Tuesday, December 10, 2024

Mengenal gelar adat Ta'uwa di Gorontalo

      Ada lima jenis penyebutan untuk gelar Ta’uwa, yaitu Ta’uwa Lo Madala, Ta’uwa Lo Lahuwa, Ta’uwa Lo Hunggiya, Ta’uwa Lo Lingguwa dan  Ta’uwa Lo Daata. Kelimanya dapat pula disebut sebagai Ta’uwa Lo Lipu (Sang Khalifah Negeri). Lima macam penyebutan gelar tersebut sama sekali tidak membedakan status sang ta’uwa. Perbedaan itu hanya pada nama belaka. 

1) Ta’uwa Lo Madala
          Madala bermakna negeri yang indah, dimana pemimpinnya adalah penguasa yang bukan mencari kenikmatan dunia. Seluruh pemikirannya adalah bagaimana menjadikan negeri ini dapat memberikan kesejukan hidup; para petani dan nelayan, para buruh dan pekerja hidup dalam kesederhanaan, kemiskinan dapat diatasi dengan pajak negeri itu sendiri. Penguasa lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya sendiri. 

Indah bukan berarti negeri ini penuh dengan kemewahan, tetapi indah karena keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Penguasa adalah panutan karena agamawan, pemerintah senantiasa berkiprah pada tiga jalur tali keadaban, yaitu Buwatulo Totolu atau Buwatulo Towulongo, sehingga moralitas masyarakat terkontrol dan terkendali.

Pemimpin yang berhasil dan memiliki karakter atau sikap bukan untuk mencari kenikmatan dunia inilah yang patut dianugerahi gelar sebagai Ta’uwa Lo Madala.

2) Ta’uwa Lo Lahuwa
 Lahuwa adalah negeri yang memiliki kewibawaan. Kewibawaan ini adalah berkat kepemimpinan seorang penguasa yang bertindak arif dan tegas, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, baik dari tingkat yang lebih atas, maupun aturan-aturan yang dibuat oleh negerinya sendiri.

Bahkan ia tak segan-segan menerapkan hukum Allah, jika aturan yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Ketaatan tentang hukum ini, membuat masyarakat tenang, dan takut membuat pelanggaran. Kepemimpinan penguasa ini wajar jika dianugerahkan sebagai ”Ta’uwa Lo Lahuwa”.

3) Ta’uwa Lo Hunggiya
 Hunggiya adalah negeri yang memiliki daya tarik tersendiri, yaitu negeri yang dipimpin oleh seorang penguasa yang ramah, arif, bijaksana dan penuh kekeluargaan. Negeri ini menganggap bahwa penguasa adalah seorang kepala keluarga, yang membesarkan, memelihara dan menyejahterakan keluarganya, dalam hal ini rakyatnya. Pemimpin ini lebih mementingkan kepentingan rakyatnya dari pada kepentingannya sendiri.

Dalam pemerintahannya penguasa tersebut sangat menghargai fatwa para tua-tua, dan selalu bermusyawarah untuk mufakat. Kebijakan-kebijakan yang penuh kekeluargaan sangat berkesan di hati rakyat sehingga kesan-kesan dalam pembangunan negeri ini selalu dikenang sepanjang masa. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter ini wajar jika dianugerahkan pulanga sebagai ”Ta’uwa Lo Hunggiya”.

4) Ta’uwa Lo Lingguwa
          Lingguwa dalam konteks ini dimaknai sebagai negeri yang kuat, tahan lama dan awet. Peristilahan lingguwa diambil dari nama sejenis kayu kelas satu yang sangat kuat. Biasanya dipakai sebagai tiang atau pasak utama pada bangunan-bangunan di Gorontalo.

Gelar Ta’uwa lo Lingguwa disematkan kepada seorang pemimpin yang kuat karena wawasannya yang luas, arif karena ilmu yang dimilikinya, tegas dalam tindakan dan konsekuen dengan apa yang menjadi keputusan. Dicintai rakyat karena ketegarannya dalam membela hak rakyat. Kepeduliannya akan umat sangat tinggi, bukan saja di dalam negerinya tetapi di negeri-negeri sekitarnya.

Pembangunan fisik bagi pemimpin ini soal kedua, tetapi pembangunan moral menjadi keutamaan. Sifat keterbukaan membuat penguasa ini tahan kritikan dan hujatan.

5) Ta’uwa Lo Daata
 Daata berarti banyak. Negeri ini banyak kegiatan yang tercipta, baik untuk meramaikan negeri, maupun pembangunan yang bermamfaat untuk masyarakat. Oleh sebab itu penguasa negeri ini banyak jabatan yang di pegangnya, demi untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan lainnya adalah keberanian dan kemampuannya membuat terobosan baru, yang dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan masa yang akan datang. Teguh pendirian, kepedulian akan peningkatan sumber daya manusia menjadi patokan perencanaannya. Pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter seperti ini wajar di anugerahkan gelar ”Ta’uwa Lo Daata”.

(Sumber: Mo'odelo, 2006, Penerbit: Pustaka Gorontalo, karya
Medi Botutihe, kolaborasi dengan Farha Daulima & Elnino)

Monday, December 2, 2024

Benteng Oranje

Tulisan Rosyid A Azhar.

Setelah VOC mengambil alih kerajaan Gorontalo dari Ternate pada tahun 1681, Benteng Leiden untuk sementara menjadi satu-satunya bangunan pertahanan batu yang mengawasi perairan yang luas dan sulit dikendalikan di sekitar Sulawesi Utara. 
Benteng ini dibangun di atas fondasi bekas benteng Portugis Ota, benteng yang awalnya dibangun pada tahun 1527 dan baru digunakan beberapa tahun pada masa Portugal mencoba menguasai wilayah tersebut. 
Selain Benteng Leiden, VOC memiliki beberapa pos kecil yang terbuat dari kayu dan tanah dengan jumlah staf yang minim. Baru pada tahun 1764 dibangun benteng batu Nassauw di Gorontalo yang kemudian menjadi pusat kegiatan perusahaan.
Pada tahun 1766, Benteng Leiden diperluas dan direnovasi serta sebuah menara pengawas dibangun di atas bukit tersebut, dan baru pada saat itulah benteng tersebut mendapatkan namanya. Benteng berbentuk persegi panjang ini memiliki dua bastion berbentuk bulat. 
Dari jumlah tersebut, hanya benteng tenggara yang masih ada. Tidak diketahui seperti apa bentuk asli benteng tersebut, tetapi rencana dengan benteng bundar mungkin berasal dari zaman Portugis. Dindingnya setinggi 2-3,5 m dan tebal satu meter. 
Benteng ini merupakan tempat kedudukan sub-pedagang dan garnisun kecil. 
Benteng Leiden ditinggalkan oleh Belanda pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1818 benteng ini ditempati kembali oleh seorang sersan dan 12 tentara. 
Benteng Leiden dibubarkan pada tahun 1832 karena garnisunnya dipindahkan ke Soelamatta untuk mengawasi pasokan emas kepada pemerintah.
Benteng yang dipugar sekarang menjadi objek wisata.  Nama saat ini, Benteng Oranje, tidak dapat ditelusuri kembali ke zaman VOC.

