Cikal bakal masuk Islam di Gorontalo tidak terlepas dari masalah kerajaan
Gorontalo. Gorontalo masa lalu adalah salah satu kerajaan yang terdapat di
pulau Sulawesi. Gorontalo, pada awalnya berupa lautan dan daratan yang nampak
hanya puncak gunung Tinongkabila dan puncak gunung Boliyohuto, tetapi lama
kelamaan akhirnya menjadi hamparan daratan yang luas dan yang tersisa berupa
genangan air, yaitu sebuah danau yang dikenal dengan danau Limboto.
Dinamika kehidupan manusia selalu mengalami perubahan berupa sistem
yang mengatur kehidupan itu, antara lain manusia membentuk suatu sistem
pemerintahan yang berbentuk monarchi (kerajaan) dan kerajaan tertua di
Gorontalo, adalah kerajaan Wada yang dikenal juga dengan sebutan kerajaan
Padenyo yang diperintah oleh seorang raja bernama Ihomolangi, yaitu anak
dari putrid Bulaidaa garis keturunan raja Mooduto. Raja Ihomolangi
memperoleh keturunan Ikihudu (laki-laki) yang dikenal dengan nama Wadipalapa
dari perkawinan dengan putrid Rawe.
Kerajaan Gorontalo adalah suatu kerjaan yang terbentuk atas persekutuan
17 kerajaan lokal yang di sebut Linula, yaitu 1) Ihungina, 2). Lupoyo, 3).
Bilinggata, 4) Wuwabu, 5). Biawu, 6). Padengo, 7). Ihuangobitu Alowala,
8). Tapa, 9). Lawwonu, 10). Toto, 11). Dumati, 12). Ilotide, 13) Pandungo,
14). Panggulo, 15). Ihuayabatu Alojihi, 16). Tumboo dan 17). Iholondalangi.
Persekutuan kerajaan tersebut dimotori oleh Iholondalangi (raja kerajaan
Padengo) karena raja ini raja yang paling berpengaruh di antara ke-17 kerajaan
yang bersekutu (Linula) tetapi masih sebatas wacana, tetapi baginda telah
meletakan potensi persekutuan di antara multi kerajaan tersebut. Sepeninggal
baginda digantikan oleh putranya Ilahudu (Wadipalapa) dan Wadipalapa
melanjutkan dan mewujudkan cita-cita baginda ayahandanya mempersatukan
17 kerajaan (Linula), maka pada tahun 1385 M. Terbentuk Kerajaan Gorontalo
(Hulondalangi) dan berpusat di Iholawa. Pusat kerajaan selalu berpindah-
pindah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, yaitu dari
Iholawa berpindah ke-Dongingi kemudian ke-Biawu.
Kerajaan Gorontalo mencapai kemajuan pada masa pemerintahan raja
Ilahudu, Uloli hasil perkawinannya dengan putri laiyo Lembanggo dari Uloli lahir Ntihedu (putri), Ntihedu melahirkan Dedu (putra) dan darinya melahirkan
Amai sebagai raja kerajaan Gorontalo yang pertama menerima agama Islam
dan sebagai cikal bakal masuk Islam di Gorontalo. (Yassin, Br, tt: 14)
Islamisasi di kerajaan Gorontalo tidak terlepas dari peranan Raja Amai
salah seorang pewaris Ilahudu sebagai raja Gorontalo pertama yang mengantar
kerajaan Gorontalo mencapai masa keemasan. Ketika melakukan kunjungan
kerajaan sebagai seorang raja (kenegaraan) di kerajaan Tamalate Tomini,
melakukan pertemuan dengan Bonenato Raja Gumucala Palasa membicarakan/
menawarkan agar masyarakat kerajaan Tamalate Tomini untuk melakukan
transmigrasi ke-Gorontalo untuk melakukan pembukaan lahan pertanian dan
perkebunan di Gorontalo dan pada perteman ini Raja Amai bertemu dan jatuh
cinta pada Awutango putri Bonenato (Raja Muslim, sultan), akhirnya berlanjut
raja Amai melamar putri tersebut dan diterima dengan dua pensyaratan, yaitu
1) Raja Amai harus menganut Islam dan akan mengembangkan Islam di
daerahnya (Gorontalo), 2) seluruh rakyat Gorontalo wajib menganut Islam.
Semua pensyaratan tersebut diterima oleh raja Amai dan dilanjutkan dengan
pembaeatan dan peresmian mempersunting (menikahi) putri Awutango, dengan
demikian Raja Amai resmi menjadi seorang Muslim dan menantu Raja Bonenato
dari kerajaan Tamalate Tomini.
