Tanah, tanah milik Tuanku
Api, api milik Tuanku
Angin, angin milik Tuanku
Air,air milik Tuanku
Rakyat, rakyat milik Tuanku
Tapi Tuanku jangan berbuat sesuka hati

Jelas dalam tuja’i tersebut, penyandang gelar ta’uwa diberikan kewenangan pada tanah air, angin, api dan manusia, tapi tidak dibenarkan sewenang-wenang menuruti hawa nafsu.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Foto : Pak Medi Botutihe dan ibu Hadidjah Suratinoyo Botutihe dalam suatu kegiatan adat Gorontalo. Copyright foto : Mas Rosyid A Azhar

#gorontalo #artikel