Tuesday, November 26, 2024

Laporan Pertanian di Gorontalo tahun 1871

Tulisan dari Rosyid A Azhar

Setelah tinggal selama dua tahun di wilayah asisten residen Gorontalo, Robert Wolter Baron Van Hoevel sudah mampu mengenali kondisi masyarakat dan daerah, termasuk kemampuan mereka di daerah yang padat maupun kurang penduduk.
RW. Baron van Hoevell membuat catatan produk pertanian penting yang dikembangkan di Gorontalo, juga budidaya pertanian baru yang dianggap memiliki prosptektif di masa depan.
Namun kondisi sejumlah daerah di Gorontalo saat itu tidak sepenuh dapat dikontrol oleh pememrintah Hindia Belanda meskipun ada pemerintahan di bawahnya di wilayah Gorontalo, Paguat, Bone, Kwandang dan Limboto, banyak daerah-daerah yang berdiri sendiri dan saling bergesekan satu sama lain. Tidak ada jaminan kepemilikan hak, karena antardaerah terjadi perselisihan. Para pemimpin daerah ini juga menentang upaya pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kebijakan industri di daerahnya. Para pedagang lokal juga hanya sampai di daerah pesisir untuk melakukan transaksi.
Produk pertanian tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat,  lahan pertanian banyak terdapat tanah keras dan sulit ditanami. Pada daerah ketinggian lapisan tanah atas (top soil) sangat tipis, tidak bisa ditanami tamaman yang memiliki akar dalam. Batu kapur adalah pemandanagn yang biasa. Banyak orang mengira di bagian pegunungan lebih subur, bamun faktanya sebaliknya.
Pengairan pertanian menggunakan sungai alam, hanya ada sungai yang layak dilayari dengan perahu kecil di bagian muara.
Produk pertanian adalah beras, namun komodfitas ini tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat. Demikian juga dengan produksi jagung. Bulir beras Gorontalo sangat kecil, kadar kapurnya tinggi, nilai gizinya rendah. Jika gabah sudah dikupas menjadi beras, maka daya simpannya pun sangat pendek.
Upaya pemerintah hindia belanda untuk mendatangkan benih padi dari daerah lain banyak dilakulkan, namun  hasilnya tetap saja tidak sesuai harapan. Unsur hara tanah memang sangat minim, meskipun dilakukan pembajakan sawah berulang kali.
Padi yang ditanam di daerah yang memiliki ketersediana iar berlimpah diharapkan dapat memberi hasil panen yang berlimpah. Benih yang berulang ditanam juga diharapkan akan menghasilkan tanaman yang benih yang adaptif.
Setiap tahun banyak ladang yang menganggur, lahan ini tidak dibajak. Dalam beberapa bulan terakhir pemerintah hindia belanda mencatat harag beras berada pada ksaran 6-8 gulden  
Dalam beberapa bulan terakhir harga beras di Gorontalo seringkali berada di antara 6-8  gulden per pikol, namun ketersediaannya sangat langka.
Hampir tidak ada dataran tinggi di wilayay asisten residen Gorontalo, ini berarti bukan daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman kopi. Kenyataannya tanaman kopi tidak menghasilkan buah yang maksimal meskipun ada beberapa yang tumbuh baik, naun secara umum produktifitasnya rendah. Pemerintah Hindia Belanda sudah mencoba menanam kopi di daerah ketinggian namun hasiolnya tetao saja tidak sesuai harapan.
Tidak berhasilnya komoditas ini sangat mungkin akibat tipisnya top soil dan rendahnya unsur hara. Kopi yang ditanam di sekitar atau permukiman warga yang sering dipupuk menghasilkan buah yang banyak.
Di komoditas lain, budidaya kapan juga tidak maksimal, bahkan produk kapas tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Gorontalo.
Mengumpulkan produk kapas masyarakat sudah tidak bisa dilakukan, kecuali pememrintah membujuk masyarakat untuk membangun perkebunan kapas dalam jumlah besar yang dapat menjamin pasokan secara teratur maka komoditas ini sangat mungkin untuk dikembangkan karena memiliki potensi keberhasilan yang besar.
Optimistis ini m,uncul karena kondisi tanah Gorontalo cocok ditanami pohon kapas yang merupakan tanaman semak atau perdu. Jika pun tanaman iuni berhasil tumbuh dan berproduksi, namun hasilnya tidak mampu bersaing dengan kamoditas serupa dari daerah lain.
Menurut pendapat para ahli kapas Gorontalo berserat pendek dan dari segi nilai dan harga sangat mirip dengan kapas dari pulau Bali. Kapas mentah diperdagangkan di kalangan penduduk asli dengan harga ƒ 0,065 hingga ƒ 0,075 katti, namun, sebagaimana disebutkan di atas, jarang atau tidak pernah tersedia dalam jumlah yang besar. Sayangnya para pedagang arab dan cina tidak tertarik dengan komoditas ini.
Tembakau banyak dibicarakan orang dalam dunia perdagangan, sebagian orang membayangkan sebagai gunung emas. Tembakau ini adalah tembakau Gorontalo yang berbeeda vaietas dengan tembakau yang ditanam di kelokan daratan teluk Tomini misalnya tembakau Tinombo. Faktanya tidak ada perkebunan tembakau yang dikelola secara baik dalam jumlah yang besar. Produksinya selalu berada jauh di bawah kebutuhan, sementara pasokan dari luar daerah berupa tembakau siap pakai, yang berasal dari Tinombo.
Di wilayah Kwandang yang menjadi bagian dari wilayah kerajan Atinggola, ribuan tanaman tembakau dibudidayakan setiap tahunnya. Sebagian tanaman diolah secara tradisional, sebagian dijadikan komoditas di daerah pesisir di pantai utara. Sayangnya penanaman dan perdagangan tersebut terlalu kecil dan tidak teratur untuk dijadikan dasar penghitungan.
Percobaan penanaman komoditas ini sempat dilakukan satu kali di Gorontalo untuk pasar Eropa, namun hasil yang diperoleh pada saat itu tampaknya tidak mendorong pengulangan kualitas tembakau yang diperoleh pada saat itu,  ditanam dan diolah di bawah pengawasan seorang ahli dari Eropa pada lahan hutan yang baru dibuka, cukup baik, produk yang diperoleh tidak berhasil.
Varietas tyembakau juga didatangkan dari daerah lain di Hindia Belanda. Sejumlah kecil cerutu dibuat dari tembakau Gorontalo, dibuat dari beberapa daun tanaman pilihan, ditanam atas desakan para pejabat Eropa dan pribumi di tempat-tempat kecil yang subur.
Asisten Residen membuat regulasi penanaman tembakau yang belum banyak diketahui oleh penduduk Gorontalo. Warga dipaksa meninggalkan tanaman yan biasa mereka budidayakan dan beralih ke tembakau,  regulasi ini berhasil memaksa sepertiga penduduk untuk menanam tembakau. Paksaan ini diprediksi mampu menghasilkan 6600 pikol tembakau.
Perhitungan pemerintah menyatakan 3.300 dari 10.000 keluarga masing-masing menanam 3000 tanaman tembakau sesuai standar eropa. Program ini  dibebankan kepada raja dan penyelenggara peemrintahan di bawahnya. Pememrintah Hindia Belanda hanya bertugas melakukan pengawasan umum atas jalannya program ini sebagaimana telah diatur dalam berbagai kontrak lama.
Ia menilai orang Gorontalo lebih berbakat sebagai pedagang adri pada sebagai petani. Namun jika sebagai pedagang mereka kekuranagn modal, namun juga tidak cocok sebagai petani karena mereka tidak terbiasa dengan pekerjaan tetap. Tubuh petani umumnya yang lemah, kualitas makanan tidak memadai membuatnya tidak mampu melakukan aktivitas yang signifikan.
Praktik di bidang pertanian dilakukan dengan cara yang paling primitif, karena semua peralatan pertanian yang penting masih kurang dan dtidakntahu harus bagaiamana, sebagai akibat dari cara hidup nomaden yang dianut selama ini. (R., 20 Juli 1871)

Sumber Tijdschrift voor nederlandsch indië van D W.R. Baron van Hoevell, voortgezet door eene vereeniging van staatslieden en geletterden.
Derde Serie.
5de jaargang
tweede deel
Te Zalt-bommel, bij Joh. Noman en Zoon, 1871.

Friday, October 18, 2024

Catatan Singkat Batudaa tempo dulu

Menurut cerita dari masyarakat setempat. Kata Batudaa atau Botudaa berasal dari kata " Botu" dan " Daa" artinya batu besar, ada yang mengaitkan batu besar dengan keberadaan seorang Aulia bernama Tane Mela yang berada di desa Payunga.

Batudaa masuk dalam wilayah Kerajaan Limboto, bahkan pernah menjadi lokasi ibukota kerajaan, diantaranya di bubohu. Catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1871-1873 pernah terjadi perang yang dikenal Perang Panipi, dipimpin oleh Pangeran Bobihu melawan pemerintah Hindia Belanda. Panipi adalah kerajaan kecil yang masuk wilayah Distrik Batudaa.