Pembaeatan dan pernikahan raja Amai dengan permaisurinya putri
Awutango berlangsung di Palasa Tamalate Tomini pada tahun 1525 M, disaksikan
oleh para raja di Tamalate Tomini, antara lain raja Sahibullah yang bertindak
sebagai naib dalam perkawinan ini dan hasil pernikahan ini lahir seorang putri
diberi nama Putri Matolodidakiki. Setelah berlangsungnya proses
perkawinannya Raja Amai membawa permaisurinya ke-Gorontalo didampingi
oleh kedelapan (8) raja dengan pengawalan ekstra ketat. Keikutsertaan kedelapan
raja ini bertujuan untuk pengamanan bagi baginda Raja Amai dengan
permaisurinya dalam perjalan dan menjadi pengamanan di Gorontalo dalam
melaksanakan kesepakatan yang diikrarkan raja Amai sebagai pensyaratan
dalam mempersunting putri Awutango.
Semua raja yang mendamingi raja Amai dan permaisurinya menetap di
kerajaan Gorontalo untuk membantu Sultan Amai dalam melaksanakan
pemerintahannya termasuk merancang adat dipadukan dengan sara' yang
disepakati di kerajaan Tamalate Tomini antara mertuan dan menantunya.
Kedelapan raja tersebut, adalah raja tamalate, raja Limboto, raja Siendeng, raja
Holangata, raja Siduan, raja Sipayo, raja Soginti dan raja Bunoyo dipimpin olehsultan muda Biharuddin (putra) dari sultan Sahibullah dari Tamalate Tomini.
(SR. Nur, 1979 : 21) Mereka tersebut disamping seorang raja juga bertindak
sebegai muballig yang akan membantu penyiaran Islam di kerajaan Gorontalo.
Para raja tersebut diutus mendampingi raja Sultan Amai karena mereka
memiliki professional tertentu, yaitu a) Raja Tamalate, Siendeng dan Hulangata
ahli dalam masalah hadat kerajaan dan pembuatan peralatan, antara lain seperti
tolu, tutup saji dan membuat garam dapur, b) Raja Siduan, Sipayo, Soginti dan
Bunuyo menjadi guru dalam masalah yang berhubungan dengan perdukunan
dan mantra-mantra. (T.A.Giu, 2002 : 3)
Dua pendapat tentang masuk Islam di Gorontalo, yaitu a) pada tahun 931
H/1524 M, b) tahun 899 H/1495 M, pendapat kedua (b) yang diperpegangi
berbagai pihak karena data tersebut tertulis pada pintu gerbang masuk di masj id
Hunto Sultan Amai yang terdapat di kelurahan Biawu Kota Gorontalo.
Perjalanan kembali ke kerajaan Gorontalo merupakan ekspedisi bahari dan
setibanya dipelabuhan Gorontalo pada tahun 899H/1495 M, mereka disambut
oleh masyarakat kerajaan Gorontalo dengan antosias dan penuh terharu,
kemudian raja Amai bersama rombongannya melanjutkan ke Biawu yang
meruapakan perkampungan Raja Ilohundonga, lokasi yang sekarang dikenal
dengan nama Hunto dan terletak dikelurahan Biawu kecamatan Kota Selatan
Kota Gorontalo.
Di pumukiman Raja Amai dan permaisuri, rombongan melaksanakan dua
kegiatan sebagai media pertama dan utama dalam memperkenalkan Islam pada
rakyat Gorontalo, kegiatan tersebut a) bertepatan dengan tiba waktu Dzuhur
mereka melakukan shalat Dzuhur di tempat terbuka dan mendapat perhatian
masyarakat sekitar, b) pada hari Senin 899 H/1495 M, mereka membangun
suatu tempat ibadah (masj id) atau tihi sederhana karena tiga hari kedepan
pelaksanaan shalat Jum'at tiba. (Agin, 2002 : 5) Masjid ini diberi nama masjid
Hunto sesuai nama tempat pemukiman mereka dan menjadi masjid pertama
dan tertua di Gorontalo dan akhirnya masjid Hunto ditambah namanya menjadi
Masjid Hunto Sultan Amai untuk mengabdikan nama raja yang pertama
menerima Islam, muballig pertama dan pendiri masjid tersebut.
Sejak saat itu raja Amai melaksanakan amanah dengan memaklumkan pada
masyarakat Gorotalo, bahwa dia telah menganut Islam sebagai agama, oleh
karena itu baginda sultan mengharapkan kepada masyarakat mengikuti jejaknya
menganut Islam sehingga Raja Amai digelar ta loo pamaklumu dan pada saat
itu pula digelar tulutani (sultan), yautu raja Islam pertama di kerajaan Gorontalo.Perlu dikemukakan bahwa setelah Sultah Amai mantap dalam
pemerintahannya dan Islam di kesultanan Gorontalo mengalami perkembangan
maka Biharuddin dinobatkan menjadi Sultan di kerajaan Tamalate Gorontalo
dan pada tahun 931 H/1525 M, Sultan Amai mengharapakan kepada Sultan
Biharuddin untuk membangun masjid di kerajaan Tamalate Gorontalo di samping
masjid yang berada di Kesultanan Gorontalo dan masjid ini disebut tihi loalipu
(masjid kerajaan).
