Pendahuluan: Hukum Islam sebagai Pilar Peradaban
Sejak awal kemunculannya pada abad ke-7 M, Islam telah hadir sebagai agama sekaligus sistem hidup yang menyeluruh, termasuk dalam hal hukum. Dalam sejarah Islam, hukum bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga mencakup sosial, ekonomi, dan peradilan. Untuk menjalankan sistem ini, Islam membentuk struktur kelembagaan hukum yang rapi, mulai dari Qadhi, Mufti, Hakim, hingga pengawas masyarakat seperti Muhtasib.
Sistem ini kemudian menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk ke kepulauan Nusantara, melalui dakwah, perdagangan, dan jaringan ulama internasional. Di antara daerah yang mempertahankan sistem ini hingga hari ini adalah Gorontalo, sebuah wilayah yang tidak hanya menerima Islam sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem sosial dan hukum yang hidup dalam masyarakatnya.
Islamisasi dan Awal Mula Lembaga Hukum Islam
Masuknya Islam ke dunia Melayu-Nusantara sekitar abad ke-13 membawa serta lembaga-lembaga hukum khas Islam. Di bawah pengaruh ulama dari Arab, Gujarat, dan Asia Tenggara, berbagai kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Demak, dan Ternate-Tidore membentuk struktur peradilan Islam yang terdiri dari Qadhi sebagai hakim syariat, Mufti sebagai pemberi fatwa, serta pejabat pembantu seperti Katib, Imam, dan Bilal.
Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya menerapkan hukum Islam secara formal, tetapi juga mengadaptasikannya dengan adat lokal (fiqh al-‘urf), menciptakan model peradilan yang unik dan kontekstual.
Kerajaan Islam dan Kejayaan Peradilan Syariat di Nusantara
Dalam catatan sejarah, beberapa kerajaan Islam di Nusantara dikenal memiliki struktur hukum Islam yang mapan:
Kesultanan Aceh Darussalam dikenal dengan jabatan Qadhi Malik al-Adil dan Mufti istana.
Kesultanan Banten serta Demak menerapkan hukum Islam dalam perkara nikah, waris, dan perdata.
Di Ternate dan Tidore, Qadhi dan Imam merupakan bagian dari struktur pemerintahan adat.
Namun, sistem ini mengalami perubahan besar ketika kolonialisme Belanda masuk dan memaksakan sistem hukum barat. Lembaga-lembaga Islam banyak yang dipinggirkan atau hanya berfungsi dalam urusan keagamaan privat.
Gorontalo: Tradisi yang Bertahan di Tengah Arus Modernisasi
Berbeda dengan banyak daerah lain yang melebur atau menghapus struktur lama, Gorontalo mempertahankan sistem hukum Islamnya hingga kini dalam bentuk kelembagaan masyarakat dan adat. Bahkan, jabatan-jabatan seperti Qadhi, Hakim, Mufti, Imam, Syarada’a, Bilal, Khatib, hingga Kasisi masih dikenal dan dihormati secara sosial.
Struktur Jabatan di Gorontalo:
1. Qadhi – Hakim syariat tertinggi yang menangani perkara hukum besar.
2. Hakim – Penentu keputusan dalam perkara keagamaan dan sosial.
3. Mufti – Pemberi fatwa atas persoalan hukum dan kehidupan masyarakat.
4. Imam – Pemimpin ibadah dan pembimbing umat.
5. Syarada’a – Pengawas moral dan pelaksana syariat dalam masyarakat.
6. Bilal – Penyeru adzan dan pengatur waktu ibadah.
7. Khatib – Penyampai khutbah Jumat dan Id.
8. Kasisi – Pejabat terendah yang mengurusi dakwah dan pendidikan agama tingkat kampung.
Sistem ini bukan hanya bertahan secara simbolik, tetapi berfungsi aktif dalam struktur sosial Gorontalo, menunjukkan betapa Islam telah menyatu dalam tatanan budaya dan adat setempat.
Kesimpulan: Warisan yang Hidup dan Terus Berkembang
Gorontalo adalah contoh langka bagaimana struktur hukum Islam klasik tetap hidup di tengah zaman modern. Keberadaan pejabat seperti Qadhi, Mufti, dan Syarada’a tidak hanya menjadi warisan sejarah, tetapi juga menjadi alat untuk menjaga nilai, moral, dan ketertiban sosial berdasarkan syariat Islam.
Tradisi ini adalah bukti bahwa Islam di Nusantara tidak hanya sekadar identitas spiritual, tetapi juga warisan peradaban yang terus memberi arah dalam kehidupan masyarakat. Menjaga dan mendokumentasikan sistem ini adalah tugas penting generasi hari ini, agar warisan Islam tidak hanya menjadi sejarah, tetapi juga masa depan.