Saat wilayah Gorontalo tidak ada lagi sistim kerajaan dan digantikan pemerintahan
 langsung oleh Kolonial Belanda maka pada tahun 1889 Distrik Batudaa dibawah Afdeeling Gorontalo. Kemudian tahun 1925 Wilayah Administrasi Batudaa berubah menjadi Onder Distrik Batudaa berada dibawah Distrik Limboto. Dalam perkembangan selanjutnya Batudaa termasuk salah satu kecamatan saat terbentuknya Kabupaten Gorontalo tahun 1960. Sekarang Kecamatan Batudaa telah dimekarkan menjadi Kecamatan Batudaa, Bongomeme,Batudaa Pantai, Biluhu, Tabongo dan Dungaliyo

Nama Marsaoleh Batudaa jaman Hindia Belanda
Molangga Kaluku 1870
Mahamud (Mahmud Assegaf) 1885
Achmadi Adam 1889
Uno Van Gobel 1898
Hipi 1907
Mahmud Hipi 1940

Saturday, January 20, 2024

Kisah Mopangga, Ta To Amarale

Dahulu kala di Gorontalo, ada seorang bangsawan yang diangkat menjadi patih/jegugu bernama Mopangga. Lantas hingga saat ini turun temurunnya sdh menggunakan namanya itu sebagai nama marga. Lanjut kisah ini, ada pula salah seorang saudaranya dinobatkan menjadi Sultan atau raja yang memimpin di kesultanan Limboto. Kini nama bawaan lahir sang sultan pun sudah digunakan menjadi nama belakang atau disebut sebagai nama marga.
Setelah menjabat sebagi jegugu, Mopangga banyak menghabiskan masa-masa kehidupannya di dalam sebuah pemerintahan untuk membangun Paguato dan sekitarnya (Termasuk Tilamuta skrg). Semasa pemerintahannya yang notabene masih dlm kategori zaman kekunoan, Jegugu Mopangga sempat memperoleh gelar dari pengurus besar kaula adat dan juga pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Hal itu dianugerahkan kepadanya oleh karena beliau dianggap pemimpin yang sukses di dalam karir politiknya. Yaitu turut mendampingi Sultan Limboto bernama Naki untuk mengantarkan Tilamuta menjadi pusat pemerintahan baru, sekaligus melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah kesultanan Limboto. Sebelum mangkat, beliau memperoleh sebuah cinci berwarna hijau sebagai tanda jasa. Oleh sebab itu pada saat pesta penganugerahan gelar adat (Pulanga) pada dirinya, Mopangga diberi gelar "Tato Amarale". Arti kiasannya ialah, Pemimpin yang diberi tanda berpermata Emeral, atas jasa jasanya ketika berkuasa ia mampu membawa rakyatnya selalu hidup dalam kedamaian.


Sumber ceritera:
1. Disertasi Prof. DR, Samin Radjik Nur, SH.
2. Manuskrip keturunan keluarga kerajaan Bulango.
3.Postingan Maman Ntoma

Saturday, December 2, 2023

Tokoh Perempuan di Gorontalo

HASANAH DILATO (1907-1972)

Hasanah Dilato merupakan generasi awal bidan di Gorontalo. Perempuan kelahiran Mongolato 5 Oktober 1907 ini menempuh pendidikan kebidanan di Sekolah Bidan Kemuliaan Jakarta. Sekolah ini didirikan seiring dengan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) pada tahun 1935-1938.

Selepas pendidikan, Hasanah Dilato kembali ke Gorontalo dan merintis pendirian Rumah Bersalin di Talaga yang dinamai BUDI yang merupakan singkatan dari Badan Usaha Dari Indonesia. Seiring meningkatnya angka kematian ibu bersalin dan angka kematian anak di Gorontalo, maka Hasanah Dilato diberikan kepercayaan untuk memimpin Balai Kesejahteraan Ibu Dan Anak (BKIA) Gorontalo.

Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak di Gorontalo, maka bersama dr.Lim Keng Hong seorang kinder art, Hasanah Dilato membuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini diikuti oleh lulusan SMP dengan tambahan dua tahun pendidikan kebidanan dasar. Sebagian besar lulusan PK/E melanjutkan pendidikan kebidanan selama dua tahun lagi. 

Hasanah Dilato wafat pada 22 Juli 1972. Almarhumah telah meletakkan dasar-dasar bagi profesi bidan dan pelayanan kebidanan di Gorontalo.

MARIE LAMADLAUW
(1908-1988)

Tokoh perempuan kelahiran Gorontalo tahun 1908 ini semasa hidupnya berkiprah di sektor pendidikan sebagai guru dan kepala sekolah putri Gorontalo. 

Saat Muhammadiyah Gorontalo pada tahun 1930 mendirikan Aisyiyah sebagai salah satu organisasi otonom bagi kaum perempuan Muhammadiyah, maka Marie Lamadlauw terpilih sebagai Ketuanya.

Bersama adiknya Helena Lamadlauw dan sejumlah tokoh perempuan Gorontalo, Marie Lamadlauw memperjuangkan pembangunan sebuah balai pertemuan sebagai sarana berkumpulnya kaum perempuan Gorontalo.

Pada tahun 1950, Marie Lamadlauw memimpin delegasi perempuan se pulau Sulawesi untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Pada kesempatan itu beliau membawakan cendera mata kain karawo untuk Presiden Soekarno.

Beliau wafat di Gorontalo pada tahun 1988 dan dimakamkan di pekuburan keluarga Bakia, Heledulaa Kota Gorontalo.

Prof. MINTJE KASIM

Bersama suaminya Prof Thahir Musa ikut andil berdirinya perguruan tinggi di Gorontalo, diantaranya IKIP Manado cabang Gorontalo yang sekarang menjadi Universitas Negeri Gorontalo. Tahun 1990 MINTJE KASIM diangkat menjadi Guru Besar pendidikan bahasa. Bersama suaminya ikut pula mendirikan Rumah Sakit Islam Gorontalo dan juga melibatkan diri berdirinya Rumah Sakit Siti Khadijah. Sepanjang kariernya beliau pernah sebagai anggota DPRD kota Gorontalo.

Thursday, November 30, 2023

Asal Usul Penduduk Sulawesi Utara


Menurut tradisi penuturan yang tersebar di antara Sangihe, Tombuluh, Mongondow, Suwawa,Gorontalo, Tomini, dan Tinombo, Selebes Utara, yaitu bagian dari Pulau yang saat ini berada di antara tandjung Papalempungan di utara dan tanjung Kampar Parigi di selatan, dulunya memiliki bentuk fisik yang sama sekali berbeda.Batas tanjung ini kemudian mencapai ke utara hanya Wulur-mahatus, yang merupakan pegunungan yang saat ini terletak di antara Minahasa dan Mongondow. Lekukan Tomini lebih luas ke arah timur laut, karena pada saat itu dataran Gorontalo dan Molombulahe, serta Bawangio sebagian tertutup oleh laut. Dataran rendah pantai yang sekarang ditemukan di berbagai tempat, seperti di Bolango dan lainnya, belum ada, tetapi kurang lebih merupakan ceruk dalam, di mana laut mencapai kaki kawah yang sudah punah dan pegunungan yang terangkat, yang memanjang sejajar dengan pantai dari Mongondow ke Parigi, Perubahan yang dimaksud dalam tradisi tersebut adalah menyatunya pulau-pulau vulkanik yang terletak di utara Wulur-mahatus, atau tepatnya di antara pulau itu dengan kepulauan Sangihe, yaitu Tamporok, Kalawat, Lokon, Masarang Tampusu, Soputan, dan lain-lain. atau asal usul Minahasa. Peristiwa ini, mungkin disertai dengan fenomena luar biasa, yang penyebabnya berada di luar pemahaman penduduk primitif Selebes Utara, dapat dimengerti, telah menghasilkan kesan yang begitu mendalam sehingga semua pernyataan, setidaknya dalam hal ini, sangat mirip.
 


Sebuah tradisi yang saya temukan sekitar belasan tahun yang lalu di antara orang-orang Sangihe, sementara itu, memunculkan pendapat, yang kami pelajari sebelumnya bahwa Minahasa saat ini, termasuk Kepulauan Sangije, dulunya adalah sebuah daratan besar yang membentang ke utara sampai Saranggani dan Makalesung. Akan tetapi, tradisi penuturan, yang ditulis dari laporan satu orang, tidak pantas untuk terlalu dipercaya. Dari catatan lain tampaknya lebih mungkin, sejauh yang dapat dipastikan, bahwa pulau Siaw dan pantai utara Minahasa pernah dipisahkan oleh laut. Pulau Tagulandang yang sekarang, yang berarti 'menyeberang jalan', terletak di antara keduanya dan diberi nama untuk lokasi ini. Namun, Pulau Mangindanau pada masa itu membentang sepanjang ke arah selatan pulau Siaw. 