Kedua masjid tersebut dijadikan sebagai sentrum penyebaran Islam dan
difungsikan sebagai masjid kesultanan bagi kesultanan Tamalate dan kesultanan
Gorontalo dan dari kedua tihi ini digemakan syi'ar Islam di kedua kesultanan
yang dilakukan oleh Sultan Amai, Sultan Biharuddin dengan dibantu oleh sultan
lain seperti Sultan Siandang dan sulatan Ihulangata. Dalam kurun waktu yang
tidak lama raja dan pembesar negeri menganut Islam sebagai agamanya, seperti
raja Suwawa, Limboto, Bulingo, Atinggala dan raja Bualemo.
Sultan Biharuddin yang semula mendapat amanah untuk merancang kultur
di kesultanan Gorontalo berhasil melaksanakan tugasnya memadukan antara
kultur masyarakat kesultanan Gorontalo dengan syari'at Islam, sehingga berhasil
menetapkan 188 sendi adat sebagai pedoman dalam kultur Gorontalo yang
dipadukan dengan sara'. Keberhasilan ini atas dukungan raja Limboto, Sumawa,
Dolango, Atangala, Bualemo dan raja yang berasal dari Kerajaan Tamalate
Tomini.
Di masa pemerintahannya Sultan Amai, permaisuri dan putrinya lebih banyak
tringgal dikerajaan Tamalate Gorontalo yang diperintah oleh Sultan Biharuddin,
oleh sebab itu masa kecil putrinya dihabiskan bersama putri Muharifah (putri
Sultan Biharuddin) kerena mereka sebaya, mereka sama-sama memperoleh
pendidikan Islam secara ketat di Istana kesultanan Tamalate Gorontalo. Sultan
Tamalate Gorontalo memiliki dua istana ksesultanan yang berhadapan di sebalah
Timur dan Selatan Masjid Kesultanan, tetapi keberadaan kedua istana dan
masjid ini tinggalfoklor karenatelah dihancurkan oleh Kolonial Belanda.
Pada akhir masa pemerintahannya Sultan Amai mengalami krisis rumah
tangga yang mengakibatkan permaisuri Owutango meninggalkan istana
kesulanan Gorontalo kembali ke-Kerajaan tamalate Tomini meninggalkan
Baginda Sultan Amai dan putrinya. Permaisuri berangkat hanya dikawal oleh
empat raja yang berasal dari kerajaan Tamalate Tomini (raja Sipayo, Bunuyo,
Soginti dan raja Siduan), namun ke-empat raja ini tidak sempat bersama sampai
di Tamalate Tomini, tetapi singgah dan tinggal di Bumbar (Pohuato) danbergelar alongia ( empat raja) bersaudara. Ketika Sultan Amai mangkat maka
digantikan atau naik tahta putrinya Matolodulakiki pada tahun 1550 M dan
pada masa pemerintahannya Baginda Sultan Ratu melanjutkan sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh ayah handanya dan pada masa
pemerintahannya Islam berkembang dengan pesat karena baginda ratu selalu
memotivasi perkembangan Islam di kerajaannya sehingga baginda sultan juga
di gelar dengan talopoloopo Islam.
Bersamaan dengan masa pemerinthan sultan Ratu Matolodulakiki, Sultan
Sahibullah di Tamalate Tomini (ayahanda) dari sultan muda Biharuddin mangkat,
maka Sultan Biharuddin pulang kampung (Tamalate Tomini) dan naik tahta
menggantikan ayahandanya (Sahibullah), sedangkan yang membantu menjadi
naib di Kesultanan Tamalate Gorontalo, adalah raja muda Pangoliu. Perlu
dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Biharuddin pusat
pemerintahan kerajaan Tamalate Tomini dipindahkan dari Palasa ke-Tamalate
Gorontalo atas persetujuan dari Sultan Gorontalo, raja Limboto, Sowawa, Bulango
dan raja Bualemo. Demikian pula pada masa pemerintahan banginda Sultan
Ratu Matolodulakiki pusat kerejaan Gorontalo juga dipindahkan di kerajaan
Gorontalo dan penyatuan kedua pusat kerajaan ini berlangsung hingga pada
masa pemerintahan Sultan Jogugu Ejato.
