Sunday, April 6, 2025

Keturunan Kyai Modjo di Gorontalo

KYAI MODJO (1792-1849)
Kampung Jawa Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ini didirikan oleh Kyai Modjo beserta 62 orang pengikutnya yang semuanya laki-laki pada awal tahun 1830. Mereka adalah orang-orang Jawa yang dibuang oleh Belanda ke Minahasa setelah perang Jawa. Ketika terjadi Perang Jawa pada 1825-1830, Kyai Modjo berperan dalam mengatur strategi militer melawan Belanda. Selain itu, tokoh kelahiran Surakarta tahun 1792 ini juga menjadi guru spiritual dari Pangeran Diponegoro. 

Pada 12 November 1828, ketika Kyai Modjo berada di Mlangi, Sleman, ia disergap dan ditangkap oleh Belanda. Pada 17 November 1828, Kyai Modjo dikirim ke Batavia untuk diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Kyai Modjo dan para pengikutnya membangun tempat pemukiman bernama Tegalrejo, dari tempat tersebut kemudian pemukiman ini dikembangkan ke selatan dan menjadi Kampung Jawa Tondano sekarang. 
Semua pengikut Kyai Mojo yang dibuang ke Tondano, kemudian menikahi perempuan setempat, kawin-mawin, dan dari dua kebudayaan inilah lahir masyarakat Jawa Tondano (Jaton). Di kampung Jaton ini Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849.

Dalam perjalanannya, di awal abad 20,  lahan yang digarap oleh masyarakat Kampung Jaton di Minahasa semakin sempit, maka pada tahun 1904 sebagian penduduk mulai berpindah ke Gorontalo. Di antara yang pergi adalah keluarga dekat Kiai Modjo, yang bernama Amal Mojo atau biasa dipanggil “Guru Apo”. Beliau lulusan kweekschool (sekolah Guru) di Tondano dan kemudian diangkat sebagai guru di  Gorontalo. 

Dalam silsilah keluarga besar Modjo disebutkan, kakek Amal Modjo adalah Ghazaly Modjo, dan neneknya adalah seorang perempuan Minahasa bernama Ringkingan Tombokan. Ghazaly Modjo adalah Hukum Tua pertama yang menjabat 1880-1884. Ayah Amal Modjo adalah anak laki-laki tertua Ghazali dan Ringkingan yang bernama Djumal Modjo. Amal Modjo menikah dengan R.A Bandira Danupoyo dan memiliki 5 orang anak: Aisah Modjo, Hasan Modjo, Saleh Modjo, Ismangun Modjo dan Kamil Modjo. Hasan Modjo, anak kedua Amal Modjo adalah teman kelas ayah B.J. Habibie ketika bersekolah di Hollandsch Inlandsche School Gorontalo.

Ketika pindah ke Gorontalo, Amal Modjo didampingi Imam Rahmat Tumenggung Ses bersama empat puluh kepala rumah tangga. Merekalah yang mendirikan kampung Yosonegoro dekat Limboto. Nama itu merujuk pada dua kata dari bahasa Jawa yaitu “Yoso” yang artinya membangun dan “Negoro” yang berarti Negeri, sehingga Yosonegoro dapat diartikan sebagai membangun negeri. Orang Jaton yang pertama menempati Desa Yosonegoro antara lain Rahmat Zees,Jarod Zees, Burhan Zees, Muchtar Pulukadang, Tarikat Mojo, Ichsan Suratinojo, Muhidin Rivai, Ilham mas Hanafi, Alfan Gusasi, Jumali Suratinojo, Ronggo Danupoyo, Jalil Kyai Baderan, Napu dan Arta.

Kelompok kedua yang  datang ke Gorontalo pada tahun 1910 sebanyak sepuluh kepala keluarga. Mereka mendirikan kampung Kaliyoso. Kelompok ketiga yang datang pada tahun 1925 sebanyak seratus dua puluh lima kepala keluarga dan mendirikan kampung Reksonegoro (Isimu). Pada Tahun 1914 Desa Yosonegoro mulai banyak penduduknya dan didirikanlah masjid Al-Muttaqin, imam dan sekaligus kepala desanya adalah Kiyai Rahmat Zees.