Masambehtiroh , pejuang dari Mahengetan, sebuah wilayah yang terletak di utara pulau Siaw yang sekarang, pergi ke darat bersama para pengikutnya untuk berperang di bagian ini. Tidak sampai Makapudelloh, putra Batahansorong sebagai datu atau pangeran, memerintah Mahengetan bahwa sebagian besar Mahengetan tenggelam. daratan ini jatuh di kedalaman, menurut kepercayaan kuno, karena alasan dia memperkosa saudara perempuannya Taroara. Mengakibatkan muncul bencana ini. 

Negara tertinggi yang dihuni sendirian, dan karena penduduknya, mereka kehilangan sanak saudara dan keluarga mereka, merayakan ratapan dan nyanyian setiap hari untuk waktu yang lama setelah itu, tanah ini diberi nama "Sangi", dari dasar kata kerja "Sumangi", yang berarti meratap atau ratapan kesedihan oleh Bencana. 

Bukan tidak mungkin bahwa Bencana vulkanik yang menghancurkan Mahengetan secara bersamaan menenggelamkan dataran rendah yang terletak di antara Wulur Mahatus dan pulau Tagoelandang. Menurut tradisi tutur lisan, kejancuran dan Bencana ini terjadi beberapa waktu kemudian. Juga tidak dapat dibenarkan dengan pengetahuan tradisi apa pun bahwa puncak-puncak Tamporok, Kalawat, Lokon, dan lain-lain yang terpencil, pernah terhubung dengan dataran tinggi Mongondow. 

Mungkin sebelum terbentuknya pulau-pulau vulkanik tersebut di atas, Selebes Utara telah meluas sampai ke pulau Makalesung; tetapi petunjuk-petunjuk itu mengecewakan kami, dan terlepas dari segala upaya yang kami lakukan tidak menemukan bukti tentang hal ini dalam cerita-cerita rakyat suku-suku tetangga. 

Pembentukan dataran Gorontalo dan Molombulahe dan sebagian dari Bawangio, serta pembentukan dataran rendah, menurut peristiwa tradisi lisan di kemudian hari. 

Dari informasi yang ada belum memiliki landasan kuat dari sudut pandang sejarah kemungkinan informasi dari semua tradisi lisan ini, seperti yang ai sampaikan di atas, belum dapat kami pastikan secara akurat. Sebaliknya, hasil yang diperoleh dapat dibawa ke tingkat kepastian tertentu dengan bukti geognostik. Oleh karena itu, penting untuk mencatat sesuatu tentang ini juga. 

Sebuah survei dari wilayah Minahasa memberikan kepastian yang cukup bahwa sisa letusan gunung berapi yang masih dapat ditemukan di sana, yang sebelumnya terisolasi sebagai pulau,mengisi kedalaman menengah dan celah-celah yang terhubung satu sama lain, Bukti di permukaan dan di beberapa kedalaman basal, trachyte, trachyte porphyry dan produk vulkanik lainnya, seperti tuf, terak, lava, obsidian, pasir vulkanik dengan bagian feldspath dan kristal augit, merupakan bukti yang cukup untuk menetapkan asal-usul ini. 

Terbentuknya dataran Gorontalo dan Molombulahe, dan sebagian Bawangio, terutama disebabkan oleh dua penyebab, yaitu, terjadi pengangkatan tanah dan pendangkalan sedimen yang berangsur-angsur tersapu dari pegunungan ke utara. Hingga ketinggian lebih dari dua ratus meter dapat ditemukan dipegunungan batu karang yang terangkat dengan banyak cangkang yang dapat di temukan. Di beberapa tempat granit muncul sebagai blok yang tidak menentu. Kemudian lapisan greywacke, napal, batupasir berwarna coklat besi atau merah dan lempung plastis jenis abu-abu, kuning atau biru. Sebagian dari dataran ini dapat dibawa ke Formasi Plusiatik, yaitu tempat-tempat yang disebut sebagai dasar emas, dan di mana jejak-jejak hornblende, serpentine, syenit, klorit, batu tulis silika, kuarsa, feldspath, besi mika, dan arsenikki tembaga dan emas dapat ditemukan. sebagian besar terletak di kaki pegunungan yang ditinggikan, tampaknya telah tersingkap oleh limpasan dan tekanan. Selain gunung berapi Minahasa tersebut di atas, kawah yang terbakar di Maelang sebelah barat Mongondow, dan Buliohuto, yang terletak di antara Buol dan Sumalata, belum lagi puncak-puncak lainnya, seperti Bulalo di Buol, juga menyebabkan pembentukan Tanjung Sulawesi Utara di zaman kuno,sebelum asal usul Minahasa, tentu kontribusi yang diperlukan. Dataran pantai terdiri dari tanah aluvial, yang telah terbentuk dari waktu ke waktu di hamparan karang. 

Tanjung Selebes Utara, yang disebut oleh informan kami adalah :"Buta moloben, Hutada"a dan lipu daka, atau "Negara besar" oleh karena itu secara primitif terdiri dari serangkaian kawah bawah laut yang membentang dari barat ke timur dan gunung berapi yang didirikan dari laut, yang terus-menerus memenuhi bagian tengahnya. ruang dengan abu dan batu yang dikeluarkan. Pada lapisan ini aliran lava yang luas dicurahkan selama berabad-abad, sementara tekanan zat dari dalam lagi bekerja mengangkat di dasar karang. Wilayah ini awalnya dihuni oleh nenek moyang Tombuluh, Mongondow atau Suwawa, Gorontalo dan Tomini atau Tinombo. 

Sekarang kami akan memberi tahu Anda beberapa hal tentang suku-suku yang disebutkan di atas. 

Pada saat puncak-puncak Tamporok, Kalawat, Lokon, Soputan, dan gunung-gunung lain di Minahasa saat ini muncul sebagai pulau-pulau, nenek moyang Tombuluh menetap di sisi utara Wulur Mahatus, di suatu tempat. disebut Mahawatu, atau lebih tepatnya Tuur in Tana. 

Mengambil secara harfiah isi dari tradisi terkait, yaitu Karema dan Lumimuut, orang mungkin akan cenderung berasumsi bahwa hanya dua orang yang tinggal di tempat yang disebutkan di atas. Namun, ini tidak terjadi. Seperti yang tampak dari tradisi lain dalam narasi bangsa-bangsa ini, dalam nama-nama ini orang harus memahami nenek moyang dan pengikut mereka. Demikianlah suku Karema-lumi muut pada mulanya mendiami Tuur in tana sejak kapan,pegunungan Tamporok atau Awuhan, Kalawat, Lokon dan lain-lain dihubungkan oleh bencana vulkanik, keturunannya, para tetua atau empung, yaitu Pinontoan, Rumengan, Manaronsong, Kumiwel, Lololing, Mangaloeoen, Soputan, Makawalang, Winawatan, Rumojoporong, Roringsepang, Pangerapan , Pontomandolang, Tolumangkun, dan Pangibatan, semuanya dengan anak-anak dan pengikutnya, menetap di sebelah utara,tinggal di gunung Lokon, Roemengan, Wawoh, Kuranga, Puser in tana, Worotikan, Soputan, dan Awoehan sebagai tempat tinggalnya masing-masing, dataran di Paniki; Pulau Lembeh dan Tanjung Pulisan. Para empung yaitu Mandei, Totokai, Ting Koelendeng, Soemendap, Makarawung, Repih, Muntu-untoe, Marinoja, Panaaran, Tamatoelar, Mioio, Mainalo, Mamarimbing, Makarau dan Tumilaär, tetap tinggal bersama sanak saudaranya di Tuur in Tana. Para empung Makaliwe berangkat ke perbatasan Mongondow, sedangkan Manalea, Manambeka, Manambeang, Manawaang, dan Kumambong, dengan keturunan mereka dari Minahasa, berangkat melalui laut ke arah timur minahasa. 

Pinontoan, Rumenga dan lain-lain, yang Tuur in tana. ditinggalkan dan mendiami Minahasa sekarang, segera menyatu menjadi satu, tetapi pertengkaran yang berulang menyebabkan mereka berpisah lagi ketika mereka tinggal bersama di Tumaratas di dataran Tompaso. Jarak ini disebut pahawetengan nuwoh, pembagian, atau heroendienst Tombuluh. 

Seperti diketahui, Tombuluh berarti penghuni gunung, atau orang yang berasal dari suku Wulur, Bulur, Bulud, atau Buluh-mahatus, yang disebut Seratus Gunung, atau Gunung Seratus Puncak. 