Dalam dinamika historis kesultanan Gorontalo silih berganti pemerintahan
(kesultanan) karena raja mangkat. Setelah baginda Sultan Ratu Matolodulakiki
mangkat dan digantikan oleh putranya Pangoliu Dai (Pangoliu pertama) dan
pada tahun 1585 M, sistem pemerintahannya sama dengan kakek dan ayahnya,
pada masa ini Islam semakin berkembang dan mewajibkan penganut Islam
melakukan sunatan missal bagi anak dan pemuda yang belum disunat dan
pembaeatan bagi perempuan yang memasuki usia gadis dengan suatu upacara
adat dan mandi lemon dilaksanakan dimasjid Kesultanan Tamalate Gorontalo
bertepatan dengan 2 Muharram 1009 H/1611 M, sehingga sultan digelar tato
powajibu (orang yang mewajibkan).
Perlu dikemukakan, bahwa pada setiap 1 sampai dengan 10 Muharram di
masjid Kesultanan Tamalate Gorontalo sultan melakukan acara silaturrahmi
dengan raja Limboto, Sowawu, Bolango, Atinggala dan Bualemo dan dihadiri
oleh para pembesar kesultanan/kerajaan, ulama, sara' dan pada acara ini juga
dibicarakan berbagai masalah yang berhubungan dengan masalah kerajaan (dunia
dan akhirat). (lihat Yassin : 25) Oleh sebab itu masijid memiliki multi fungsi
seperti yangterjadi padaawal pengembangan Islam karena di masjid diselesaikansegala masalah, antara lain seperti masalah politik dan masalah sosial, disamping
yang berhubungan dengan masalah di balik alam nyata karena Islam menuntun
umatnya menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Sultan Pangoliu digantikan oleh putrinya Moliye (1615 M), kemudian pada
tahun 1646 M digantikan oleh suaminya Jogugu Eyato dan pada pemerintahannya
kesultanan Gorontalo juga mengalami perkembangan pesat. Masyarakat
Gorontalo diwaj ibkan menganut Islam dan baginda Sultan memproklamirkan
Islam sebagai agama kesultan Gorontalo sehingga sultan Jogugu Eyato digelar
talopatatapu (yang menetapkan Islam sebagai agama negeri) dan baginda
sultan Jogugu Eyato adalah sultan pejuang menentang penjajahan Belanda
sehingga Baginda Sultan dibuang di Sailan.
Para penyebar Islam pada Kesultanan Gorontalo menggunakan metode yang
digunakan oleh Al-Qur'an, yaitu pada awalnya disesuaikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat sasaran. Para muballig menggunakan mendekatan adaptatif,
yaitu kebijakan Sultan Amai awalnya menggunakan metode menyesuaikan dengan
adat dengan mengacu pada prinsip saraa topa-topango toadati (sara' bertumpu
pada adat). Prinsip dimaksud adalah hukum atau Syari'at bisa berlaku apabila
disesuaikan dengan kultur yang berlaku dalam masyarakat. Penggunaan
pendekatan seperti ini dengan harapan bahwa Islam diterima oleh seluruh rakyat
Gorontalo dan pada akhirnya Islam dijadikan sebagai agama kerajaan.
Kerangka tersebut menunjukan, bahwa Islam masuk di Gorntalo melalui
kawin mawin antara seorang raja dengan putri raja atau sebaliknya, oleh sebab
itu agama masuk di Gorontalo mulai dari atas (raja) sehingga Islam di Gorontalo
berkembang dengan cepat karena ada prinsip masyarakat di suatu kerajaan,
bahwa hidup dan kehidupannya adalah milik raja, titah raja adalah suatu
kewajiban, oleh sebab itu menganut Islam bagi masyarakat Gorontalo adalah
suatu kewaj iban yang harus dipatuhi dan berlanjut hingga saat ini, rakyat Gorontalo
menjadi Muslim yang ideal, bukan orang asli Gorontalo kalau tidak Islam. Proses
ini memiliki persamaan dengan proses Islamisasi di kerajaan Gowa dan Tallo
(Sulawesi Selatan), yaitu Islamisasi dimulai dari atas (raja).
Proses Islamisasi di suatu daerali berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat sasaran. Mereka menggunkan pendekatan Islamisasi sesuai dengan
kondisi masyarakat agar mereka mudah menerima seruan tersebut, maka tidak
heran kalau Raja Muda Biharuddin pada awal kegiatan da'wahnya
mencanangkan prinsip sara' bersendikan adat, setelah ke-Islam-an
masyarakat telah kuat dan seluruh masyarakat kerajaan Gorontalo menganut.Islam maka Sultan Gorontalo memproklamirkan prinsip adat bersendikan sara'
dan sara' bersendikan Kitabullah. Kerangka tersebut menunjukan, bahwa
tiga orang Sultan pada kesultanan Gorontalo yang sangat berjasa dalam Islamisasi
dan pengembangan Islam di kerajaan Gorontalo, yaitu Sultan Amai, Sultan
Matolodulakiki (Ratu Sultan) dan Sultan Jogugu Eyato.