Di kampung Yosonegoro, Reksonegoro dan Kaliyoso,  Amal Modjo dan rombongannya tetap membawa tradisi dari kampung Jawa Tondano. Dialek Jaton yang merupakan pertemuan bahasa Tolour Minahasa dan sebagian bahasa Jawa menjadi bahasa tutur warga asal Kampung Jaton di Gorontalo. Tradisi ‘Ba’do Ketupat’ atau lebaran ketupat, yang khas masyarakat kampung Jaton, juga terus dirayakan oleh masyarakat Jaton Gorontalo hingga saat ini.

Untuk menghargai jasa-jasa Amal Modjo, maka namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan di desa Ombulo kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Nama Kyai Modjo diabadikan menjadi salah satu nama jalan di kelurahan Limba B kecamatan kota Selatan Kota Gorontalo. Namanya juga disematkan menjadi nama Madrasah Alkhairaat Kiayi Modjo  di Kabupaten Gorontalo. Alfatehah untuk almarhum Kyai Modjo dan Almarhum Amal Modjo.

Tulisan dr. Isman Yusuf

Wednesday, April 2, 2025

Asal Usul marga Dunggio

Walaapulu Habi adalah cucu pertama dari salah seorang penguasa kerajaan Limutu (Negeri kesultanan Limboto) yang disebut Sultan Talibana. Talibana bergelar Tapilosuwita, ia mempersunting hambanya yaitu putri Tane lalu dikaruniai seorang anak bernama Pohu, kemudian Pohu dinikahi oleh kadli Buke lantas memperoleh empat orang anak, yakni;
1. Jegugu Limboto bernama Muhammad Yusuf atau Datu,
2. Marsaole Maku,
3. Walaapulu Habi, dan,
4. Walaapulu Modampa.

Selanjutnya Walaapulu Habi beristeri putri Lida yang tak lain adalah salah satu cucu dari Sultan Bututihe. Habi sendiri tidak menggunakan marga marga dari pendahulunya, sebagaimana ia berasal dari keturunan bangsawan. Dan atas perkawinan bersama dengan putri Lida, iapun memperoleh anak masing masing adalah; Raja Bulango Tumulo digelari Tatokuburu dan Walaapulu Muhammadi atau dipanggil Hadi dan Syekh Poluli.

Berdasarkan nasab itu atau silsilah keluarganya, tersebut pula seorang wanita yakni putri Niu, yang tak lain adalah masih dalam lingkungan keluarganya sendiri (sepupu). Selain bernama Niu, ia juga mempunyai nama lain yaitu Tinti. Lantas ia dinikahkan dengan Walaapulu Muhammadi kemudian menurunkan sejumlah anak dan cucu cucu serta cicitnya. Demikian sesingkatnya dan akan dilanjutkan pula penjelasan dari turun temurunnya berikut ini.

Perkawinan Walaapulu Muhammadi dengan putri Tinti dikaruniai anak yaitu Raja Tupa bernama Dunggio dan Raja Huwangobotu bernama Tawaa dan seorang wanita yaitu putri Paduma. Seterusnya, Walaapulu Muhammadi beristeri pula orang lain beranak putri Yadimuliya dan putri Rabia.
Dari sinilah awalnya nama Dunggio dan kini sudah menjadi nama belakang (marga) sebahagian kecil warga suku Gorontalo.

Berikutnya pula tentang Raja Tupa Dunggio, ia mempunyai tiga orang isteri yaitu:
1. Putri Patimah, mendapatkan tiga orang anak; Sahi, putri Hatida dan putri Saila.
2. Putri Duma berasal dari Buhuponelo, mendapat anak putri Unteni, putri Luawo dan Maku.
3. Putri Tunggulo mendapat dua orang anak yaitu putri Anta dan Tomayahu.

Ketiga-tiga isteri Raja Tupa Dunggio masing masing dikaruniai anak, dan jumlah keseluruhannya genap delapan orang. Terdapat tiga orang laki laki dan lima orang wanita. Oleh karena itu, lebih jauh untuk diketahui bahwa, tiap tiap isterinya mempunyai seorang anak laki laki. Sebab itu keturunan Raja Tupa Dunggio masih akan berlanjut dan secara berkesinambungan mewarisi nama ayahnya yaitu kelak menjadi marganya (Marga Dunggio).

Memperhatikan ketiga anak lelakinya yakni Tomayahu bin Dunggio, Maku bin Dunggio dan Sahi bin Dunggio, masing masing berpopulasi hingga sampai ke pelosok negeri di wilayah kawasan adat, yaitu rumpun warga Limo Pohalaa. 

Tulisan dari Bapak Maman Ntoma