Legenda Kehamilan Lumimuut oleh Angin Selatan (Mongondow) dan mendapat anak Toar mengacu pada adanya persekutuan dengan Mongondow, wilayah mana yang terletak di selatan Wulur-mahatus, dan pernikahan para pengikut Lumimuut dan Toar di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, Tombuluh harus terkait erat dengan Mongondow. Bentuk tubuh, bentuk kepala,dan fisiognomi kedua bangsa tidak menimbulkan keberatan terhadap hubungan semacam itu. 

Salah satu penguasa Bolaang, bernama Mokian, bahkan mendasarkan supremasinya atas wilayah Minahasa pada kekerabatan ini. 

Suku Karema-Lumimuut, atau suku Tombulu keturunan Wulur-Mahatus dengan nama ini, kemudian dibagi 2 menjadi tiga divisi utama, yang menjadi nama Tombulu, Tonsea, dan Tompakewa. 

Di bawah kepemimpinan Tona'as Mapumpoen, Beloeng, Kakemang, dan Pukulk, suku Tombulu berjalan ke barat laut Minahasa, dan meletakkan dasar menjadi Tombariri dan Pakasaan. 

Saroinsong, Kakaskasen, Tumu'ung dan Ares. Tona'as Walalangin dan Rogih pergi bersama pengikut mereka ke barat laut Minahasa, yang merupakan suku Tonsea, yang kemudian dipecah menjadi pakasaan Tonsea dan Kalawat. Sisa sebagian di tempat pembagian, suku Tompakewa menyebar di selatan Minahasa. Di bawah tona'as Koperoh, Watah, Mononimbar, Karengis dan Pijai, pakasaan Tombawasiyan, Tompaso dan Kawangkoan memperoleh kebebasan mereka.Pakasaan Tonsea juga termasuk Atinggola, yang sekarang antara Kaidipang dan Kwandang di wilayah Gorontalo. Bersatu dengan Tonsea, suku ini berdiam di pulau Lembeh, dan kemudian di tanjung Pulisan, di bawah seorang datu atau sesepuh bernama Pinogu. Namun, setiap pertengkaran berikutnya memaksa mereka meninggalkan Pulisan di bawah Kalumata. Mereka kemudian menyeberangi Kalawat ke Kobo di Mongondow, dan kemudian ke Suwawa dan Limboto. Ketidaksepakatan dengan kepala suku Limboto menyebabkan mereka menetap di Tapa di Gorontalo, dan kemudian pergi ke sumber Sungai Andagile, tempat tinggal mereka sekarang. Karena adopsi agama Kristen, yang, bagaimanapun, sekali lagi digantikan oleh Islam di bawah pemerintahan antar Inggris, Gubernur dan Direktur VOC R.Padtbrugge menyatakan wilayah ini independen, dan secara berturut-turut mengikat dan membuat beberapa perjanjian dengan Perusahaan VOC. 

Orang-orang Rumogaan yang dulunya tinggal di antara Wulur mahatus dan yang tinggal di gunung Doloduo, berangsur-angsur dibawa berkumpul ke suatu tempat dekat Bumbungon oleh seorang Bogani Budolangit, yang juga disebut Bogani Obodia. 

Mokododudun atau Punu Mokodoludut, cucunya, yang menikah dengan seorang wanita Boki Bonia atau Tendenan, dan memiliki tiga orang anak, yaitu Yayubangki, Ginupit, dan Ginsapodo, menggantikannya sebagai datu, setelah para tetua negeri itu, Atidi, Diondomo, Sumondag, Balansa dan Antaluna, telah terpilih untuk martabat itu. 

Melalui intrik kakaknya, yang sakit hati dan tidak mau tinggal lebih lama lagi di Bumbungon, Kinalang cucu Mokodoludut, pergi bersama para pengikutnya ke dataran Mongondow yang sekarang, dan menetap di sana. Keturunannya, terutama Garung/Gayuda, Busisi, Makalalo, Dodo, Maniti, Ireasan, dan lain-lain, tersebar di dataran tersebut di atas, dan mendirikan beberapa pemukiman di sana. Karena pemukiman ini orang Rumogaan disebut "orang Mongondow" oleh suku-suku tetangga. 

Setelah mereka tinggal di sini selama bertahun-tahun, Mongondow dikunjungi oleh Bolango. Kepala Intu-intu mereka menetap bersama para pengikutnya di tepi Sungai Lombagin, dan mencoba untuk menampung warga dengan berbagai cara. Cucunya Ago mengikuti teladannya, tetapi tidak berhasil. Baru pada zaman Mogondow datu Punu Damopolii, yang memerintah Bolango, berhasil membuat saudaranya Wantania diakui sebagai datu Mongondow.Sesaat sebelum bersama Bolaang, Mongondow mengobarkan perang sengit melawan Suwawa. Pertempuran ini berakhir dengan kekalahan Suwawa, suku yang tinggal di sebelah barat Doloduo, dan dengan hancurnya sejumlah besar pemukiman mereka.Belakangan, Bolango memperoleh pengaruh dominan atas Mongondow, terutama pada zaman Mokoagow II atau Binangkang, dan penduduk asli secara bertahap dibawa sepenuhnya di bawah kekuasaan, yang untuk itu juga bekerja sama dengan gubernur VOC, Perusahaan menyimpulkan kontrak, dan memperoleh bantuan yang diperlukan dari mereka. 

Penduduk tertua Gorontalo dan Limboto sebelumnya menetap di Tilong-kabila, gunung di barat laut dataran Gorontalo sekarang, dan ada di lembah-lembah di utara, timur, dan barat gunung ini. Setelah mereka terpecah menjadi beberapa suku dengan nama Hoelontalangi, Hoenginaa, Loepoio, Hoengintia, Wabu, Lahengo, Padengo, Hoeangobotoe, Tapa, Lahoeonoe, Toto, Dumati, Ilotidea, Panggoulo, dan Tamboo, mereka dibagi oleh Olongia atau sesepuh. Keadaan ini, menurut tradisi mereka, berlangsung lama, sampai suku Hulontalangi naik di atas yang lain, dan Wadi-palapa, bermarga Tilahudu, dengan kelicikan dan bujukan merebut kekuasaan tertinggi semua olongia. 

Sebelum penggabungan ini, suku-suku yang kemudian dikenal sebagai Limboto telah berpisah dari yang lain. Ini, terutama Limehedaä, Hoentulotiopo, Hoengajo, Doenggala, dan Timilito, disatukan oleh Boei-Bungale, tetapi olongia atau kepala suku lainnya, meskipun tetap independen, secara bertahap membawa mereka di bawah pengaruh suku Gorontalo. Sejarah kedua suku utama ini terjalin dalam banyak hal, dan penduduk lanskap gorontalo dan Limboto saat ini menganggap diri mereka sebagai satu suku. 

Ketika Wadi-palapa merasa cukup kuat, dan telah menetapkan pemerintahan di Gorontalo, dia pergi berperang dan menaklukkan tanah Tomini. Putranya Walango mengikutinya, dan meminta tanah Tomini, Tinombo, Ampibaboe, dan Parigi membayar upeti kepada Gorontalo. Istri Walango Molië, yang merupakan ratu Limboto, memajukan kepentingan kerajaannya dan menaklukkan Poso, Todjo, dan Kepulauan Togian. Kemudian, seluruh Pantai Utara juga dibawa ke bawah Limboto. 

Karena suku-suku yang berkuasa di Gorontalo dan Limboto telah menjadi sangat dekat, olongia dari Gorontalo dan Limboto dipilih bersama dalam pemerintahan. Mereka hidup rukun dengan para datu Suwawa dan Mongondow, juga dengan para tetua Tombulu. 

Di bawah saudara perempuan Walango, Intehedoe, bagaimanapun, pertengkaran muncul antara Gorontalo dan Limboto, yang berlangsung selama beberapa waktu. Olongia Limboto, Humonggiloe, yang merasa tidak berdaya untuk melanjutkan perang melawan Gorontalo, mengirim putranya Datoebia ke Ternate, untuk mendapatkan bantuan dari kerabatnya di sana. Setelah diberikan ini oleh Ternate, Gorontalo dijatuhkan. Dengan kedatangan orang Ternate, Islam yang telah membuat beberapa kemajuan di bawah Matolodulahu, berkembang pesat di wilayah ini. Orang-orang yang lebih menyukai ibadah Alifuru mereka dipaksa dengan berbagai cara, bahkan dengan hukuman dan eksekusi, untuk memeluk ajaran islam. 