Peran Sultan Amai
Sultan Amai memerintah pada 1532 - 1550 M, kalau dilihat proses awal
Islamisasi meletakan Sultan Amai a) seorang yang pertama menerima dinul
Islam, b) seorang raja yang membawa dan mengembangkan Islam (muballig)
di kerajaan Gorontalo, c) menjadikan kerajaan Gorontalo menjadi kerajaan Is-
lam, d) wajar kalau disebut raja yang pertama disebut Sultan di kerajaan Islam
Goronalo.
Dalam mensosialisasikan Islam di kerajaan Gorontalo Sultan Amai bersama
rombongannya yang berasal dari Palasa kerajaan Tamalate Tomini melakukan
kegiatan, yaitu 1) melaksanakan shalat Dzuhur pertama di pemukimannya di
Hunto, 2) mendirikan Masjid Hunto yang akhirnya dinamakan masjid Hunto
Sultan Amai. Kerangka tersebut menunjukan, bahwa seharusnya masjid Hunto
Sultan Amai dijadikan pusat pendidikan dan pengembangan Islam, artinya pusat
kegiatan pemahaman dan pendalam ilmu Islam karena hal ini merupakan hal
yang mendasar dalam ajaran Islam, iman, amai (ilmu) dan menjadi sumber utama
kultur dan peradaban orang Islam pada masa pemerintahan Sultan Amai.
Pada dinamika pengembangan peradaban Islam Sultan Amai menggunakan
pendekatan adaptatif dengan prinsip saraa topa-topanga to adati ('sara'
bertumpu pada adat). Pada masa pemerintahannya di dampingi oleh delapan
raja dari Palasa berhasil membuat 185 macam pola adat yang merupakan
akulturasi kultur masyarakat kerajaan Gorontalo dengan kultur kaum Muslimin
yang Islami, antara lain adat perkawinan, penyelenggaraan jenazah, pelaksanaan
ibadah, mengatur hubungan sesama (adat dalam pergaulan), pembinaan remaja,
kesenian yang bernafaskan Islam, kerukunan antara rakyat dan pemerintah,
kerukunan hidup, penghormatan terhadap tamu, sosial, rumah tangga dan
pembinaan sosial keagamaan.
Disamping itu Sultan Amai juga menjadikan kesenian sebagai medya
pengembangan budaya dan peradaban Islam, antara lain a) kesenian yang
berhubungan dengan kematian, yaitu leningo (pantun agama yang berisi nasehat
bahwa semua mahluk hidup pasti akan menghadap kematian). Tinilo (pujian
terhadap para leluhur dilantungkan untuk mengiringi pengantaran batu nisannya
ke kubur). Hantalo (gendering yang dibunyikan menjemput tamu pada upacara
pemakaman seorang pejabat negeri (bubato). b) kesenian yang berhubungan
dengan peringatan maulid Nabi Muhamad SAW, yaitu berupa dikili (zikir)
tentang kelahiran Nabi, c) kesenian yang berhubungan dengan perkawinan,
antara lain mohatamo Quruani (chatam Qur'an) dilakukan pada malam
walimatur urusy (pesta perkawinan).
Sara' yang Diadatkan
Sara' yang di adatkan, yaitu perintah mengikuti syari'at Islam hanya
sosialisasinya melalui adat yang tidak bertentangan dengan tujuan syari'at, antara
lain 1) pelaksanaan ibadah shalat mengacu pada hadis Ibnu Mas 'ud, yaitu
hendakalah orang yang sudah balig dan pandai di antara kamu di dekatku. (Hadis)
maksudnya orang yang sudah balig dan berilmu berada pada shaf yang terdepan,
oleh sebab itu adat menetapkan bahwa shaf terdepan di masjid ditempati oleh
pejabat negeri (utamanya di daerah), 2) hadis Bukhari Muslim, apabila tiba waktu
shalat maka hendaklah adzan salah seorang di antara kamu. (Hadis) maksudnya
adalah panggilan untuk melaksanakan shalat, adat Gorontalo menetapkan untuk
pejabat utama di daerah yang malaksanakan shalat Jum'at atau shalat Id akan
dijemput oleh tokoh adat dengan cara mohama wombato (menjemput tikar shalat)
dan hal ini berlaku pula pada peminangan dalam suatu perkawinan.
