KYAI MODJO (1792-1849)
Kampung Jawa Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ini didirikan oleh Kyai Modjo beserta 62 orang pengikutnya yang semuanya laki-laki pada awal tahun 1830. Mereka adalah orang-orang Jawa yang dibuang oleh Belanda ke Minahasa setelah perang Jawa. Ketika terjadi Perang Jawa pada 1825-1830, Kyai Modjo berperan dalam mengatur strategi militer melawan Belanda. Selain itu, tokoh kelahiran Surakarta tahun 1792 ini juga menjadi guru spiritual dari Pangeran Diponegoro.
Pada 12 November 1828, ketika Kyai Modjo berada di Mlangi, Sleman, ia disergap dan ditangkap oleh Belanda. Pada 17 November 1828, Kyai Modjo dikirim ke Batavia untuk diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Kyai Modjo dan para pengikutnya membangun tempat pemukiman bernama Tegalrejo, dari tempat tersebut kemudian pemukiman ini dikembangkan ke selatan dan menjadi Kampung Jawa Tondano sekarang.
Semua pengikut Kyai Mojo yang dibuang ke Tondano, kemudian menikahi perempuan setempat, kawin-mawin, dan dari dua kebudayaan inilah lahir masyarakat Jawa Tondano (Jaton). Di kampung Jaton ini Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849.
Dalam perjalanannya, di awal abad 20, lahan yang digarap oleh masyarakat Kampung Jaton di Minahasa semakin sempit, maka pada tahun 1904 sebagian penduduk mulai berpindah ke Gorontalo. Di antara yang pergi adalah keluarga dekat Kiai Modjo, yang bernama Amal Mojo atau biasa dipanggil “Guru Apo”. Beliau lulusan kweekschool (sekolah Guru) di Tondano dan kemudian diangkat sebagai guru di Gorontalo.
Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, kakek Amal Modjo adalah Ghazaly Modjo, dan neneknya adalah seorang perempuan Minahasa bernama Ringkingan Tombokan. Ghazaly Modjo adalah Hukum Tua pertama yang menjabat 1880-1884. Ayah Amal Modjo adalah anak laki-laki tertua Ghazali dan Ringkingan yang bernama Djumal Modjo. Amal Modjo menikah dengan R.A Bandira Danupoyo dan memiliki 5 orang anak: Aisah Modjo, Hasan Modjo, Saleh Modjo, Ismangun Modjo dan Kamil Modjo. Hasan Modjo, anak kedua Amal Modjo adalah teman kelas ayah B.J. Habibie ketika bersekolah di Hollandsch Inlandsche School Gorontalo.
Ketika pindah ke Gorontalo, Amal Modjo didampingi Imam Rahmat Tumenggung Ses bersama empat puluh kepala rumah tangga. Merekalah yang mendirikan kampung Yosonegoro dekat Limboto. Nama itu merujuk pada dua kata dari bahasa Jawa yaitu “Yoso” yang artinya membangun dan “Negoro” yang berarti Negeri, sehingga Yosonegoro dapat diartikan sebagai membangun negeri. Orang Jaton yang pertama menempati Desa Yosonegoro antara lain Rahmat Zees,Jarod Zees, Burhan Zees, Muchtar Pulukadang, Tarikat Mojo, Ichsan Suratinojo, Muhidin Rivai, Ilham mas Hanafi, Alfan Gusasi, Jumali Suratinojo, Ronggo Danupoyo, Jalil Kyai Baderan, Napu dan Arta.
Kelompok kedua yang datang ke Gorontalo pada tahun 1910 sebanyak sepuluh kepala keluarga. Mereka mendirikan kampung Kaliyoso. Kelompok ketiga yang datang pada tahun 1925 sebanyak seratus dua puluh lima kepala keluarga dan mendirikan kampung Reksonegoro (Isimu). Pada Tahun 1914 Desa Yosonegoro mulai banyak penduduknya dan didirikanlah masjid Al-Muttaqin, imam dan sekaligus kepala desanya adalah Kiyai Rahmat Zees.
Di kampung Yosonegoro, Reksonegoro dan Kaliyoso, Amal Modjo dan rombongannya tetap membawa tradisi dari kampung Jawa Tondano. Dialek Jaton yang merupakan pertemuan bahasa Tolour Minahasa dan sebagian bahasa Jawa menjadi bahasa tutur warga asal Kampung Jaton di Gorontalo. Tradisi ‘Ba’do Ketupat’ atau lebaran ketupat, yang khas masyarakat kampung Jaton, juga terus dirayakan oleh masyarakat Jaton Gorontalo hingga saat ini.
Untuk menghargai jasa-jasa Amal Modjo, maka namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan di desa Ombulo kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Nama Kyai Modjo diabadikan menjadi salah satu nama jalan di kelurahan Limba B kecamatan kota Selatan Kota Gorontalo. Namanya juga disematkan menjadi nama Madrasah Alkhairaat Kiayi Modjo di Kabupaten Gorontalo. Alfatehah untuk almarhum Kyai Modjo dan Almarhum Amal Modjo.
Tulisan dr. Isman Yusuf