Golontalo dan Limboto olongia, yang lelah dengan tekanan Ternate, menarik diri dari supremasi pangeran mereka, tetapi dengan bantuan senjata Kompeni kedua negara kembali ditundukkan oleh Kaitjili Sibori. Untuk membalas dendam, olongia tersebut meminta bantuan Makassar. Karena mereka telah dikalahkan oleh Kompi tersebut di bawah Capten. Speelman, Gorontalo dan Limboto, sesuai dengan pasal. 17 dari kontrak Bongaya, sekali lagi di bawah Ternate. Pada tahun 1678 negara-negara ini dibawa ke bawah administrasi perusahaan VOC, dan Gubernur serta Direktur Maluku R. Padtbrugge menyimpulkan dengan olongia dan kepala-kepala suku yang bersangkutan perjanjian penyerahan wilayah dan anak sungai. 

Meskipun tidak selalu jelas, karena rasa malu dan keengganan penduduk untuk mengomunikasikan tradisi mereka kepada orang asing, dalam tradisi masyarakat Tomini banyak ditemukan jejak kekerabatan dengan suku-suku Selebes Utara yang disebutkan di atas. 

Sekitar waktu yang sama dengan pemisahan Limboto, penduduk tertua Tomini berasal dari wilayah timur Gunung Ile-ile. Tempat tinggal pertama mereka terletak di antara sungai Tuladengki dan Bajole saat ini di hutan dan di sepanjang lereng pegunungan Balipa, Ongka, dan Sojol.Setelah beberapa lama bersatu di Mouba, sebuah tempat yang dekat dengan Tinombo negeri yang sekarang, di bawah seorang sesepuh bernama Baloila Kosah, beberapa sesepuh dan pengikut mereka melanjutkan dengan pengikut mereka ke wilayah selatan Sungai Bajole, di mana waktu tertentu Kaliabuh mereka turun dan membuat Tomini kurang lebih mandiri. 

Mereka kemudian diberi nama Siabu, yang kemudian berubah menjadi Tiahu dan kemudian menjadi Tilomboh atau Tinombo. Dari sini negara-negara tetangga Malata, Hoentingo, Tidooea, Tipajo, Tori-Buluh, Tinondaä dan Burangas dihuni, yang pada awalnya hidup damai, tetapi kemudian saling bermusuhan. Di Tinondaä dan Burangas banyak orang dari suku Alifuru selatan, yang juga dikenal sebagai orang asing dari seberang laut, menetap di sana dan mengungsikan para pemukim pertama. Sekitar waktu ini daerah Suwawa Balalogodoe, Mapadou, dan lainnya dihancurkan oleh orang-orang Mongondow, dan ribuan Suwawa dengan istri dan anak-anak mereka menyeberangi Gorontalo ke tanah Tomini. 

Setelah penyelesaian ini, olongia Wadi-palapa atau Tilahudu berperang di wilayah-wilayah ini, membawa negeri ini di bawah otoritas tertinggi Gorontalo dengan tipu muslihat dan kekerasan. Dibebaskan dari kekuasaan Gorontalo pada tahun 1678 oleh Gubernur dan Direktur Maluku R. Padtbrugge atas permintaan mereka, mereka untuk beberapa waktu berada di bawah pengawasan langsung pemegang jabatan Kompeni yang didirikan di Lamboenoe, tetapi kemudian jatuh di bawah pengaruh merusak dari Mandar, ketika Pangeran Chinrana, Sandelana, atas kepemilikan seorang wanita muda, bertengkar dengan saudaranya Tondalaboewah dan pergi ke tanah Tomini. 

Setelah pindah dari Ampibaboe dengan sanak saudaranya ke Moutong, Ana Eo Saboenge, seorang Mandar yang cerdik, dijadikan olongia, atau lebih tepatnya Magau, oleh Pemerintah pada tahun 1831, dan tanah antara sungai Molosipat dan Togas ditaklukkan secara tidak sah. . Bahwa aturan ini, yang dilakukan oleh orang asing, menimbulkan ketidakpuasan dan kebencian di antara penduduk asli Alifuru, dan memaksa mereka untuk lebih mengasingkan diri di pegunungan mereka, tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. 

Sudah beberapa kali kami katakan di tempat lain bahwa selain Mandar, juga Bantik, Tonsea, Pasanbangko, Bolango, Kaidipang dan Bolaang-itang, Bone, Boalemo dan Buol bukan milik penduduk asli Selebes Utara.Orang-orang asing ini, yang datang belakangan ini, telah menetap di sini dengan izin dari suku-suku Selebe Utara, dan sedikit banyak bercampur dengan mereka, kecuali Bantik. Di antara para pendatang ini, Bolango adalah yang paling penting, karena memiliki pengaruh terbesar di atas segalanya terhadap asal-usulnya. dilakukan oleh penduduk setempat, oleh karena itu saya tidak menganggap gambaran singkat tentang sejarah mereka berlebihan di sini. 

Suku Bolaangos, orang kulit hitam, dengan rambut kurang lebih keriting, yang kini berbagi wilayah pesisir utara dan selatan Mongondow. 

Bertempat tinggal di Bintauna dan Atinggola, mereka dahulu setelah mengembara cukup lama di perairan Maluku, menetap di Kaburukan, sekarang Negeri Kema, di pulau Lembeh dan di Tanjung Pulisan. Ketidaksepakatan dengan suku Tonsea, bagaimanapun, memaksa mereka untuk mundur dari sana. Pemimpin mereka, bernama Intu-intu, berangkat dengan sebagian di sepanjang pantai utara Selebes melintasi pulau Bangka, Babontehu atau Manado tuwah, Mangatasi (sebuah sungai di Tombariri), dan Ranoiapo, ke muara Lombagin , yang berasal dari Mongondow, dan menetap di sisi timur sungai tersebut. Para tetua Dugian dan Bantong berjalan bersama pengikut mereka di sepanjang pantai selatan Selebes, melintasi Bunong (sekarang Kota-boenan) dan Tandjoeng Bantong (sekarang Hoengo lo Potilahoe atau Tanjung Plesko) ke Totoia (sekarang Negri-lama), sekitar sepuluh jam di sebelah timur kota utama Gorontalo. 

Dengan bantuan suku Tombulu, Punu Damopolii dan Wantania menaklukkan penduduk asli Mongondow dengan kelicikan, kekerasan, dan bujukan. Beberapa waktu kemudian Daepeagooe melawan yang di Mongoladia, dekat Molibagu sekarang.Suwawa, yang tinggal di antara Mongondow dan Gorontalo, ketika saudara laki-lakinya dihina oleh beberapa raja mereka, dan menaklukkan sebagian wilayah pesisir sejauh Potigada/Poaigadan. 

Pangeran Limboto, Moito, mendengar kecantikan putri-putri Daepeagooe, pergi untuk menikahi mereka yang bernama Tanahi dan Damopinda. Kembali dengan istri-istrinya ke Limboto, ia diikuti oleh banyak Bolango yang menetap di Tidupo. Setelah kematian Moito dan kedua istrinya, diperlakukan sebagai budak oleh orang Limboto, orang Bolango memutuskan untuk kembali ke Mongoladia atau Molibagu. Sesampainya di Potanga, mereka dibujuk oleh Marsaoli dari Gorontalo, Hulubalang, dan Olongia Eiato untuk menetap di Palanggoewa. Setelah tinggal di sana untuk waktu yang lama, Bolango mulai bertengkar dengan Gorontalo. Kepala mereka, Matoka, kemudian berangkat dengan sebagian besar Bolango ke Molibagu. Beberapa tetua dengan kerabat mereka, bagaimanapun, tetap di Palanggoewa, bercampur dengan Gorontalo dan memperoleh keberadaan independen. 

Mendengar penunjukan Matoka di Molibagu, Rajah Liu atau Datu Liu yang memerintah Bolango menetap di pantai utara Selebes, pergi ke Molibagu, dan membujuk Matoka untuk menetap di sisi barat Sungai Lombagin. Bolango di sisi timur dan barat Sungai Lombagin kemudian memiliki klaim dan hak yang sama. Matoka segera kembali ke Molibagu, dan kemudian pergi ke Gorontalo, di mana setelah meninggal dunia. Para pengikutnya sebagian tetap tinggal di Lombagin dan memisahkan diri di bawah satu Napu.karena gangguan buaya Bolango di sisi timur sungai Lombagine berpindah ke teluk uki di molibagu Setelah menetap di sana mereka diberi nama Bolaang-uki, dan mereka memilih seorang kepala suku yang menyandang nama Pangkouli. 