Adat yang di-Islamkan
Adat yang di Islamkan, artinya yang dimaksud pelaksanaan berdasarkan
adat, tetapi secara konteks adalah Island, antara lain pada acara belasungkawa,
a) mapodidi, mengandung makna yang Island. Didi, adalah simbol ta 'ziah dan
langsung memohonkan magfirah bagi almarhum dengan berzikir (zikir qalbu),
b) memandikan zenazah, air yang disiramkan yang terakhir disebut taluhu
liduyo, air yang berwarna putih, kuning dan merah darah. Air merah untuk
menyiram mulai dari kepala hingga kaki dan berakhir di pusat. Warna merah
untuk mensucikan sifat amarah. Warna kuning simbol harapan untuk mensucikan
perbuatan kotor yang bersumber dari qalbu. Sedangkan warna putih, adalah air
untuk siram terakhir, sebagai simbl harapan agar segala dosanya diampuni
(terhapus).
Pada masa pemerintahan Motolodulakiki telah melahirkan dua tokoh
dalam masyarakat Gorontalo, yaitu tokoh agama (ulama) dan tokoh adat. Tokoh
ini yang berperan dalam pembangunan budaya dan peradaban Islam di Gorontalo.
Pikiran Sultan sangat mendasar dan berlian karena Islam menjadi pegangan,utama dan pedoman hidup, baik oleh pembesar kerajaan maupun oleh masyarakat
dan sikap seperti ini cenderung pada usaha menjadikan Islam sebagai agama
kerajaan Gorontalo.
Peran Sultan Matolodulakiki
Sultan Matolodulakiki, adalah putri dari Sultan Amai (1550 - 1585), pola
pemerintahan dan kepedulian terhadap Islamisasi di kerajaan Gorontalo sama
dengan baginda ayahandanya (Sultan Amai), hanya Matolodulakiki melakukan
terobosan di dalam pengembangan kultur masyarakat Gorontalo. Pengembangan
peradaban Islam dari pendekatan adaptatif dengan mengembangkan menjadi
akulturasi budaya dengan sistem adati hula-hula to saraa, saraa hula-hula
to adaptii (adat bersendi pada sara', sara' bersendikan kitabullah). (S.R Nur,
1979 : 221) sistem ini mendekatkan masyarakat pada Islam dan memudahkan
penerimaan sehingga dalam perkembangannya Islam memiliki dampak, yaitu
a) adat bersendikan pada sara' melahirkan adat yang Islami, b) sara' bersendikan
adat, melahirkan Islam yang di adatkan.
Peran Sultan Jogugu Eyato
Sultan Jogugu Eyato sebelum dinobatkan menjadi sultan, baginda dikenal
sebagai khatib besar, seorang sufi yang diketahui sangat mengutamakan
kesucan bathin. (Polontalo, 1998 : 67) Sultan ni adalah sultan ke enam pada
struktur kerajaan Gorontalo bagian utara, tetapi dalam struktur kerajaan Gorontalo
Islam (kesultanan) adalah sultan yang ke lima. Rentang waktu antara
pemerintahan sultan Motolodulakiki dengan sultan Jogugu Eyato di selingi oleh
dua orang raja selama kurun waktu 88 tahun.
Pada pemerintahan kedua orang raja (pengantara) ini agama Islam
statis bahkan cenderung mundur karena masyarakat hanya mengutamakan
kultur asli masyarakat Gorontalo dan mengenyampingkan kultur yang
Islami. Kondisi seperti ini yang memotivasi sultan Jogugu Eyato mencetus
pranata Islami yang lebih idial dari sistem yang diberlakukan oleh Sultan
Amai dan Sultan Motolodulakiki untuk menghadapi kemunafikan
masyarakat tentang roh Islam (tauhid). Pranata sebagai sistem pantang
surut menghadapi kemunafikan tersebut, adalah adati hula-hulaa to
saraa, saraa hula-hulaa to Quruani (adat bersendikan sara', sara'
bersendikan kitabullah).
Beradasarkan sisten ini Sultan Jogugu Eyato dengan Arif melakukan
perubahan, antara lain :
1). Meminta pada bantayo po boide menambah kalimat pidato penobatannya
sebagai Sultan, dari kalimat yang biasa dipidatokan sebelumnya, yaitu kalimat
dila poluliya lo ito eya (tetapi tuanku tidak diperbolehkan menyalahgunakannya).
Kalimat pidato penobatan raja sebelumnya, yaitu:
• Huta- huta lo ito eya ftanah, adalah kepunyaan tuanku).
• Taluhu- taluhu lo ito eya (air, adalah air kepunyaan tuanku).
• Duputo-duputo lo ito eya (angin, adalah angin kepunyaan tuanku).
• Tawu-tawu lo ito eya (manusia adalah manusia kepunyaan tuanku)
Tambahannya: dila poluliya lo ito eya (tetapi tuanku tidak diperbolehkan
menyalahgunakannya).