Mengenai kekerabatan, cara hidup dan perkembangan, rupa dan kualitas pikiran mereka, serta percampuran suku-suku Selebe Utara yang primitif dengan bangsa asing, dan penyimpangan mereka dari tipe aslinya, kami tambahkan sebagai berikut ini. 

Meskipun menurut tradisi mereka, dari asal yang berbeda, suku Tombuluh, Mongondow, Gorontalo, dan Tomini pada awalnya sangat dekat satu sama lain. Tempat tinggal mereka pada waktu itu, menurut orang dahulu yang telah memberitahu kami dalam penelitian, berada di pegunungan dan di lembah-lembah antara Wulur-mahatus dan Ile-ile, yang terakhir sebuah gunung di barat laut dataran saat ini. Gorontalo nyaman. Di zaman kuno itu mereka tinggal di sini tanpa gangguan untuk waktu yang lama, disatukan oleh pernikahan. Terpisah dari asal usul orang-orang ini, oleh karena itu, kosistensi damai seperti itu, meskipun tidak secara meyakinkan menunjukkan asal usul yang sama, harus dianggap pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil sebagai penyebab kesamaan khas mereka yang mencolok. 

Melalui pertengkaran dan pertikaian, sebagian besar timbul dari kepemilikan bersama, kemudian pecah, suku-suku ini, yang hanya mengakui supremasi pemandu mereka, pergi sebagian ke timur laut, dan sebagian ke barat dan barat daya, ke puncak gunung tertinggi, tempat mereka tinggal. terpisah. Makanan mereka kemudian terdiri dari buah-buahan, wortel dan telur. Penyadapan cuaca sagu tidak dikenal di sini. Begitu juga penggunaan api, yang belakangan ditemukan secara tidak sengaja. Tubuh mereka, seluruhnya terbuka, mereka hanya sesekali menghiasi Dracaena terminalis, bunga Hibiscus rosa sinensis, dan daun kuning dan merah lainnya, yang juga hari ini memiliki kesucian tertentu di antara penduduk daerah ini, dan dengan demikian masih bagi leluhur. dikorbankan, Ibadah mereka bukanlah bentuk pelayanan yang mati, tetapi hasil sederhana dari kebutuhan kekanak-kanakan untuk berterima kasih kepada ayah mereka dan memuji diri mereka sendiri atas perlindungan mereka. Para penatua mendahului mereka dalam hal ini, sampai kemudian sebuah imamat terbentuk dan alam dipenuhi dengan iblis yang pengaruhnya ingin mereka kendalikan. 

Tradisi suku-suku ini, yang direkonsiliasi secara lebih rinci, secara bertahap memberikan bukti yang tidak dicari. kemajuan tertentu dalam pembangunan dan peradaban. Dalam perjalanan waktu mereka dipertemukan kembali melalui perkawinan para sesepuh, mereka bertani, bahkan ada yang menyebutkan beberapa kegiatan, seperti menenun pakaian dari ijuk bambu dan rerumputan lainnya, persiapan kulit kayu untuk diri mereka sendiri. menutupinya, menempa besi, dan menembakkan periuk tanah liat. Tetapi dengan kedekatan yang kurang dari pemulihan hubungan ini dibandingkan dengan masa lalu, kepentingan yang berbeda segera muncul ke permukaan dan memunculkan partikularisme yang menyedihkan; sedangkan dorongan yang semakin besar untuk berlomba-lomba dan untuk budak yang sesuai menjadi penyebab perang berulang yang menghancurkan rakyat. 

Tubuh Tombulu, Mongondow, Gorontalo dan Tomini, yang mencapai panjang rata-rata lima kaki, umumnya dapat disebut ramping. Otot-otot mereka penuh dan kuat. Warna kulitnya antara coklat muda dan kuning. Kulit putih hanya ditemukan di antara penghuni gunung, terutama di kalangan wanita, yang tidak banyak terkena pengaruh cuaca. Wajahnya hidup dan bukan tanpa ekspresi; dan di antara para wanita orang sering melihat wajah-wajah ramah. Dahi, yang mengikuti garis hampir vertikal dalam profil dan tidak memiliki kemiringan ke belakang yang besar, agak tinggi. Mata terbuka dan memiliki bentuk elips lurus. Tulang pipinya tidak menonjol, hidungnya kecil tapi bentuknya bagus, dan mulutnya disunat dengan baik. Rambut di kepala hitam berkilau, lembut dan bergelombang, tidak kasar atau keriting. Rambut-rambut kecil ditemukan di tubuh mereka, karena, konon, rambut itu terus-menerus dicabut di antara generasi-generasi sebelumnya. Indra-indranya tajam dan luar biasa terlatih.


 

Awalnya, penduduk Sulawesi utara ini cerdas dan sangat rentan terhadap segala macam kesan. Dia memiliki ingatan yang baik dan penilaian yang baik. Sedikit latihan segera membiasakannya dengan ide-ide Eropa; apalagi tindakan sosialnya menjadi saksi akal dan musyawarah. Mereka bersenang-senang di antara mereka sendiri, dan di perusahaan mereka, mereka menyukai peribahasa pedas dan terselubung. Selain itu, mereka dengan tulus dan segera dirahasiakan jika mereka yakin bahwa orang tersebut layak untuk dipercaya; tetapi sama seperti mereka sedikit tersentuh dan sekaligus marah. Mereka semua memiliki kapasitas untuk pendidikan tinggi dan menunjukkan nafsu dan keceriaan yang besar untuk itu, terutama setelah mereka menyadari bahwa mereka diperlakukan sebagai orang-orang yang sesuai dengan harga diri.
Namun, dalam kondisi fisik dan moral yang asli ini,disebabkan oleh banyak pengaruh luar. Meskipun masih tidak sepenuhnya rusak, Tombulu saat ini tampaknya 

melemah, terasing dari kehidupan yang lebih alami. di bawah generasi sekarang banyak ditemukan menderita payudara dan penyakit lainnya. Ketulusan hampir hilang, dan kebanyakan Tombupu menjadi pendiam dan sebagai akibat dari pendidikan mereka di kemudian hari. Orang Mongondow, Gorontalo, dan Tomini,kurang memperhatikan gizi, menikah pada usia dini, kebiasaan yang mereka adopsi dari orang asing dengan Islam, selama berabad-abad, juga karena kurangnya hubungan sebagian besar memiliki kecurigaan kepada asing. 

Di Minahasa orang menemukan, antara lain, bentuk-bentuk murni Eropa Selatan dan Mongolia, yang harus dijelaskan dengan asosiasi di masa lalu dengan Kastilia, Jepang dan Cina yang tinggal di sana. Di Mongondow dan di negara-negara Tomini pengaruh ini masih kurang signifikan, kecuali di resor pantai; tetapi di Limo lo Pahalaa, di mana orang-orang Arab, Cina, Melayu dan Ternatan, yang terakhir termasuk ras Negro, telah berbaur dengan penduduk selama berabad-abad, bahkan sebelum kedatangan orang Eropa di sini, tipe asli murni telah , terutama di daerah yang lebih padat penduduknya, sangat menderita.Sementara itu, karakteristik tipe umum suku Selebes Utara begitu teguh sehingga seorang Gorontalo asli yang cukup makan, mengenakan pakaian Tombulu, tidak dapat dibedakan dari ini, seperti juga Tombulu, Mongondow, atau Tomini yang tidak dipalsukan, yang mengenakan gaya Gorontalo, dapat melewati salah satu dari suku itu. Kesamaan akhlak pada zaman dahulu, sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, terutama kebiasaan di antara suku-suku ini untuk membelah praeputium pada awal pubertas, dan sejumlah kebiasaan dan tradisi lainnya. asal yang sama, maka hubungan yang sangat dekat. Perbedaan khas yang sekarang diamati antara Tombulu dan Tonsea, seorang Mongondow dan Suwawa, seorang Gorontalo dan Limboto, seorang Tomini dan Tinombo, tampaknya ada penyimpangan dari tanggal sekarang dan dengan mudah dijelaskan dari sejarah suku-suku ini. 

Keragaman yang mencolok pada pemeriksaan antara dialek Tombulu, Mongondow, Gorontalo, dan Tomini, bisa jadi memperdebatkan perbedaan asal, tetapi beberapa fakta cukup untuk menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari penyelidikan semacam itu tidak boleh diberikan bobot yang tidak semestinya. Kattin Golaer, yang berbicara bahasa Tonsea sekitar tiga abad yang lalu, dan Suwawa, yang pindah ke wilayah Tomini setelah perang Punu Modeong, menurut silsilah sekitar tahun 1400, sekarang memiliki bahasa yang sama sekali berbeda. Demikian pula, perbedaan dialek Tonsea dan Tompakewa dari dialek Tombulu menegaskan mudahnya penduduk daerah ini melepaskan bahasa mereka. Pemisahan suku-suku yang bermusuhan setelah pertengkaran dan pertikaian berikutnya, dan dorongan untuk membentuk bahasa lain, kecenderungan nasional, sehingga untuk berbicara, masih dapat ditemukan di zaman kita di antara penduduk Selebes Utara, adalah penyebab utama. menyajikan keragaman dialek. Pendapat ini lebih lanjut diperkuat oleh kekhasan bahwa semua suku ini memiliki bahasa kuno yang, menurut klaim para informan yang kredibel, dan sejauh yang saya dapat menilainya, jauh lebih seragam, dan dalam kata-kata maupun dalam bahasa. Struktur gramatikal sangat berhubungan dengan dialek Mongondow saat ini. 

Akhirnya, sepatah kata pun tentang penduduk asli Selebes Utara.Yang disebutkan di atas sambil lalu tentang penunjukan Tombulu (Minahasa), Mongondow atau Suwawa, Gorontalo dan Tomini atau Tinombo sebagai penduduk asli semenanjung Selebean Utara, sepenuhnya bergantung pada otoritas tradisi dan cerita yang dikumpulkan secara berurutan. 

Pertanyaan apakah wilayah ini dulunya dihuni oleh suku lain, keturunan Afrika atau Indo-Afrika dan mirip dengan penduduk Papua, Fiji, atau pulau-pulau lain saat ini, tidak dapat dijawab dengan pasti. Meskipun pandangan ini umumnya dianut oleh beberapa etnolog di seluruh Kepulauan India, tidak ada catatan tentang suku Sangihe, Tombulu, Mongondow, atau Suwawa, Gorontalo, Tomini, atau Tinombo yang menunjukkan bahwa suku-suku asli yang merujuk pada kedatangan mereka di sini ditemui populasi berambut keriting, apalagi yang akan mendorong atau menghancurkan mereka. Jika perjumpaan seperti itu, yang akan menjadi begitu penting bagi sejarah mereka sehingga memunculkan sejumlah epopea, benar-benar terjadi, pasti akan dianggap tidak dapat dipahami bahwa baik dalam lagu-lagu mereka maupun dalam tradisi mereka, yang mencapai sejauh ini ke dalam masa lalu, sesuatu darinya, betapapun kecilnya, telah dilestarikan dengan Baik, Kami diinformasikan oleh salah satu reporter Tomini bahwa suku Tomini tertua telah hidup berdampingan selama beberapa waktu dengan To Utas, suku yang tinggal di gua dan gua, memakan bagian dalam pohon seho, yang tubuhnya mencapai panjang puluhan sekitar tiga kaki, dan beberapa di antaranya, meskipun tidak terlihat, masih ada di hutan Tomini dan di Pulau Binangunan, tetapi legenda ini, yang memiliki sedikit kepastian sejarah, dan yang mungkin muncul untuk menjelaskan penunjukan, menurut kepercayaan populer, roh-roh di hutan, hampir tidak dapat diterima sebagai dasar anggapan apa pun. 

Seandainya Selebes Utara dulunya milik daratan Australia, sesuatu yang akan sulit dibuktikan secara geognostik, populasi Negro saat ini, pada saat pulau ini direnggut darinya oleh kekuatan vulkanik yang luar biasa, akan mendahului kedatangan orang-orang di atas- suku-suku aborigin yang disebutkan mungkin juga telah dihancurkan, meskipun fakta seperti itu hampir tidak dapat menjelaskan penghilangan total. Untuk populasi kepulauan Sangihe di dekatnya, yang, dibandingkan dengan Selebes Utara, terdiri dari pulau-pulau kecil yang tidak penting, dan yang bersama-sama dengan negara ini termasuk dalam satu wilayah vulkanik, tampaknya masih menunjukkan jejak penunjukan sebelumnya dari campuran dengan batang keriting. 

Identifikasi benda-benda dari Zaman Batu, yang dalam banyak hal mirip dengan "peralatan batu" yang baru-baru ini ditemukan oleh Dr. Julius Haast di Bruce Bay di Selandia Baru dan masih digunakan sebagai alat di antara suku-suku Papua, memperkuat perasaan mantan keberadaan orang-orang Negro di sini; tetapi bahwa nenek moyang Tombulu, Mongondow, Gorontalo, dan Tomini tidak menemukannya di sini, terbukti dari fakta bahwa beberapa kapak, sebagian besar batu pecah, yang digali tanah, dan yang cukup aneh, ujung atas, untuk semua upaya, tidak pernah terlihat oleh saya, tidak pernah oleh mereka, seperti yang akan terjadi jika alat ini pernah digunakan di sini, telah dianggap sebagai alat atau juga dikenal oleh keturunan mereka seperti itu, tetapi sebagai batu meteor, yang saat ini menyandang nama kilapong, alias batu pinoloe memakai tam, botoe boo lota dan poloe lae goloenge atau panaboemai poloe bulata. Jika tuduhan salah satu reporter saya, yaitu, beberapa batu yang sebelumnya diimpor ke sini dari pulau-pulau tetangga dan ditukar sebagai tindakan pencegahan terhadap sambaran petir, patut dipercaya, maka argumen batu ini jatuh dengan sendirinya. Apa yang tetap luar biasa, sementara itu, adalah kesamaan dengan apa yang dinyatakan Sir John Lubbock dalam "zaman pra sejarah" tentang "zaman batu di Eropa," bahwa di sini,seperti di semua negara beradab yang panjang, senjata batu dan mata panah dianggap sebagai petir atau panah Peri." 

Meskipun Selebes Utara hampir tidak mungkin menjadi bagian dari daratan Asia pada zaman prasejarah sebuah proposisi yang ditentang oleh banyak alasan dari sudut pandang geognostik dan sejarah alam, juga tidak dapat ditegaskan dengan pasti bahwa wilayah ini didominasi oleh sebuah suku. setara dengan yang dihuni di Papua saat ini. Sebaliknya, orang mungkin mungkin mendukung gagasan bahwa suku Tombulu, Mongondow, Gorontalo, dan Tomini asli berasal dari beberapa suku Asia Timur, yang, karena alasan yang tidak dapat dikenali, telah pindah ke sini. Kecenderungan untuk, meskipun sangat kurang, layanan Bhavani dan Ardhanari menjadi saksi beberapa keakraban dengan Civa Hindu. Pemujaan leluhur, meskipun sangat awal, mungkin menunjuk ke Anamite, Cina Kutjin, atau asal serupa lainnya. Beberapa legenda kuno, di mana disebutkan seekor burung gaib Salangkew, yang mengingatkan pada Garuda Wisnu, juga menunjuk ke daratan Asia, meskipun kurang pasti tentang asal usul orang-orang ini, karena legenda-legenda ini atau melalui campur tangan Melayu , atau mungkin telah dipindahkan oleh penduduk asli Selebes sendiri, karena yang terakhir sudah diperdagangkan beberapa abad yang lalu, antara lain pada tahun 1545, menurut Mendez Pinto Portugis, di Martaban di Pegoe.Untuk dapat menjawab dengan pasti pertanyaan tentang penunjukan suku-suku Negro sebelumnya di pulau-pulau di Kepulauan Hindia pada umumnya, dan di Selebes Utara pada khususnya, menurut pendapat saya, penyelidikan yang lebih khusus seharusnya tidak hanya dilakukan. dibuat dalam laporan, tetapi semua tradisi orang-orang ini dan orang-orang dari Asia Timur harus dibandingkan. Sejauh ini belum cukup dilakukan, dan praduga atau dugaan tentang asal usul masyarakat Nusantara kita masih diragukan, setidaknya sulit dibuktikan dengan bukti yang meyakinkan. 

Sumber : Book From The Harvard University. 
Publikasi tahun 1838.