Pada upacara penobatan Sultan Jogugu Eyato diwarnai dengan makna yang
menyangkut tugas berat dan mulia, antara lain dapat dilihat pada kalimat:
a). Tugas Maharaja; moiyo to Allah ... walo Mursala loo wall oe sagala
fmembantu Allah dan nabi utusanNya, yang telah menciptakan segala-
galanya).
b). Usaha memakmurkan rakyat, berpedoman pada; agama to taluu, lipu
pei hulaluu (agama menjadi patokanku dalam mengendalikan negeri ini).
c). Penyelenggaraan pemerintahan, dasarnya; oliide olimbunga oladia
poheluma (ada aturan pemerintahan yang di dampingi oleh dewan
permusyawaratan).
2). Pembatasan kekuasaan raja. Sultan Jogugu Eyato merumuskan, bahwa
kekuasaan yang pada diri manusia, terbagi atas kekuasaan lahir dan kekuasaan
bathin. Untuk menghindari mabuk kekuasaan duniawi maka satu-satunya
adalah menyandarkan kekuasaan itu pada kehendak Allah SWT, sehingga
bathin akan disinari oleh cahaya Islam. Rumusan kekuasaan yang ditetapkan
oleh sultan Jogugu Eyato yang didampingi oleh Bantayo po boida, menetapkan
pensyaratan seorang yang dipilih menjadi khalifah atau maharaja, adalah a)
bijaksana, pintar, berpendirian teguh, b) beragama dan berakhlak mulia, c)
pengendalian diri dan bijaksana dalamkekuasaan, d) kasih saying kepada
rakyat, e) adil, f) berani dan bijak di dalam menghadapi tantangan.
3). Sistem pemerintahan berdasarkan aqidah Islam dan mewajibkan sebagian
sifat 20 Allah SWT mejadi acuan semua aparat kerajaan mulai dari pejabat
rendahan sampai pada pejabat tinggi, antara lain a) sifat nafsiah, sifat
kepribadian atau sifat wujud (ada). Sifat ini diwujudkan bahwa kerajaan itu
ada karena ada aktivitas para pejabat dan aktifitas itu harus sesuai tuntunan
Allah SWT dan Rasul SAW, b) mukhalafatuhu HI hawadis, sifat berlainan
dengan mahluk yang ditujukan pada perbedaan antara rakyat dan pejabat,
maka kalau pejabat melanggar hukum maka hukumannya lebih berat dari
hukuman yang diberlakukan pada masyarakat, c) qalam, berbicara yang
benar diperuntukan pada buntayo poloide, artinya mereka harus berbicara
yang benar, musyawarah dengan niat untuk kepentingan rakyat dan kerajaan,
d) wahadahiyah (Esa), ditujukan pada kerajaan, persatuan seluruh rakyat,
pembesar kerajaan dan seluruh alam merupakan hubungan zimbiotik, e) sama,
basar (mendengar, melihat) diperuntukan pada walaupulu (kepala kampung)
untuk mendengar keluhan rakyat dan wajib menyampaikan pada atasannya
dan sebaliknya, f) qidam (lebih dahulu), siap sedia diperuntukan pada keamanan
agar siap dan taat dalam melaksanakan tugas, g) qiamu binafsihi (berdiri
sendiri) ditujukan kepada baate, wuu, mereka harus tegas pada prinsip tanpa
dipengaruhi oleh yang lainnya, h) baqa' (kekal) sifat yang harus dimiliki oleh
sara' , qadi, mufti, imam dan saradaa, mereka melaksanakan syari'at
Islam secara kaffah tanpa dipengaruhi oleh aliran apapun.
4). Pembinaan Islam. Sistem pemerintahan sultan Jogugu Eyato mempertahankan
ketiga sistem pemerintahan, salah satu diantaranya adalah menempatkan qadi
pada bagian formal. Tugasnya membina Islam, menasehati sultan, mengetuai
pengadilan pidana dan perdata. Disamping itu tugas utama qadi, adalah a)
membina Islam, b) membangun masjid dengan wakaf, c) menyelenggarakan
perayaan Islam baik di istana maupun di masjid, d) membina peradilan, e)
menjadi penasehat pada siding kerajaan dan peradilan dalam hukum Islam.
(Polontalo, 2002 : 20) Sedangkan dalam menjalankan tugasnya qadi dibantu
oleh; a) moputi atau mufti (penasehat di bidang agama Islam), b) panthongo
(penasehat tentang ilmu falak), c) imam (memimpin ibadah), d) saradaa (wakil
imam, pengatur tata tertib peribadatan, e) lebi (pembantu saradaa), f) kasisi
(anggota pembantu saradaa). (Ina Moo, 1979 : 25)
5). Memperhatikan iptek dan imtak. Dasar pemikiran sultan Jogugu Eyato .
melaksanakan imtek dan imtak, bahwaAllah SWT memiliki sifat maani yang
salah satu sifat itu adalah ilmu, Allah mengetahui dan hal ini di jadikan acuan
pantas atau tidaknya seseorang menjadi raja, antara lain bijaksana, cendekia,
adil, memiliki akhlak mulia dan hal ini berlaku pula bagi pembesar kerajaan.
Mengacu pada keriteria tersebut maka kemampuan pembesar kerajaan
dikelompokan atas empat (4) bagian, a) kelompok kekuasaan yang menangani
keamanan dan keuangan, b) kelompok kehidupan, menangani pertanian dan
petemakan, c) kelompok cendekiawan, menangani kehidupan keagamaan dan
adat, d) kelompok kesenangan, menangani pembangunan fisik, antara lain seperti
jalan, pengairan, perindusterian dan gedung.
Perlu dikemukakan, bahwa keempat pembagian kerja tersebut memerlukan
ilmu pengetahuan tentang sifat Allah SWT, yaitu qudrat, iradat, ilmu dan hayat
dan sifat ini diperuntukan bagi pemangku jabatan, a) qudrat (kuasa) harus dimiliki
oleh pejabat di bidang kekuasaan dilambangkan dengan warna merah sebagai
simbol kemampuan, bahwa pejabat tersebut haru memiliki kemampuan menghadapi
segala sesuatu, b) iradat (kemauan) harus dimiliki oleh pejabat yang menagani
kehidupan, dilambangkan dengan warna kuning, sebagai simbol kemauan untuk
mensejahterakan masyarakat, c) ilmu (pengetahuan) harus dimiliki oleh pejabat
yang menjabat bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan lambang warna
kuning, sebagai simbol kedewasaan, d) hayat (hidup) harus dimiliki oleh pejabat
yang menjabat bidang kesenangan, ekonomi dengan lambang hijau sebagai simbol
kesuburan, pembangunan bidang ekonomi. (Liputo, 1945 :14)
Kerangka tersebut menunjukan, bahwa ketiga sultan ini yang berperan dan
sukses dalam proses Islamisasi dan mengantar Islam pada masa pengembangan
dan keemasan Islam di kerajaan Gorontalo dan dalam masa pemerintahannya
ketiga baginda sultan memadukan antara adat dan sara' sehingga Islam mudah
diterima dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, sehingga
ketiga baginda sultan dikenal dan terkenal dalam kehidupan masyarakat Islam
Goronalo, terutama Sultan Amai karena seandainya baginda Sultan Amai tidak
ada maka kemungkinan Islam dipertanyakan berada di bumi persada (kerajaan)
Gorontalo. Sejak itu Islam berkembang dengan pesat hingga dewasa ini, oleh
karena itu berkembang suatu istilah dalam dalam masyarakat Gorontalo, bahwa
bukan orang Gorontalo kalau dia tidak menganut Islam.
E. Penutup
Masuknya Islam di berbagai daerah terkait dengan masuk Islam di Nusantara
(Indonesia) pada abad pertama Hijriah dan sampai di Sulawesi melalui kontak
perdagangan antar saudagar, maka tidak mengherankan orang yang pertama
menerima Islam pada umumnya orang yang berada di daerah pantai atau di
Bandar-bandar yang merupakan jalur perdagangan dan sampai di kerajaan
Tamalate Tomini yang terletak di Teluk Tomini yang merupakan jalur masuknya
Islam di Gorontalo, hanya masuk Islam di kerajaan Gorontalo bukan melalui
kontak perdagangan tetapi melalui kawin mawin antara raja Gorontalo (Amai)
dengan Putri Awutonga putri raja Boneneto (raja Tamalate Tomini).
Orang yang pertama menerima Islam di Gorontalo adalah Raja Amai,
menerima Islam langsung di Palasa kerajaan Tamalate Tomini dan Baginda
Sultan Amai yang membawa dan menyebarkan Islam di kerajaan Gorontalo
dan setelah di Gorontalo baginda digelar Sultan Amai dan dikenal dalam
masyarakat sebagai seorang raja yang pertama menerima, muballig (penyebar
Islam) pertama di Gorontalo di bantu oleh enam raja lokal yang berasal dari
kerajaan Tamalate Tomini yang dipimpin oleh Putra Mahakota Biharuddin.
Sejak masa pemerintahan Sultan Amai hingga masa pemeritahan
Matalodulakiki menggunakan azas dan pendekatan adaptatif, yaitu sara'
berdasarkan adatt. Sedangkan Sultan Jogugu Eyato juga memerintah dengan
memadukan antara sara' dengan adat seperti sultan yang lain, tetapi baginda
Sultan Jogugu Eyato menyepurnakan azas kerajaan menjadi adat bersendikan
sara' dan sara' bersendikan Kitabullah karena Sultan menganggap bahwa
pemerintahan dan rakyatnya telah matang untuk memberlakukan azas seperti
itu dan sistem perpaduan antara sara' dan adat dalam kehidupan masyarakat
Gorontalo tetap berlaku hingga kini.